Di atas mimbar-mimbar, nasib umat
manusia dipelantang para da’i sebagai rahasia Tuhan. Ia ”hukum besi” di bawah
kolong langit yang telah dan akan menjadi takdir sejarah manusia. Kejadiannya
adalah peristiwa gaib yang hanya diketahui sang Maha gaib, meski di waktu
bersamaan di panggung seni peran, seringkali ia dijadikan frase kop tema serial
sinetron ”sabun”, yang semena-mena mengartikan rahasia ilahi sebagai azab
kematian yang berakhir kejam dan menyakitkan.
Kiwari, kematian semakin akrab
ditemui. Di layar kaca, kekuasaan menarik kematian dari pengalaman otentik
manusia, menjadi permainan bahasa yang dipakai bergantian dengan kata-kata
semisal ”social distancing”,”physical distancing”, ”work from home”, ”PSBB”, ”new normal”; di
dalam kekuasaan, kematian, diksi yang bisa dibongkarpasang seiring kebutuhan
informasi di depan lensa kamera. Mau bagaimana lagi, era korona membuat
kematian seolah-olah peristiwa remeh temeh seperti banalnya informasi di era digital.
Kematian, meski kenyataannya adalah
takdir intim milik si manusia bersangkutan, di kancah kehidupan masa pagebluk
korona, hanya menjadi satu dari sekian kategori statistik di hadapan corong
kekuasaan. Ia hanya menjadi angka-angka massal di atas kertas tanpa memberikan makna
kesadaran.
Manusia ditilik dari pengertian
eksistensialnya adalah makhluk bebas dan merdeka. Ia makhluk dengan kemampuan
berkemungkinan (possibility) menjadi
apa saja. Jika takdir adalah bentangan angka-angka interval 1-9999… maka
manusia bisa memilih beragam pilihan di dalam angka takdir yang tersedia. Anda
bisa memilih angka 7, 85, 22, 90, 54, yang bisa berarti apa saja di kenyataan
konkret sehari-sehari.
Meski demikian, kematian adalah
batas di balik beragam kemungkinan yang tersedia. Ia adalah faktisitas dari
eksistensi manusia. Ketika ajal sudah tiba berakhirlah beragam kemungkinan
manusia.
Matilah sebelum Anda mati. Ini
frase berbobot eskatologi yang dipakai dalam dunia sufisme untuk membetot
kesadaran, yang kurang lebih berarti jadikanlah kematian sebagai tonggak
kesadaran. Kematian mesti melambari keinsafan, mesti menjadi asas kehidupan
agar jiwa awas dan mawas memilih kemungkinan takdirnya. Sering-seringlah mengingat
kematian sebelum ajal mendatangimu, begitu pesan Rasulullah.
TIDAK banyak perencanaan hidup
dapat direalisasi di masa korona. Meski sudah dinyatakan memasuki masa
kenormalan baru, tetap saja tubuh sulit merealisasikan gerak spasialnya. Bahkan
jiwa sulit dikerahkan maksimal meski sudah dilatih tiga bulan lamanya untuk
beradaptasi menghadapi kenyataan baru.
Di antara terhambatnya ruang gerak
tubuh, kecamuk ide, dan realisasi program negara yang tidak maksimal, tubuh dan
jiwa kali ini terancam diceraikan oleh kematian. Tubuh terdesak berubah menjadi
jasad tanpa gerak-gerik di bawah tanah, dan jiwa dibiarkan lekas ”naik” menuju
alam pengakhiran.
Kematian, menilik pendakuan
eksistensialisme Martin Heidegger mesti dialami di bawah terang penghayatan Dasein. Manusia biar bagiamanapun
merupakan makhluk berkemampuan menceburkan
dirinya ke dalam kehidupan (being). Ia memiliki piranti penghayatan untuk
menemukan keontentikan dirinya melalui faktisitas yang sudah ia bawa sejak awal
kehidupan: ajal.
Seharusnya, kematian yang telah menjadi berita faktual sehari-hari
mendorong manusia untuk menyelami hakikat eksistensial dirinya. Ajal yang sudah
menjadi kepastian mesti menjadi kapasitas kesadaran untuk menginspirasi
bagaimana cara berada manusia di tengah pagebluk abad 21 ini.
