Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2017

Agama atau "Agama"?

Ketika Ali Syariati mengomentari pengertian agama yang dinyatakan Emile Durkheim sebagai semangat kebangsaan dan kolektif masyarakat yang ditransformasikan ke dalam simbol-simbol, ritus, dan tradisi keagamaan, sosiolog abad 20 ini juga menunjukkan dua kategori agama yang sering tampil dalam sejarah masyarakat. Bahkan menurut Ali Syariati, di antaranya, dua kategori agama ini sering mengalami pertentangan dan perlawanan. Dengan kata lain, pertentangan yang sering dihadapi agama bukanlah entitas di luar dirinya sendiri, melainkan antara agama melawan agama. Sebagai seorang sosiolog, Ali Syariati meradikalkan pembagian agama berdasarkan fungsi kritik dan transformatifnya di dalam masyarakat. Artinya, sejauh fungsi normatif agama tidak memberikan kontribusi dan mendorong perubahan sosial, maka agama itu menjadi paham yang dekaden dan disfungsional. Selain itu, fungsi kritik dan transformatif dari agama, secara teoritik akan memberikan perbedaan fondasional terhadap paham-paham ya...

Ilmu atau Ideologi?

John Locke (1632-1704) Filsuf berkebangsaan Inggris Bapak liberalisme, terkenal dengan konsep Tabula Rasa-nya ILMU dan ideologi dua hal yang berbeda, walaupun keduanya bisa saling berkelindan. Ilmu ditelusuri dari fakta-faka, ilmiah, dan sifatnya mesti objektif nan bebas nilai. Sementara ideologi justru berbeda, berkebalikan sifatnya, bisa bukan atas fakta-fakta, sifatnya nonilmiah, dan bertendensi subjektif. Pengertian umum ini kadang masih diyakini ilmuwan Barat akibat konteks sejarah pemikiran yang mendasarinya. Dominannya cara pandang saintis yang merelatifkan pandangan-pandangan metafisika, sedikit banyak membuat antinomi ini masih berlaku hingga sekarang. Sebagai contoh, agama yang sebagian besar dibangun dari pandangan metafisis tidak dimungkinkan untuk dijadikan optik atas suatu soal akibat sifatnya yang tidak ilmiah. Bahkan, kecenderungan metafisika yang dimiliki agama disamakan sebagai ideologi yang alih-alih mampu dipertanggungjawabkan sebagai ilmu yang ...

Rausyanfikr atau Ilmuwan?

Rausyanfikr bukan terma yang sepenuhnya tepat disinonimkan dengan istilah free thinker, atau dalam terjemahan Inggrisnya yang disebut intellectual. Selain secara genetis dua istilah ini lahir dari alam pikir dan cara pandang yang berbeda, Dr. Ali Syariati, seorang sosiolog abad 20, menyebutkan beberapa kategori perbedaan di antara keduanya. Pertama, rausyanfikr (orang-orang yang tercerahkan) berbeda dari ilmuwan yang menemukan "kebenaran" tinimbang "kenyataan". Dalam hal ini, "kebenaran" berbeda dari "kenyataan" yang mana "kenyataan" sering kali hanyalah apa yang sering tampak dipermukaan. Sementara kebenaran adalah capaian atas sesuatu yang "digali" di dalam selimut kabut "kenyataan". Seorang rausyanfikr banyak mencurahkan pikiran-jiwanya untuk menemukan kebenaran lebih dari hanya gejala-gejala faktuil. Kedua, ilmuwan bekerja atas dasar menampakkan fakta sebagaimana adanya. Sikap etis ini membuat seora...

Bahasa dan Politik Ingatan dari Benedict Anderson

Pasca pindah sekolah menengah pertama, di hari pertama di kelas baru, saya sempat mendapatkan tertawaan akibat dialek bahasa yang berbeda. Gaya saya berbicara nampak asing bagi telinga orang Sulawesi Selatan. Maklum, ketika itu saya baru pindah dari Kupang, suatu kota dari gugusan pulau di Nusa Tenggara. Waktu itu entah untuk mengetahui kemampuan murid baru, guru matematika kala itu bertanya atas suatu soal yang sedang dibahas di atas papan tulis. Sontak saya kaget akibat murid yang dimaksud dari pertanyaan itu tiada lain adalah saya. Dengan terbata-bata saya menjawab seadanya seperti yang dijelaskan sebelumnya. Tepat di kala itulah hampir semua kelas menertawai saya. Menertawai dialek saya tepatnya. Buka saja dialek, kesulitan selanjutnya di kelas baru, terutama adalah bahasa Bugis itu sendiri. Seketika saya langsung menyadari, ada jarak antara saya dengan bahasa percakapan sehari-sehari bagi orang-orang Bugis. Jika di Kupang kami dipertemukan hampir semuanya dengan baha...

Perpisahan

Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk memahami perpisahan. Itulah sebabnya setiap jalan pisah, akan begitu menyakitkan dan hanya menyisakan kepiluan. Apalagi kematian, manusia tidak sanggup memahaminya selain daripada itu adalah lorong paling yatim. Kita sendiri akan menjalaninya tanpa tahu apa-apa. Tanpa mengerti apa-apa selain pada akhirnya hanya dengan menjalaninya kematian dapat dimengerti. Sesungguhnya, seperti perkataan Imam Ali, kematian ada dalam hidupmu yang ditaklukkan, dan kehidupan ada pada kematianmu yang menaklukkan.Sungguh orang-orang berbuat kebajikan, tak benar-benar mati.

1 Orang Bodoh ditambah 1 Orang Bodoh?

Ada prinsip sederhana yang seringkali diingatkan mamak ketika saya masih bersekolah tentang cara praktis agar dapat memiliki otak encer : ber temanlah dengan orang-orang pintar, lebih baik bodoh di antara mereka daripada pintar di antara orang-orang bodoh. Kelak ketika mulai dewasa, saya menduga anjuran ini mirip dengan nasehat agama untuk mengajak umatnya agar berkumpul dengan orang-orang saleh. Mendengar nasehat itu membuat saya yakin seratus persen bahwa ketika bergaul dengan orang-orang pintar pasti dengan sendirinya saya akan tertulari kecerdasan seperti orang yang tertulari flu burung dari entah siapa yang baru saja melancong dari negeri Cina nun jauh di sana. Anehnya k etika mendengar nasehat ini, saya seperti di sadark an bahwa diri saya bukan anak yang cerdas. Entah mengapa nasehat itu menjadi semacam sugesti bahwa saya memang bukan orang yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Itulah sebabnya, mamak selalu mengingatkan dengan nasehat demikian. Tapi ...