Langsung ke konten utama

Postingan

Menulis Kembang Api

Menulis barangkali adalah pekerjaan yang berat. Dalam aktivitas itu ada situasi yang mengharuskan kita untuk membayangkan sesuatu. Di sana ada usaha untuk membangun, menyusun ataupun menata sebuah ide, gagasan. Oleh sebab itulah akhirakhir ini saya kerap kali gagal dalam usaha untuk menulis tentang sesuatu. Dan inilah faktanya; saya belakangan ini mengalami regresi dalam minat maupun menemukan gagasan. Dalam bahasa yang sering saya pakai; saya kehilangan gagasan yang mirip kembang api, kejutan percik api seperti dalam ledakan. Bagaimana saya harus menyebutnya; kejutan percik api dalam ledakan. Di mana kembang api selalu punya daya gugah, memukau dan barang tentu mengagetkan. Kembang  api, kita mafhum, selalu diawali dengan letusan dan diakhiri dengan ledakan. Kembang api, pasca ledakan pertama selalu disusul dengan ledakan yang kedua, ketiga, keempat, dan begitu seterusnya. Hingga akhirnya padam, lenggang kemudian disusul dengan sunyi. Kejutan dalam ledakan. Dan kembang...

Bencana

Ada masa yang patut kita berikan rasa yang tinggi, namun juga ada situasi yang membuat dada kita sesak bukan main. Beberapa waktu yang lalu sebuah kabar bisa berarti sebuah bencana. Apalagi jika kabar yang sayup didengar bertolak dari lingkungan yang akademis; kampus. Tempat yang mafhum kita tahu dari sana harapan bisa ditandai dengan gelora pujapuji. Tempat pengetahuan bersemai seiring silih berganti hari. Namun bencana tidaklah bermata, ia datang begitu tibatiba, menyulut tanpa tatakrama. Dan memang bencana adalah sesuatu yang memiliki kekutan massif. Seperti yang sudahsudah, bencana memanglah massif, tak tanggungtanggung, melabrak seluruh tanpa pamrih, tak mengenal aturanaturan, kampus sekalipun. Namun bencana apakah yang saya maksudkan disini? Patutkah kita menyebutnya bencana? Tentang situasi yang tak didugaduga seperti beliung yang datang serempak. Seperti tsunami yang menyisir bersih tanpa didahului tandatanda sebelumnya. Ataukah wabah penyakit yang menghapus nyawa r...

Antara Jurnalisme dan Filsafat

Konon sikap jurnalis dan filsuf cenderung berbeda terutama memperlakukan kebenaran. Di tangan   jurnalis kebenaran menjadi pesan informatif. Bagi filsuf kebenaran diberlakukan lebih reflektif. Jurnalis sigap terhadap kenyataan, sementara seorang filsuf justru tenang di hadapan kenyataan. Seorang jurnalis, menjadikan dunia faktual sebagai titik tolak pena dan kertasnya. Sementara bagi seorang filsuf, dunia faktual tidak lebih penting dibanding dunia abstrak-teoritik sebagai dunia kerjanya. Dengan kata lain, kesigapan wartawan menjadikan kenyataan luar (fakta) sebagai sumber berita. Sedangkan dunia dalam (makna) merupakan medan “kabar” bagi pikiran reflektif seorang filsuf. Tetapi apa sesungguhnya hubungan di antara keduanya? Apa sebenarnya sumbangsih keduanya terhadap kehidupan manusia di saat seperti ini? Sikap filsuf dan seorang jurnalis boleh jadi berbeda menghadapi kebenaran. Namun ada kenyataan yang tidak bisa disanksikan: keduanya didorong hasrat yang sama unt...

Di Ambang Kenyataan; Beban atau Peluang?

