”Sejarah telah membuktikan bahwa pemisahan sains dari keimanan
telah menyebabkan kerusakan yang tidak bisa diperbaiki lagi. Keimanan mesti
dikenali lewat sains; keimanan mesti tetap aman dari berbagai takhayul melalui
pencerahan sains. Keimanan tanpa sains akan berakibat fanatisme dan kemandekan.
Jika saja tidak ada sains dan ilmu, agama, dalam diri penganut-penganutnya yang
naif, akan menjadi satu instrumen di tangan-tangan para dukun cerdik.”
–Murthada Muthahhari dalam Manusia
dan Agama.
BELUM lama ini kita
melihat debat panjang mengenai sains vs. agama antara A.S Laksana dan Goenawan
Mohamad, yang berujung menyeret pemikir-pemikir Indonesia seperti Nirwan Ahmad
Arsuka, F. Budi Hardiman, Husein Herianto, Ulil Absar Abdala, dan sejumlah tokoh
lainnya.
Debat yang terjadi di
platform facebook ini agak ganjil, mengingat medan debat intelektual yang
notabene sering ditemui di koran, jurnal, atau makalah, sekarang terjadi di
linimasa FB bercampur dengan beragam status “cetek”, saling tumpang tindih,
datang hilang timbul tenggelam akibat tanda suka tidak suka.
Meski demikian, mungkin
ini karena pengaruh abad digital, semuanya lebih mudah ditempatkan di dalam
semesta lini masa medsos tempat segala mata netizen tertuju. Mengapa bukan di
Twitter atau Instagram debat ini terjadi? Saya kurang paham selain karena
mungkin, hanya di Facebook lah banyak ditemukan netizen ”tua” yang banyak
menyukai perdebatan bergizi ini—di platform media sosial semisal Twitter
atau Instagram, yang kebanyakan penggunanya adalah generasi milenial, cenderung
lebih suka kepada masalah-masalah keseharian yang lebih populer dan
massal.
Di satu sisi, kita dibuat
kelimpungan mengikuti gonta-ganti kritik satu sama lain. Kritik dibalas kritik,
dibalas kritik atas kritik, dibalas kritik atas kritik atas kritik. Begitu
seterusnya, sampai akhirnya pangkal soalnya jadi kabur dan bercabang-cabang.
Sisi baiknya, selain
menjadi pembelajaran bagi publik, setidaknya ini menjadi panggung berpikir
ulang untuk melihat kembali relevansi sains dan agama bagi kebutuhan mendesak
masyarakat di Tanah Air, yang belum sepenuhnya dirasakan.
Saat hajatan pernikahan,
orang-orang lebih percaya dukun pawang hujan dari pada prediksi badan
metereologi mengenai cuaca cerah atau bakal akan turun hujan. Saat ujian akhir
sekolah, anak-anak kedapatan membawa jampi-jampi ketimbang belajar
matian-matian seperti sikap para ilmuwan. Saat… saya kira terlalu banyak contoh
yang menunjukkan seringkalinya masyarakat masih berperangai “klenik” ketimbang
berperilaku saintifik.
Perilaku saintifik atau
sebaliknya, belakangan sangat mudah diidentifikasi saat bangsa ini menghadapi
Covid-19, meski ada saat-saat tertentu ketika perilaku klenik ikut serta
dilakukan demi atas nama upaya mengurangi efek korona. Dari kaca mata ini, kita
bisa mafhum, bangsa ini belum sepenuhnya keluar dari cara pandang yang lebih
memercayai peran orang-orang penganut bumi datar, dan bukan sebaliknya.
Saat lebaran tahun ini,
tidak sedikit mimbar-mimbar masjid mesti dikosongkan, walaupun di waktu
bersamaan, laboratorium-laboratorium kian banyak diisi kesibukan virologi;
meneliti virus, menetapkan kriteria, dan menarik kesimpulan-kesimpulan dari
percobaan tiada henti.
Fakta masjid-masjid yang
kosong, meski menjadi tertib sosial yang mesti ditempuh, akibat momentum hari
raya yang suit dibendung, tidak sedikit membuat satu dua masjid dibuka untuk
melaksanakan salat id secara berjamaah. Di kompleks-kompleks perumahan, nampak
pula inisiatif warga membuat lapangan dadakan demi menggelar salat id bersama
warga kompleks.
Saat itu, akan segera
nampak, di lapisan paling bawah, muncul orang-orang tertentu yang mengambil
peran imam dan khatib, yang mengisi khutbahnya dengan keyakinan penuh yang
mendorong warga untuk tidak menakuti korona. Korona hanyalah makhluk dan tidak
sepantasnya dikhawatirkan. Ia datang untuk menguji umat, seberapa taatkah kita
kepada perintah tuhan, yang diartikan itu sebagai keharusan mengisi
masjid-masjid yang kosong.
