Belakangan ini waktu senggang jadi
demikian langka. Nampaknya dinamika zaman yang dimisalkan Giddens ibarat
juggernaut, memang bukan main-main: berlari kencang dan tanpa arah.
Juggernaut sebagai macan besar
memang masalah. Pertama ia tak bisa dikendalikan, dan kedua ia buta tujuan. Itu
sebabnya, waktu bagi masa sekarang demikian berharga. Tiap detik, menit, jam,
bahkan hari mesti dikalkulasi menjadi kapital. Waktu adalah uang, begitu
adagium masyarakat modern. Di titik ini, manusia modern kehilangan kepekaan
atas waktu. Kehilangan penghayatan atas waktu.
Lalu untuk apa waktu dihayati? Martin
Heidegger punya jawabannya. Filsuf gaek Jerman ini mengajukan satu pilihan,
menjadi das Sein atau das Man?
Das
Sein adalah istilah khas Heidegger bagi mahluk yang berkemampuan menanyakan
eksistensinya selama di dunia. Das Sein secara etimologis berarti ”yang ada di
sana”. Dalam bahasa khas fenomenology Heidegger, das Sein adalah satu-satunya mahluk berkesadaran yang mampu
mengartikan keberadaannya di dunia melalui reflesksi pertanyaan kritis berupa mengapa
kita terlempar (berada) di dunia ini?
Manusia, dengan kata lain, adalah mahluk penggelisah berkaitan dengan
keberadaannya yang sudah ada ”di sana”, di dalam dunia. Atau
dalam bahasa yang lain ”yang di sana” tempat yang dikatakan sebagai dunia mukim
tempat kita berada sudah selalu ”di sana”, dan akan tetap ”di sana”. Ini
berarti ”yang sudah selamanya di sana” adalah dunia yang mesti dipertanyakan.
Mengapa sudah ada dunia ”yang sudah
ada di sana?” atau, akhirnya menjadi mengapa aku ”sudah selalu ada di sana”. Das Sein, atau aku yang gelisah atas
eksistensinya di dunia, di titik kesadaran tertentu, kata Heidegger akan berbalik
mempertanyakan ”ada” itu sendiri. Apakah arti ”ada”? Bagi das Sein, apa sesungguhnya arti ber-Ada?
Bila menengok seluruh keberadaan, samakah
beradanya aku dengan keberadaan yang lain? Yang lain bisa ada tetapi tidak
mengada. Keberadaan ada secara eksistensi, tapi ia tidak bereksistensi. Ia
sekadar ada namun tidak berkemampuan menyadari eksistensinya. Dengan kata lain,
hanya das Sein, yang mampu
mempersalahkan keberadaannya dalam ruang dan waktu. Dari cara demikian, kata
Heidegger, das Sein adalah orang-orang
yang ingin selalu mencandra ”Sang Ada” melalui penghatan atas waktunya.
Waktu pada akhirnya nampak tidak
sederhana lagi. Ia medan manusia mengartikan keberadaannya. Hanya manusialah
yang mengalami waktu demikian intim dari keberadaa lain. Keintiman ini demikian
sublim sehingga manusia tidak sekadar ada di dalam waktu. Ia malah ”ada bersama
waktu”. Ia tidak tenggelam begitu saja di dalam waktu, justru ”bersama” waktu ”di
dalam waktu” dalam ”kemewaktuan” dirinya.
Melalui itulah waktu menjadi
eksponen penghayatan manusia. Menjadi medium pembebasan. Itu artinya manusia
mengada bukan sebagai ada yang lain semisal kursi, lilin, meja, bunga, buku
dsb, yang hanya sekedar benda-benda tanpa menyertakan waktu.
Ada bersama waktu inilah waktu
senggang berkemampuan memerdekakan manusia dari waktu berbasis kecepatan.
Juggernaut memang cepat, tetapi ia belum tentu ”ada bersama waktu.” Sang Juggernaut
sama halnya benda-benda yang lain. Dikontrol waktu, menerima waktu, di dalam
waktu begitu saja. Ia bukan das Sein.
Ia justru das Man, figur mayoritas
yang diarak waktu tanpa ampun. Figur orang banyak yang kehilangan kepekaan atas
waktu.
Maka di pacuan Juggernaut tak ada
momen permenungan atas waktu. Tidak ada momen pembebasan. Suatu momen melihat
waktu seperti pertama kali melihat tampakan-tampakan realitas. Saat pertama kali
manusia terperanga dan terpesona.
Masyarakat modern sudah kehilangan pesona
atas segala hal. Tidak melihat seperti dari
sudut mata anak kecil yang melihat gedung-gedung pencakar langit, luasnya
angkasa, teriknya matahari, ramainya ibu kota. Ia terpesona atas segala
kebaruan. Sesuatu demikian asing tapi sekaligus memukau.
Dan memang dunia telah kehilangan
pesona. Ini sudah jauh hari dibilangkan Weber semenjak rasionalitas datang
dan merengkuh serta menafsir dunia. Semenjak itulah dunia, yang belum
ditaklukkan, menjadi kenyataan yang diefisienkan, diefektifkan dan ditakar.
Oleh karena itulah, dunia akhirnya menjadi semakin rasional dan meninggalkan
ketakjuban dari alam dunia yang maha dahsyat. Semenjak itulah kapitalisme
berawal tumbuh dan tumbuh, hingga akhirnya hari ini, waktu ini.
Dan waktu di hadapan kapitalisme
harus diburu cepat sebab tiada ruang selain pertukaran. Di saat inilah waktu
senggang akhirnya menjadi konsumtif. Dan waktu yang ingin kita merdekakan dari
koloni modal itu, memang suatu yang langka akhir-akhir ini.