Demokrasi sebagai kekuatan
politik adalah sistem yang sebenarnya tidak selamanya tepat. Terutama bagi
negaranegara yang masih menyimpan sisasisa masa lalu. Di negeri seperti
indonesia, sisasisa masa lalu itu sudah seperti akar beringin yang tak ingin
kehilangan pengaruh; feodalisme, aristokrasi dan mitologi.
Negeri yang tak sepenuhnya
demokratis sama artinya dengan negeri yang belum sepenuhnya modern. Modern,
kata yang mengandung kemajuan itu, berarti hadirnya subjek sebagai kekuatan
yang kukuh. Modern dengan subjeknya yang kukuh, sama halnya seperti Kant
menyebutnya sebagai pencerahan. Kant dengan semangat kritismenya, menandai
pencerahan sebagai usaha yang mandiri, setelah ia terbangun dari tidur
dogmatisnya, ia menyebutnya sebagai pemikiran yang berangkat dari pikiran yang
mandiri.
Itu berarti demokrasi
setidaknya adalah subjek yang tegak atas pemikirannya, suatu "aku"
yang keluar dari ikatan yang totalis. Dalam arti inilah modern sejajar dengan
demokrasi, atau demokrasi adalah sistem yang membutuhkan ruang yang modern.
Suatu tempat yang tegak dengan semangat atas "aku" yang otonom dan
mandiri.
Dengan begitu dengan sendirinya demokrasi menghasilkan kedaulatan. Daulat berarti posisi yang mengalami kemerdekaan bersamaan dengan sesuatu yang lain, sesuatu yang sebenarnya adalah dirinya sendiri. Sebab yang mendaulat adalah subjek "aku" atas "aku." Rakyat atas rakyat dan untuk rakyat. Dan yang daulat berarti juga rakyat yang menyadari dirinya bagian dari yang mendaulat. Tapi bukankah ini mengandung implikasi yang kontardiktif?, walaupun begitu, justru sebenarnya dari sanalah kekuatannya. Demokrasi menjadi tatanan yang mengawasi dan tatanan yang diawasi. Kedaulatan yang daulat adalah kedaulatan yang bersih diri. Jika demikian maka tak ada yang daulat dari selain dirinya sendiri.
Tapi demokrasi punya cacat.
Kekuatannya bisa menyimpang walaupun kedaulatan masih tegak dan berdiri
Pertama, demokrasi dalam tatanan yang modern selalu mengandaikan agregasi.
Dibalik kekuatannya, yang banyak adalah suara yang mayor. Dan yang mayor
diartikan sebagai suara yang mewakili kebaikan umum. Kedua, yang mayor berarti
menempatkan minoritas justru sebagai bagian yang periperi, yakni suara atas
hakhak yang tak diakui, terpinggirkan. Dengan arti inilah demokrasi bisa
berbahaya, yakni yang mayor, yang banyak, bisa membangun konsensus yang
timpang.
Karena itulah demokrasi
adalah sistem yang dicela sekaligus dipuja. Demokrasi selalu dianggap jalan
terbaik dari politik, sekaligus usaha terburuk dari kesepakatan. Sebab
demokrasi dicela bukan karena prosedurnya yang memang ribet, melainkan
demokrasi selalu ditandai dengan satu hal; status quo.
Dari itulah demokrasi
seperti di Indonesia bisa saja salah kaprah, atau seperti kurang tepat. Status
quo dalam sejarah Indonesia selalu menyertai dirinya bersamaan dengan kehadiran
semangat feodalistik yang aristokratik. Dan segala hal yang berbau mitos,
selalu menjadi daya penjelas diantara berdirinya tatanan yang aristokratik.
Maka dari itu, diantara
tegaknya semangat demokrasi, bersamaan dengan usaha memodernkan diri, selalu
ada legenda yang dipertahankan. Selalu ada babad yang disertakan. Sampai
akhirnya demokrasi yang semula berwajah modern, justru adalah peragaan paham
demokrasi yang berbau klenik.
Di indonesia, kenyataan
terhadap yang klenik juga mengandung masalah yang pelik. Agama, sebagai suatu
anjuran moral, sebagai suatu keyakinan, tidak sepenuhnya merupakan keyakinan
yang mengurung diri di bawah kubah. Agama juga punya hasrat untuk memerintah
dan bertahta, maka dari itu ia keluar mengatur umat, mengatur rakyat.
Sebab itu, demokrasi, di
Indonesia adalah politik yang klenik. Politik yang mirip itik; di mana induknya
pergi, maka di belakangnyalah anakanak itik ikut tak berkutik.