Si penceramah demikian ini
sesungguhnya gagal paham. Saat ini, korona bukanlah penyebab orang melakukan
dosa sehingga orang-orang tidak pantas diberikan khotbah demi menyelamatkannya
dari siksa kubur, misalnya. Lebih layak, untuk saat ini, para virolog lah yang
berhak mengisi panggung publik, di samping para dokter, tenaga kesehatan, psikolog,
atau para ahli masyarakat semisal seorang sosiolog.
Itu artinya, saat ini
lebih diutamakan masyarakat agar lebih tertib kesehatan, dan tertib sosial
daripada tertib iman. Untuk saat ini, agama mesti memberikan ruang kepada para
ahli yang paham soal-soal virus dan manajemen masyarakat untuk mengedukasi
publik. Agama memang penting, tapi bukan berarti ia adalah satu-satunya cara
untuk menjawab segala soal.
Urusan manusia sangat
banyak, meski tidak sedikit di antaranya, yang melakukan sesuatu tanpa keterangan
mendalam sebelumnya. Jika saat ini Anda bertanya ke dalam diri, mengapa agama
diciptakan untuk Anda dan bukan untuk makhluk seperti alien, dan menjawabnya
dengan jawaban bahwa itu lebih pantas ditanyakan kepada Tuhan dan hanya ia yang
tahu pasti jawabannya, maka Anda seperti orang yang lebih memercayai dukun
daripada dokter syaraf ketika menghadapi penyakit kanker otak.
Ada masa ketika dunia,
menempatkan para dukun sebagai figur utama laiknya dokter sekarang, atau para
agamawan seperti nyaris menyerupai para nabi. Saat itu, dukun dipandang sebagai
orang yang memiliki ”pengetahuan” yang tidak bisa diketahui orang lain. Bahkan,
bagi yang lain, dukun dianggap mampu menangkap gelagat dunia surpranatural
hanya karena ia dapat mengucapkan jampi-jampi dalam gumaman yang tidak semua
orang tahu artinya.
Meski demikian,
pengetahuan berkembang, percobaan-percobaan banyak dilakukan, dan membuat
banyak penemuan-penemuan yang membuat orang tercengang. Takhayul dan
mitos, karena itu sedikit demi sedikit dikuak kebenarannya.
Bukan karena ulah seekor
naga raksasa menelan bulan sehingga terjadi gerhana, melainkan karena posisi
bulan yang terhalangi bumi dari matahari sehingga seluruh areanya menjadi
gelap. Bukan pula akibat ulah jin, sehingga seseorang mengalami demam, melainkan
karena tubuhnya didiami virus supermini.
Pengetahuan hari ini bukan
jenis pemahaman seperti dua abad lalu yang tertutup dan hanya ditemukan di
balik tembok gereja atau istana kaisar. Ia tidak bisa lagi diberlakukan mirip
wahyu yang siap pakai dan tahan lama. Sekarang, pengetahuan datang dari
pengamatan, observasi, pengujian-pengujian, dan melalui prosedur ketat yang
melibatkan sistem logika dan metodelogi yang teruji.
Pengetahuan saat ini, jika
tidak dilahirkan di dalam nuansa akademik yang mumpuni, ia hasil kreasi yang
lahir di meja ujian laboratorium. Ia memang seringkali direvisi oleh
temuan-temuan mutakhir, tapi karena itulah pengetahuan hari ini berkembang
dinamis lebih pesat dari semisal filsafat, atau agama.
Semua kegiatan itu, sudah
jauh hari diumumkan Auguste Comte, Bapak Sosiologi Barat, di bawah bendera
bernama sains, bahwa di masa depan, zaman akan berpihak kepada masyarakat yang
bekerja mendayagunakan ilmu pengetahuan demi menjawab kebutuhan-kebutuhan
manusia. Agama, jika ia masih berhasrat membimbing manusia, pelan tapi pasti
akan ditinggalkan sebagai debu-debu sisa kejayaan masa lalu.
Bahkan, Auguste Comte
yakin, ke depan para nabi-nabi adalah para ilmuwan yang bekerja di dalam terang
ilmu pengetahuan dengan membawa agama masa depan yang ia sebut positivisme.
Memang suara Auguste Comte
terdengar ambisius, tapi bukankah untuk saat ini ramalannya itu terbukti, dan
seiring itu sains berkembang pesat meninggalkan agama jauh di belakang garis
start.
Saat ini, Anda mungkin
seorang filsuf, yang sedang memikirkan suatu belahan dunia apakah ia ada atau
tidak, dan mungkin itu hanya sekadar imajinasi di dalam kepala Anda.
