Langsung ke konten utama

Postingan

FASIS. Tak ada pendidikan yang baik tanpa melibatkan dialog di dalamnya. Kira-kira 300-400 tahun silam sebelum masehi, dialog sudah didudukkan sebagai bagian penting pendidikan. Konon di masa itu, Aristoteles, senang berjalan berkeliling mengitari murid-muridnya sambil bercakap-cakap. Di akademia yang dia bangun itu, Aristoteles yang berjalan ibarat putaran jam itu kelak menginspirasi suatu pendekatan yang khas dalam wacana ilmu filsafat.  Akademianya, tempat dia mengajar, dalam sejarah, menjadi cikal bakal berdirinya universitas-universitas.  Juga, sebelum Aristoteles, Socrates malah memakai dialog sebagai metode mengungkap pemahaman. Sampai-sampai karena metodenya ia malah disebut sebagai sang bidan. Ibarat "dukun beranak" Socrates hanya bertugas membantu orang-orang melahirkan sendiri pemahamannya.  Pengetahuan hanya bisa dilahirkan dari rahim orang-orang bersangkutan. Tidak ada anak yang lahir di luar dari rahim ibunya. Begitu kira-kira maksud dari metode bidan Soc...
BURHANUDDIN. Faktanya belum bisa entas dalam benak anaknya, Burhanuddin yang saban hari memandikannya dengan merek sabun yang turun temurun dipakai hingga zaman sekarang. Di atas susun bilah kayu yang mirip batang kelapa, tiga empat drum penampungan air, dan dinding kamar mandi dibuat seadanya dari triplek dan bekas karpet plastik. Di bawahnya saluran air yang anaknya yakin digali tangan Burhanuddin kala masih muda. Di ujungnya ada galian lubang selebar hampir dua meter, yang dijadikan saluran akhir pembuangan air. Airnya berwarna cokelat. Kadang di situ tempat Burhanuddin mencelup mati tikus yang masuk perangkap besi yang dibuatnya sendiri. Faktanya, peristiwa itu memang masih terekam baik. Saban pagi geliat tangan Burhanuddin yang meliuk-liuk di tubuh anaknya. Dengan sabun yang anaknya hafal betul harumnya. Air yang dingin, dan rengekan anaknya yang menolak dimandikan. Burhanuddin seorang yang sabar. Burhanuddin memiliki kebiasaan berkumpul dengan teman-teman kerjanya di kala mala...
SENJATA "Adalah kata-kata yang memberi bentuk pada sesuatu yang masuk dan keluar dari diri kita. Adalah kata-kata yang menjadi jembatan untuk menyeberang ke tempat lain Ketika kita diam, kita akan tetap sendirian. Berbicara, kita mengobati rasa sakit. Berbicara kita membangun persahabatan dengan yang lain. Para penguasa menggunakan kata-kata untuk menata imperium diam. Kita menggunakan kata-kata untuk memperbaharui diri kita… Inilah senjata kita saudara-saudaraku." (Subcomandante Marcos, 12 Oktober 1965) Eike kira, intelektualisme adalah kata yang hari ini harus terus diperjuangkan. Jika kata adalah senjata, seperti yang dinyatakan Subcomandante Marcos, si pejuang nasional dari Mexico, intelektualisme-lah salah satu senjatanya. Memang agak paradoks, kata sebagai wujud logos disepadankan dengan senjata, alat yang kerap dipakai untuk melukai, atau bahkan membunuh. Tapi, apa boleh buat, yang didakukan Marcos agaknya ada benarnya, walaupun dalam se...

