Manusia bisa saja bebas dan bertindak merdeka, tetapi sepertinya
juga tidak sepenuhnya benar betul. Manusia dengan segala supremasinya harus
juga tahu, bahwa dunia tak sepenuhnya bisa ditaklukkan. Dunia punya hukum
objektif, dunia punya semacam mekanisme yang sulit ditebak, dan di luar sana,
dunia memang begitu cepat berubah.
Nasib atau takdir memang objektif tetapi bagaimana nasib dan juga
takdir bekerja adalah perkara yang subjektif.
Dalam keyakinan agama, takdir sudah dinisbahkan kukuh dan tak
tersentuh perubahan. Tak ada pergantian apalagi perubahan rencana. Teos sudah
sedari awal membangun skenario, hingga telos juga sudah merupakan bagian yang
tak bisa diganggu gugat. Segala peristiwa memang sudah terprediksi. Ini berarti
sejarah, apa yang telah sudah terjadi, atau bagaimana hari depan di alami,
merupakan garis yang telah ditetapkan. Manusia jika sudah hidup, maka hanya
tinggal bekerja dan berperilaku seperti peran yang telah disuratkan. Dan di
saat demikianlah, takdir memang iman yang sudah selalu diterima tanpa sanksi.
Lantas bagaimanakah “yang subjektif” itu kita tempatkan dihadapan nasib yang determinis? Bagaimanakah kita dapat bersikap? Atau bagaimana mungkin kita keluar dari takdir yang telah lurus didepan sejarah?
Disinilah barangkali manusia bukan lagi sebagai human being, tetapi dalam
bahasa eksitensialis adalah human
becoming. Manusia sebagai human being adalah keberadaan yang biologis,
ditentukan sosiologis dan dibentuk historis. Inilah manusia yang ditentukan
keadaankeadaan eksternalitas. Dibentuk dan diolah oleh kekuatan di luar, juga
nasib. Maka manusia yang sekedar berada hanyalah keadaan yang tanpa tujuan dan
maksud. Mahluk yang pasif dihadapan nasib.
Human becoming sebagai modus eksistensi adalah modus yang diluar
nasib. Keadaan yang berkelit dari rangkuman yang diberikan keadaan. Keinginan
yang berusaha keluar dari batasanbatasan yang dimiliki. Keadaan ini adalah
situasi yang disulut dorongan internal; kehendak. Dengan kehendaklah manusia
tidak sekedar being, tetapi juga menjadi. Manusia yang menjadi adalah manusia
yang membentuk situasi, sejarahnya dan juga nasibnya.
Human is becoming seperti yang dibilang Syariati adalah manusia yang melampaui
empat penjaranya; sejarah, masyarakat, alam dan ego. Di luar dari itulah
kehendak berusaha berperan untuk menjadi. Di dalam sejarah, masyarakat, alam
dan ego, kita berusaha untuk keluar dari apa yang telah menjadi hukum besi yang
kukuh agar keluar dari tembok yang tegak berdiri.
Tetapi benarkah nasib dapat diubah dengan kekuatan kehendak?
Perbincangan ini bisa panjang. Barangkali suatu saat dapat saya tulis di sini.
Tetapi setidaknya saya telah berupaya untuk menembusi keadaan di luar rutin
saya. Seperti malammalam sebelumnya dan selanjutnya; kehendak untuk menulis.