Tidak terlalu banyak yang
dapat saya tuliskan untuk malam ini. Barangkali hanya menyangkut eksekusi
hukuman mati terpidana kasus narkotika.
Saya sulit membayangkan
atau merasakan, bagaimana menjalani waktu yang sudah mendekati ajal. Kematian
memang keadaan yang tak didugaduga, tetapi bagaimana jika itu sudah pasti
kedatangannya. Apalagi dengan cara ditembak. Butuh banyak hal untuk itu,
dan juga iman yang kukuh.
Dua ribu delapan silam,
kita juga pernah menghadapi hal yang sama. Waktu itu tiga pidana kasus bom Bali
yang akan menjalani kematiannya. Juga dieksekusi dengan cara ditembak.
Kematian adalah kejadian yang
dahsyat. Juga situasi yang purba, oleh sebab ia penanda eksistensi manusia.
Untuk itu kematian punya ragam dan cara bagaimana ia datang. Terpidana bisa
saja siap lahir dan juga menturutkan batin yang kokoh untuk menghadapi
batasnya, tetapi kematian sebagai tindak eksistensi barangkali adalah hal yang
absen. Artinya kematian dalam hal ini bisa berarti perkara yang subjektif,
dengan kata lain, kematian yang menandai tindak eksistensi adalah kematian
sebagai sebuah pilihan.
Saya tidak bermaksud
berlamalama untuk membincang kematian sebagai pilihan. Tetapi jelas apa yang
dialami oleh terpidana eksekusi adalah kematian yang diterima sebagai
keharusan, kematian yang tak bisa dihindari. Kematian yang didesak waktu.
Karena itulah kematian yang macam itu adalah kengerian yang dimaklumi.
Tetapi seperti apakah
kematian yang demikian itu kita maklumi? Apakah kita sedih ataukah kita
layak berkata “memang sudah demikian aturannya, jika dibiarkan maka tak akan
memberikan efek jera bagi yang lain.” Atau “Iya, tapi bagaimana dengan kasus
yang lebih berat, kok rasarasanya tidak adil, bahkan untuk kasus yang sama
malah dibebaskan” Tepat di titik inilah banyak tafsir dan kepentingan, apalagi
urusannya bertautan dengan negara.
Maka untuk itu urusannya
bakalan panjang. Saya sudahi dulu.