Nietzsche dan Suatu Pagi Seketika Mendung

Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, percayalah. Jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, carilah. Konon sembari berurai air mata, Nietzsche banyak meliterasikan peradaban melalui punggung tragedi. Pendakuannya tentang tragedi, pada dasarnya adalah kritik terhadap situasi sejarah abad 19 (dan abad 20) yang kehilangan dasar pemaknaannya setelah sains, kebudayaan, agama, dan filsafat hanyalah menjadi aksesoris kehidupan tanpa mampu mendudukkan manusia sebagai mahluk yang berkepribadian. Manusia, kebanyakan adalah mahluk yang tidak mau mendengarkan kebenaran, karena mereka tidak ingin ilusi mereka hancur, begitu pendakuan Nietzsche. Manusia yang berkepribadian, dinyatakan Nietzsche adalah manusia yang sudah melampaui segala sendi nilai moralitas dengan menggerakkan kehendak pribadinya yang khas sebagai dasar perilakunya. Dengan kata lain, manusia yang berpribadi adalah mahluk yang tahu harus berbuat apa, dengan mengandalkan kekuatannya sendiri tanpa bersan...
PILIHAN .  Atau alunan musik yang kasip di pagi yang seketika mendung, sementara di hampir bersamaan segeletak buku hanya tersimpan diam begitu saja. Atau kisah orang-orang yang merangkak naik bersamaan dengan matahari di pagi yang entah. Atau ingatan terhadap pemahaman yang silap, tak diketahui rimbanya. Bunyi desir angin atau sentuhannya yang seolah-olah seperti benang-benang tipis yang bergerak dari ujung kakimu naik hingga ke pundak dan telingamu. Atau kehidupan yang terulang, terulang dan terulang. Atau bunyi deru mobil. Suara dentuman yang tersisa di atas langit, atau pecahan bintang yang tertinggal berjuta-juta tahun lamanya. Atau ini hanya sekadar usaha menangkap maksud di balik beragam kemungkinan. Atau bukan apa-apa. Seorang bapak tanpa menggunakan baju berdiri atau berpikir tentang sudut rumahnya yang digerayangi rumput-rumput hijau. Atau akan dia biarkan tumbuh sama halnya dia melihat anaknya yang sudah melebihi tinggi badannya. Atau memang waktu adalah sisi terbelaka...
Taro Ada' Taro Gau' Barangkali eike salah menafsirkan perkataan Alwy Rachman seorang scholar budaya, yang mengatakan membaca adalah mendengarkan. Tapi, bagi eike, melalui pengertian itu, Alwy Rachman menghendaki setiap praktik pemaknaan dalam membaca harus juga ikut melahirkan sang sosok yang sejajar dengan teks itu sendiri. Itulah sebabnya, tekanannya diletakkan kepada "suara". Dengan kata lain, strategi membaca yang diajukan Alwy Rachman, pertama-tama adalah antitesa dari praktik pemaknaan yang selama ini bersandar kepada kematian sang pengarang. Kedua, praktik membaca yang juga sekaligus mendengarkan, sebenarnya adalah suatu cara membaca yang ikut melahirkan jiwa untuk menemu-kenali budi pekerti dari sang penutur/pengarang itu sendiri.  The death of author yang digaungkan Roland Barthes memang bertujuan untuk membebaskan praktik pemaknaan tidak saja kepada teks itu sendiri, melainkan kepada kebebasan pembaca untuk ikut serta memberikan kemungkinan penafsiran y...

Alwy Rachman: Membaca sama dengan Mendengarkan

Eike belakangan ini berusaha merenung-renungkan perkataan seorang budayawan sekaligus sosok penting bagi keberlangsungan pelbagai komunitas Literasi di Makassar, Alwy Rachman, pasca launcing dan diskusi buku Tutur Jiwa karangan Sulhan Yusuf tempo waktu di Dialektika Cafe. Saat itu Alwy Rachman mengatakan membaca adalah mendengarkan, suatu pengertian yang tidak biasa bagi eike. Bagaimana mungkin, membaca yang identik menggunakan indera penglihatan harus diartikan sama dengan mendengarkan, aktifitas yang lebih banyak melibatkan telinga. Kata yang secara literer di pengertian Alwy Rachman, seketika sepadan dengan bunyi. Apakah ini sama berartinya bahwa tradisi literasi yang mendasarkan dirinya pada tradisi tulisan tidak berdampak signifikan terhadap masyarakat tinimbang tradisi lisan? Ataukah membaca sebenarnya tidak seperti pengertian hari ini yang hanya menyasar dimensi kognitif daripada mendengarkan yang lebih radikal menelusup hingga dimensi kejiwaan manusia? Atau jangan-jangan ...