FASIS. Tak ada pendidikan yang baik tanpa melibatkan dialog di dalamnya. Kira-kira
300-400 tahun silam sebelum masehi, dialog sudah didudukkan sebagai bagian
penting pendidikan. Konon di masa itu, Aristoteles, senang berjalan berkeliling
mengitari murid-muridnya sambil bercakap-cakap. Di akademia yang dia bangun
itu, Aristoteles yang berjalan ibarat putaran jam itu kelak menginspirasi suatu
pendekatan yang khas dalam wacana ilmu filsafat. Akademianya, tempat dia mengajar, dalam sejarah, menjadi cikal
bakal berdirinya universitas-universitas. Juga, sebelum Aristoteles, Socrates malah memakai dialog sebagai
metode mengungkap pemahaman. Sampai-sampai karena metodenya ia malah disebut
sebagai sang bidan. Ibarat "dukun beranak" Socrates hanya bertugas
membantu orang-orang melahirkan sendiri pemahamannya. Pengetahuan hanya bisa dilahirkan dari rahim orang-orang
bersangkutan. Tidak ada anak yang lahir di luar dari rahim ibunya. Begitu
kira-kira maksud dari metode bidan Socrates. Itulah sebabnya pengetahuan yang baik adalah pengetahuan yang
lahir dari rahim pikiran sendiri. Bukan dari rahim siapa-siapa. Bahkan dalam pendidikan, dialog adalah kunci. Tapi, bagaimana mungkin menempatkan pendidikan yang ideal dalam
konteks masyarakat seperti sekarang, sementara sekolah, atau bahkan intitusi
pendidikan tinggi, hanyalah ruang publik yang minim dialog? Institusi yang
lebih tepat disebut rezim fasis! Bukankah dialog mengandaikan hubungan yang setara? Suatu relasi
yang disebut sepadan, yang memungkinkan pentingnya pertukaran pemahaman di
dalamnya? Tapi fasis tetaplah fasis! Suatu mekanisme pemerintahan yang bukan
saja berlaku dalam sistem politik, tapi juga dalam pendidikan. Dengan apik, banyak kritikus pendidikan yang mendakukan bahwa
dunia pendidikan adalah refleksi masyarakatnya. Era sekarang, ketika
kapitalisme mutakhir menjadi momok tak terhindarkan, pendidikan yang memiliki
tujuan yang luhur itu pada akhirnya didudukkan berdasarkan skema masyarakat
kapitalistik. Menurut pendakuan Jean Anyon, seorang sosiolog pendidikan marxis,
relasi pengetahuan yang berlaku dalam institusi pendidikan, hanyalah mereplika
sistem transaksional jual beli masyarakat kapitalistik. Dengan kata lain,
proses sosial, hubungan sosial, dan kedudukan sosial dalam dunia pendidikan,
merupakan bentuk lain dari sistem kelas masyarakat yang mensubordinasi kelas
pekerja melalui ilmu pengetahuan. Dari penelitiannya juga, Anyon menyatakan institusi-intitusi
pendidikan selama ini banyak menggunakan logika pasar di dalam mengelola
intitusinya. Dimulai dari kebijakan pengembangan intitusi, sampai kepada
pengelolahan kurikulum dan praktek belajar mengajar, didasarkan kepada akumulasi
kapital dengan cara membentuk sistem stratifikasi kelas masyarakat berdasarkan
satuan-satuan dan tingkatan-tingkatan kemampuan ekonomi. Itulah mengapa sampai hari ini, terutama dalam institusi
pendidikan tinggi banyak sekat-sekat yang membagi secara kategoris satuan
belajar berdasarkan tingkat ekonominya. Kata Ivan Illich, proses pendidikan yang dikonfigurasikan atas
sistem ekonomi, hanya menghasilkan out put yang tak bermutu. Di saat itulah ilmu pengetahuan menjadi komoditi. Seperti
benda-benda yang terpampang dalam etalase pertokoan. Atau bukan saja ibarat sistem jual beli, pengetahuan yang
sejatinya bersifat dinamis dan berkembang hanya menjadi tanah kering yang mudah
kaku akibat fasisnya sistem belajar mengajar selama di kelas-kelas. Kenapa bisa disebut fasis? Sederhana saja! Sejauh di dalam
praktik-praktik berpengetahuan, nilai dan sumber-sumber pemahaman hanya
diasalkan melalui satu sumber. Dan, ini ciri yang kedua, ketika tidak ada
satupun ruang terbuka untuk menyoal sesuatu, atau bahkan memungkinkan
terjadinya perbedaan pendapat. Proses diseminasi yang demikian, malah mengartikan ilmu
pengetahuan ibarat dogma. Kendati dikatakan sebagai proses transformasi, bentuk
dan isi pengetahuan dalam situasi demikian hanya didudukkan dalam pengertian yang
statis dan fixed. Ilmu akhirnya menjadi barang baku yang sama ketika diajarkan
dan sama ketika diungkapkan kembali. Ada istilah yang khas dari Pierre Bourdieu, filsuf cum sosiolog
pendidikan Perancis: homo academicus. Dengan sinis, Bourdieu merumuskan istilah
ini untuk menunjukkan betapa pragmatisnya motivasi dunia intelektual yang
mengejar kedudukan akademis dengan meninggalkan hasrat pencarian ilmu
pengetahuan. Banyak di antaranya para ilmuwan dalam institusi pendidikan
tinggi, hanya mementingkan gelar akademik yang mentereng tanpa benar-benar
mengindahkan aspek intelektual dari karir akademiknya. Bahkan, gelar akademik
hanya dimaksudkan untuk tujuan-tujuan tertentu, semisal memperdalam dan
memperluas gengsi kekuasaan. Dengan kata lain, aristokrasi akademis menjadi satu-satunya tujuan
seorang ilmuwan untuk meningkatkan kekuasaan simboliknya dalam stratifikasi
ilmu pengetahuan dan masyarakat ilmiah. Dari pengamatan yang lain, Michel Foucault lebih surut ke belakang
melihat kaitan antara pengetahuan dan kekuasaan. Menurutnya, pengetahuan selalu
menyatakan diskursusnya dalam rangka mempertahankan posisi dominan kaum
tertentu. Atau sebaliknya, kekuasaan seringkali menciptakan diskursus
pengetahuannya dengan tujuan menopang secara ideologis kekuasaan itu sendiri. Pengetahuan yang dikendalikan melalui normatifitas, dengan
sendirinya akan menciptakan pendisiplinan dan pengontrolan tentang apa yang
layak dipikirkan, diwacanakan, dan dilakukan. Dalam situasi demikianlah, dalam
konteks pendidikan, subjek terdidik mengalami pelucutan dari kebebasannya
sendiri. Pengetahuan dengan begitu, dengan kata lain hanyalah kata ganti
dari kekuasaan. Kembali ke soal dialog. Apabila relasi pengetahuan diartikan
secara sepihak, maka tidak mungkin ada dialog. Mustahil ruang diskursif sebagai
wahana pertemuan gagasan dimungkinkan. Dialog hanya mungkin jika ada posisi yang dibuat setara, ada
titik-titik yang dibuat seimbang, dan hilangnya sekat-sekat yang menggambarkan
keseimbangan antara posisi dominan dan posisi yang subordinat. Jika tidak,
seperti kata Foucault, hubungan yang berpotensi menjadi relasi hirarkis akan
menyubordinasi yang lain dengan kekuasaanya. Kalau begitu, fasis tetaplah fasis, pendidikan sekalipun!
Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...