Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2020

Debat Sains vs. Agama: Usaha Menghindari Dukun-Dukun Cerdik

”Sejarah telah membuktikan bahwa pemisahan sains dari keimanan telah menyebabkan kerusakan yang tidak bisa diperbaiki lagi. Keimanan mesti dikenali lewat sains; keimanan mesti tetap aman dari berbagai takhayul melalui pencerahan sains. Keimanan tanpa sains akan berakibat fanatisme dan kemandekan. Jika saja tidak ada sains dan ilmu, agama, dalam diri penganut-penganutnya yang naif, akan menjadi satu instrumen di tangan-tangan para dukun cerdik.” –Murthada Muthahhari dalam  Manusia dan Agama .   BELUM lama ini kita melihat debat panjang mengenai sains vs. agama antara A.S Laksana dan Goenawan Mohamad, yang berujung menyeret pemikir-pemikir Indonesia seperti Nirwan Ahmad Arsuka, F. Budi Hardiman, Husein Herianto, Ulil Absar Abdala, dan sejumlah tokoh lainnya. Debat yang terjadi di platform facebook ini agak ganjil, mengingat medan debat intelektual yang notabene sering ditemui di koran, jurnal, atau makalah, sekarang terjadi di linimasa FB bercampur dengan beragam status ...

Neraka Persepsi dari Nasruddin Khoja, Ini Salah Itu Salah

Alkisah, sekali tempo dalam suatu perjalanan, Nasruddin Khoja bersama anaknya berjalan masuk ke sebuah desa menggunakan seekor keledai. Saat itu, karena sayang anak, Nasruddin Khoja memilih jalan kaki menuntun keledai dari depan, sementara anaknya yang duduk di atas keledai. Melihat itu, tanpa tedeng aling-aling warga desa membully si anak. ”Dasar anak tak tahu diuntung. Masak ia enak-enakkan di atas keledai, sementara ayahnya dibiarkan sendiri berjalan kaki!” Masuk di desa selanjutnya, karena takut dihardik warga desa, giliran si anak yang berjalan kaki dan Nasruddin Khoja yang kini duduk di atas pelana keledai. “Coba lihat, itu ayah yang egois, kok ia rela membiarkan anaknya berjalan kaki sedangkan ia santai geboy di atas keledainya!” Tidak ingin mengulang dua kejadian sebelumnya, kali ini saat tiba di desa ketiga, Nasruddin Khoja dan anaknya sama sekali tidak menumpangi keledai dengan memilih berjalan kaki belaka. Tidak menunggu waktu lama, kali ini mereka masih dibully wa...

Melambari Ajal: Mati Eksistensialis ala Martin Heidegger

Di atas mimbar-mimbar, nasib umat manusia dipelantang para da’i sebagai rahasia Tuhan. Ia ”hukum besi” di bawah kolong langit yang telah dan akan menjadi takdir sejarah manusia. Kejadiannya adalah peristiwa gaib yang hanya diketahui sang Maha gaib, meski di waktu bersamaan di panggung seni peran, seringkali ia dijadikan frase kop tema serial sinetron ”sabun”, yang semena-mena mengartikan rahasia ilahi sebagai azab kematian yang berakhir kejam dan menyakitkan. Kiwari, kematian semakin akrab ditemui. Di layar kaca, kekuasaan menarik kematian dari pengalaman otentik manusia, menjadi permainan bahasa yang dipakai bergantian dengan kata-kata semisal ” social distancing ”,” physical distancing ”, ” work from home ”, ” PSBB ”, ” new normal ”; di dalam kekuasaan, kematian, diksi yang bisa dibongkarpasang seiring kebutuhan informasi di depan lensa kamera. Mau bagaimana lagi, era korona membuat kematian seolah-olah peristiwa remeh temeh seperti banalnya informasi di era digital. Kematian, ...

Terorisme Tubuh itu Berupa Mulut

Tidak sampai membutuhkan pergantian kalender, setidaknya selama masa pandemi ini, makhluk supernano bernama korona telah mengubah persepsi kita tentang tubuh. Tubuh adalah ”musuh”. Alih-alih di kancah publik tubuh dapat saling berelasi, kali ini keberadaannya menjadi momok mengkhawatirkan bagi yang lain. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Saat ini tubuh dipandang rentan dari biasanya. Ia dipaksa mengakui supremasi mahluk supermini beranak Covid-19.   Praktis seluruh bidang-bidang perabadaban yang selama ini diisi lalu lintas tubuh menjadi lumpuh. Wabah abad 21 ini pada akhirnya membuat tubuh mesti bernegasi satu sama lain. Jika dalam satu titik koordinat ada tubuh lain di sekitar tubuh Anda, praktis satu di antaranya mesti ditolak keberadaannya. Otomatis, jika dipaksakan lebih dua tubuh saling berdekatan, justru keduanya akan saling mengintrogasi, mengawasi, dan paling ekstrem adalah saling tuduh. Di situasi semacam ini, tubuh malah mendatangkan soal tersendiri. Ia bakal di...

Takdir Buku di Bawah Stempel Kekuasaan: Esai Hari Buku Nasional 17 Mei 2020

  “Barangsiapa yang menghancurkan buku bagus ia sedang membunuh rasio itu sendiri…” John Milton, penyair Inggris.   Di negeri ini, membaca buku, tidak serta merta akan menjadi pengalaman menyenangkan. Pernah suatu masa, buku menjadi benda subversif bagi kekuasaan otoriter semisal Orde Baru. Membaca saat kekuasaan bebas mengontrol lalu lintas ilmu pengetahuan, adalah tindakan radikal yang mengundang bahaya. Rasa-rasanya membaca dalam keadaan terancam, membuat setiap aksara seolah-olah adalah jembatan yang membawa pembacanya dapat langsung menuju alam baka. Entah apa yang dikhawatirkan dari sebuah buku, selain daripada kemampuannya menggerakkan orang-orang. Di masa-masa ilmu pengetahuan masih kalah andil dari doktrin kekuasaan, buku seolah-olah benda haram jadah yang mesti dibumihanguskan. Dalam buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa karangan Fernando Báez, dijelaskan tindakan bibliosida dapat ditarik jauh di belakang sejarah umat manusia. Uniknya tindakan penghancuran...

Tiga Lapis Kejahatan Aburrahman Ibn Muljam: Kepincut Perempuan, si Penghafal Al-Qur’an Pembunuh Khalifah Ali Ibn Abu Thalib

Sosok seperti Abdurrahman Ibn Muljam, dalam tarikh Islam merupakan figur kemerosotan akidah sekaligus moral manusia. Sekalipun ia hafiz al-Qur’an, taat beribadah, dan kelihatan baik, di sisa hidupnya, jangankan berakhlak seperti anjuran al-Qur’an, ia pada akhirnya mati dengan tidak sama sekali mendapatkan berkah al-Qur’an. Ia tamat sebagai manusia, tapi dengan cara su’ul khatimah. Keperawakan Ibn Muljam, nyaris menyerupai iblis dalam narasi al-Qur’an mengenai kisah penciptaan Adam. Sekali masa, setelah Allah menciptakan Adam dan mengimbau seluruh alam untuk bersujud kepadanya, ada sesosok iblis ogah melakukannya. Dari segi usia penciptaan, ia jauh lebih tua dari umur Adam yang belum “sehari” itu. Ia telah hidup lama sepanjang lebih 80.000 tahun. Ia telah banyak makan asam garam di alam semesta tak terpemanai ini. Dari segi kuantitas ibadah, kurang lebih di sepanjang usianya itu, tiada tempat di alam semesta yang belum ia jadikan tempat bersujud. B...