Martin Heidegger, dengan pemikiran ontologinya yang rumit, pernah memaktubkan gejala mendasar dan problematis, pada metafisika Barat- dengan seluruh totalitasnya sudah lupa- terhadap Ada. Di suatu waktu ia berkata, kita lupa terhadap sesuatu yang sederhana namum begitu fundamental; Ada. Yang terlupakan adalah entitas yang mendasari adaan yang lain. Sesuatu yang mengendap pada dasar kenyataan yang nampak, metafisika Barat dengan seluruh tradisinya terjangkiti penyakit yang segera harus dibersihkan dari kategorikategori yang dianggap gagal membaca kenyataan. Demikian sehingga telah membawa manusia melupakan dasar keberadaannya. Semenjak Parmenides sampai Sokrates, Platon hingga Kant; metafisika sebagai filsafat awal, tengah mengalami kecemasan. Filsafat guyah dari sendisendinya. Yang dahulu deskripsi tentang Ada menjadi anasir utama akhirnya harus terpinggirkan. Kemungkinan manusia untuk mendapati dan menggapai Ada; kenyataan sublim, akhirnya mengala...

Budaya dan Bahasa Kita

Beberapa waktu yang lalu kita di hebohkan oleh hiruk pikuk pemberitaan media massa dari tayangan yang tak biasa. Tayangan yang dapat di unduh di youtube ini memutar rekaman video Vicky terkait dengan pertunangannya dengan artis papan atas Zaskia Gotik, penyanyi dangdut yang dikenal dengan goyang itiknya. Dalam video yang berdurasi hampir satu menit itu memuat bahasa Vicky yang  terdengar janggal dan aneh. Video yang banyak menyedot perhatian masyarakat itu, nampak Vicky mencampuradukkan kosa kata inggris dan Indonesia tanpa memperhatikan struktur atau kaidah bahasa formal yang sering di gunakan. Dalam video itu kata-kata semisal kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, harmonisisasi, statusisasi kemakmuran, dan labil ekonomi digunakan Vicky tanpa di dahului mengenal konteks pembicaraannya. Bahasa-bahasa demikian dicampur adukkan begitu saja sehingga terkesan intelektual dan cerdas. Goenawan Mohammad, seorang budayawan, menyebutkan dalam akun twitternya bahwa ge...

Hingar Bingar Politik

Apa yang marak terjadi jika kita berada di tengah-tengah sebuah parade sirkus? Ilustrasi yang dimungkinkan untuk kita bayangkan pada situasi seperti itu adalah pemandangan tentang hewan-hewan yang mangut pada pawang, aktraksi-aktraksi ekstrim, loncatan-loncatan akrobatik, serta polah badut-badut gemuk yang mengundang tawa. Lebih dari padanya kita dibawa pada suasana yang melampaui: decak kagum penonton, kembang api yang semarak serta gemerlap hingar bingar. Sirkus adalah tontonan yang memang menghibur. Namun apa jadinya jika suasana perpolitikan selayaknya penyelenggaraan sirkus, tetapi bukannya menghibur, melainkan justru  tontonan yang sungguh membosankan.  Politik sejatinya adalah penyelenggraan kekuasaan  publik  dalam rangka untuk menetapkan tujuan dari suatu kebijakan. Dengan tujuan untuk mengikat kepentingan bersama untuk memenuhi hak-hak dari seluruh masyarakat. Dalam hal ini , selama politik dijalankan atas etika pemenuhan hak-hak publik , mak...

Disintegrasi Umat Beragama di Hadapan Pancasila*

Agama melalui kaca mata Sosiolog Prancis, Emile Durkheim, adalah fakta empiris. Walaupun tidak juga sepenuhnya benar. Namun apa yang dibilangkan Durkheim bisa kita pahami dalam kaca mata seorang pengamat yang memposisikan diri di hadapan dunia empiris. Ini berarti, agama sebagai kenyataan yang diinderai merupakan fakta yang bisa kita amati. Apa yang teramati bukanlah sesuatu yang abstrak, melainkan norma-norma, pranata-pranata, maupun simbol-simbol yang melatarbelakangi sikap hidup maupun perilaku orang-orang beragama. Secara inheren, agama adalah fitrah. Agama adalah kecenderungan yang dilahirkan dari nilai-nilai fitri. Atau secara filosofis, agama terkandung di dalam setiap hati manusia yang bersih. Dari sana sumber asal perilaku hidup manusia. Bahkan, dari hati yang bersih sumber keutamaan sifat manusia. Perilaku utama inilah yang dalam bahasa agama disebut Ahlak. Dalam kaca mata Durkheim, akhlak dalam situasi seorang sosiolog ditangkap sebagai fakta sosial; sikap hidup oran...