Selama bertahun-tahun Anda memikirikan itu, tapi ada satu fakta yang
membuat diri Anda tidak bisa menolaknya, bahwa karena itu membuat Anda mesti
mempelajari pemikiran-pemikiran yang berumur lebih panjang dari usia Anda dari
saat ini. Untuk memahami satu aliran filsafat, sangat riskan jika Anda tidak
memulainya dengan membaca sejarahnya.
Akan lebih baik, jika
ingin mempelajari idealisme Hegel, mau tidak mau Anda akan berjalan mundur dan
harus mempelajari pikiran-pikiran pemikir-pemikir sebelumnya hingga Plato.
Filsafat karena itu, membuat Anda mesti telaten mempelajari pokok pikiran
secara runut pemikir-pemikir yang saling terkait satu sama lain.
Hal yang sama tidak
terjadi dalam agama, walaupun ia bukan sains yang tidak memiliki otoritas
sehingga membuatnya sulit berkembang. Dalam agama, kebenaran lebih mudah
diterima karena ia mengandung kepastian dan fixed. Ia,
bahkan untuk diyakini, masih membutuhkan fatwa agar manusia benar-benar yakin
bahwa yang ia pegang betul-betul kebenaran. Fatwa, dalam agama, bertugas
menghadang kebebasan berpikir sebagaimana itu sangat diperlukan dalam sains.
Makanya, karena itu, tidak sedikit, dalam agama, berpeluang membentuk kelompok
fanatik, atau sempalan berupa cult.
Sementara dalam sains,
setiap teori atau temuan terbaru tidak akan dipengaruhi otoritas kekuasaan atau
fatwa. Sains bekerja atas fakta, dan tidak membutuhkan fatwa untuk melegitimasi
kebenarannya. Satu-satunya legitimasi sains, toh jika itu diperlukan adalah
metode dan prosedur ketatnya itu sendiri.
Berkat prosedur penelitian
yang bekerja atas fakta, seperti dalam pendakuan Thomas Khun, membuatnya
menjadi kebenaran faktual yang menyebabkan terjadinya pergantian satu pandangan
atas pandangan lain. Dalam sains, referensi utamanya adalah kebenaran yang
lebih baru dan mutakhir, ketimbang teori yang sudah cacat dan gagal
merelevankan dirinya dengan keadaan. Jika itu terjadi teori yang mengalami
pembusukan akan digantikan oleh teori lain yang lebih up
to date.
Dalam sains, teori sangat
erat kaitannya dengan konteks di mana ia lahir, sehingga dengan itu ia terus
memperbarui dirinya dan membuatnya dinamis mengikuti perkembangan zaman.
Itulah sebab, kebenaran
dalam filsafat, dan begitu pula dalam agama, adalah jenis kebenaran yang
berumur panjang, tapi tidak dalam sains. Dalam sains, kebenarannya tentatif dan
temporer, dan jenis kebenaran ini sangat bergantung dengan sejauh apa ada
pembaruan dan penemuan mutakhir di dalamnya.
Sains dan agama, sudah
sejak lama saling bersinggungan. Masing-masing sudah banyak memakan korban. Dua
tiga abad lalu, inkuisisi gereja atau otoritas dalam agama-agama lain, tidak
segan-segan menjatuhkan hukuman mati bagi orang yang melawan doktrin agama.
Berabad-abad setelahnya, sains muncul dengan ledakan bom atom yang
meluluhlantakkan negeri-negeri jajahan atas nama perang.
Lalu, sekarang dan akan
datang, para ilmuwan dan agamawan akan selamanya saling menunjukkan borok lawan
masing-masing ketika mereka masih sering mencampuri urusan satu sama lain.
Sains dan agama di masa
sekarang dan masa akan datang, sudah seharusnya saling membimbing alih-alih
saling tuding. Bukan saatnya bagi kedua pihak untuk saling mengorek sejarah
kelam masa lalu. Agama mesti menyumbangkan ajarannya kepada ilmu pengetahuan,
dan ilmu pengetahuan mesti menghadiahkan penemuannya kepada agama. Bagi para
ilmuwan dan agamawan, sains mesti menerangkan ajaran agama, dan sebaliknya,
agama mesti membimbing sains.
Itu artinya sudah saatnya
sains dan agama mesti hidup bersanding dan bukannya bertanding. Keduanya
memiliki sumber pengetahuan, objek kajian, dan metode yang berbeda dalam
memecahkan suatu soal.
Dengan kata lain, baik sains dan agama, punya lapangan pengkhidmatan yang berbeda meski demi kemanusiaan yang sama.