Setidaknya selama ini ada dua
narasi utama dalam merespon kematian yang diakibatkan korona, yang sama-sama
tidak produktif mengangkat kesadaran manusia hingga ke level eksistensial.
Pertama, amplifikasi narasi
fatalistik sebagian kelompok agama yang mengkanalisasi ketakutan terhadap
korona hanya kepada tempatnya yang paling patut, yakni Tuhan semata. Dengan volume
epistemologi tauhid yang aneh, mereka mengkotak-kotakkan ketakutan antara Tuhan
dan ciptaannya. Dalam hal ini takut kepada korona sama artinya tidak takut
kepada Tuhan.
Kedua adalah analisis pseudosains
yang terejawantah di dalam teori konspirasi. Menurut pandangan ini, korona
adalah ciptaan korporasi-korporasi medis dan lembaga-lembaga internasional
tertentu yang bertujuan khusus menguasai sektor-sektor penting kehidupan umum.
Kedua narasi ini bukannya tanpa
dukungan. Terbukti di masing-masing pihak menjamur kelompok-kelompok dengan
ciri yang sama: antivaksin, fatalistik, antipemerintah, bebal, dan menganggap
rendah kematian.
Itu artinya, bukan saja oleh negara
yang melihat kematian sebagai angka statistik belaka, bagi kedua persekongkolan
ini, kematian didudukkan tanpa konsep gairah dan inspirasi. Toh jika kematian berisi
konsep, ia malah dimanipulasi sebagai kebekuan jalan jihad dan kering tanpa
dasar penghayatan sama sekali.
Martin Heidegger membedakan dua
jenis kematian. Ini berkaitan dengan dua hal sekaligus, yakni, pertama angst, sejenis rasa kecemasan yang
dirasakan manusia dalam menghadapi kematian, dan kedua, sikap kepercayaan terhadap kematian
yang sudah pasti berakhir digenapkan ajal.
Matinya kucing, tikus, atau televisi,
tidak sama dengan matinya manusia sebagai Dasein.
Kematian binatang seperti kucing dan tikus adalah kematian (off liven) yang datang menyergap tanpa
yang bersangkutan menyadarinya. Sementara cara Dasein berakhir merupakan kematian yang direncanakan, kematian yang
disadari dan mewarnai keseluruhan eksistensi Dasein (sterben) oleh
dorongan kecemasan.
Heidegger menciptakan istilah khas
berkaitan dengan sikap otentik ini dengan nama vorlaufen. Arti kata ini adalah ”berlari ke depan” yang diartikan
sebagai ”antisipasi”. Mengantisipasi kematian terjadi manakala Dasein mengalami kecemasan eksistensial
di saat krisis menghadangnya, yaitu dengan cara menentukan pilihan arah
kehidupannya ke depan.
Lalu, bagaimana kematian dan
keputusan eksistensial dapat saling berhubungan satu sama lain? Keputusan
adalah pilihan untuk mengantisipasi yang akan datang. Kita hidup di dalam 1001
kemungkinan yang peluangnya sama besar untuk dipilih sebagai keputusan. Sikap
berani menghadapi kemungkinannya yang paling khas ini tak lain daripada sikap
membuka diri terhadap kematian sendiri, karena dengan kematian kita dihadang oleh
kemungkinan kita yang paling singular.
Itu artinya, cara Dasein hidup ditentukan atas
keterbukaannya terhadap kematian. Karena ia menyadari (angst) kematian adalah akhir yang bakal menggenapkan keseluruhan
eksistensinya, maka sebelum ajal datang, manusia mesti memilih cara kematian
yang paling mewakili dirinya (Ada menuju
kematian).
Inilah saat Dasein menyadari keterbatasannya dengan menyongsong kematian yang
mendasari kemungkinan-kemungkinan eksistensinya. Anda ingin berakhir melalui
ajal di masa pengabdian kemanusiaan, atau berakhir tragis di sudut gelap sel
penjara.
Kehidupan Dasein yang otentik adalah jenis kehidupan yang ditentukan
bagaimana Anda melihat kematian. Dengan
kata lain, bagaimana cara Anda menjalani kehidupan, ditentukan seperti apa Anda
melihat kematian.
===
Telah dimuat di Kalaliterasi.com