Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2017

Meriwayatkan Makassar dengan Literasi Kenangan Anging Mammiri

---Catatan atas buku Anging Mammiri, Jejak Makassar Tempo Dulu;   karangan Abdul Rasyid Idris Seorang yang menulis sejarah pasti tahu,   ingatan adalah suatu yang mudah menguap. Begitu pendakuan Goenawan Mohammad di salah satu esainya di tahun 2012. Karena itulah, sejarah mesti diabadikan. Ditulis dan diriwayatkan. Mirip origami, ingatan sangat mudah dibentuk, disusun, dibelokkan, atau bahkan silap dihimpit memori yang lain.     Tapi, Abdul Rasyid Idris dalam Anging Mammiri tidak sedang menulis sejarah. Melalui literasi kenangan, Abdul Rasyid hanya sedang melahirkan saudara kembar sejarah. Sebagaimana pendakuan Alwy Rachman di pengantar buku ini, Abdul Rasyid bukan dalam kapasitas menandingi sejarah Makassar sebagai kota, melainkan berusaha melahirkan kembali suatu peristiwa subjektif di era kekinian melalui kekuatan ingatan. Ingatan, dalam Anging Mammiri memang adalah kekuatan yang sebenarnya, yang berada di balik 76 esai Abdul Rasyid Idris. Sebagaiman...

Memerdekakan Kenangan

Kota yang kita lihat memang bisa hilang, tapi sebaliknya, dalam ingatan, kenangan atas suatu kota --penduduknya, gedung-gedungnya, pasarnya, lautnya, dlsb,-- jauh lebih bertahan, dan lebih lekat sebagai suatu "sejarah" bagi generasi yang akan datang. Itulah sebabnya, literasi kenangan, entah terhadap suatu kota mesti menopang ingatan masyarakat yang mudah silap oleh kesibukan dalam lipatan waktu. Terlebih lagi, kenangan yang diliterasikan jauh lebih dahsyat dibanding "lisan   kolektif" yang hanya menjangkau jauh lebih kecil tinimbang literasi yang menghidupkan kehidupan kolektif melalui karya tulis. Kenangan ketika dia diliterasikan, berarti perlawanan pertama terhadap ingatan yang berlahan menjadi lapuk. Di tengah deru modernisme, ketika ingatan banyak diambil memori buatan mesin-mesin canggih, literasi kenangan dengan bentuk karya tulis juga berarti cara kita menghargai masa silam. Akhirnya, siapa pun bisa melupa, ingatan bisa silap, tapi siapa pun t...

Literasi, Riset serta Seni sebagai Basis dan Alternatif Gerakan, Benarkah?

Saya merasa jengkel ketika mendapati tema diskusi: “Literasi, Riset Serta Seni Sebagai Basis dan Alternatif Gerakan”. Tema diskusi ini lahir dari lingkungan akademik kampus. Percik pikiran yang lahir dari masyarakat ilmiah. Apa yang salah dari tema tersebut? Alasannya sederhana: menempatkan literasi, riset, dan seni sebagai alternatif gerakan! Padahal, tidak ada satupun lingkungan ilmiah yang tidak bekerja tanpa mendasarkan literasi dan riset, juga seni sebagai basis fundamentalnya. Dengan kata lain, menulis, memperkaya pustaka, meneliti, dan bergerak dalam seni adalah bukan gerakan alternatif. Dia sebenar-benarnya pekerjaan ilmiah yang harus diutamakan. Artinya ada persepsi yang salah. Atau mungkin tradisi aktivisme selama ini yang melenceng dari “khittahnya”. Menempatkan literasi, riset dan seni sebagai subordinat dalam aktivisme kampus, adalah soal serius. Apalagi jika itu dianggap biasa, maka soal ini jauh lebih serius. Tradisi akademik dan aktivisme kampus sejatinya meru...

Memahami Seni Memahami: Pengantar ke Hermeneutika Friedrich Schleiermacher

---catatan singkat atas Seni Memahaminya F. Budi Hardiman Manusia mahluk simbolik. Begitu pendakuan scholar kebudayaan. Bahkan Clifford Geertz, antropolog abad 20 menyatakan, manusia adalah mahluk yang tidak lepas dari jebakan simbol. Lebih radikal lagi, Gertz mengatakan manusia dalam kehidupannya senantiasa dijerat makna-makna. Itu artinya secara sosiologis interaksi manusia tidak terlepas dari cara mereka menangkap makna. Bagaimana diartikan dan diaplikasikan melalui hubungan tingkah laku antara sesama. Dengan kata lain, interaksi manusia hanya mampu dimungkinkan jika diperantai makna. Tanpa makna, hampir semua hubungan manusia dalam masyarakat mengalami defisit eksistensi dan tanpa arti. Makna sebagai satuan pengikat yang memperantai komunikasi antar individu, komunitas, bangsa, agama, ras, kebudayaan dlsb., sangat rentan mengalami bias yang mendatangkan kesalahpemahaman. Disebabkan bentuk, tingkatan, situasi, tradisi, tempat, waktu, dan latar belakang pengetahuan, pem...

Misykat

Di setiap peradaban, baik Timur maupun Barat, ketika membangun suatu kota, misalnya, bangunan seperti masjid, merupakan tautan tempat semua bermula. Itu sebabnya, di situ ditetapkan sebagai pusat. Segala hal ditentukan dari sana; nilai, pandangan dunia, moral, tradisi, dan bahkan agama.   Masjid, atau pusat spiritualitas seperti gereja, di masa itu memang menjadi tempat di mana mata tuhan melihat dan menyapa realitas. Dari kubah-kubah masjid, atau menara-menara gereja, tuhan berswastika di hati orang-orang yang beribadah di bawahnya.   Dalam Islam, kubah masjid ibarat misykat, simbol mangkuk terbalik yang dimiliki jiwa setiap insan. Di dalam mangkuk itulah sumber cahaya ilahi memancar. Al quran menyebutnya seolah-olah pantulan cahayanya menembusi minyak di bawahnya, melampaui dinding-dindingnya di barat dan di timur.   Misykat inilah yang kadang bergetar-getir ketika nama tuhan bersentuhan dengan indera pendengar. Di dalam hati, bagian tubuh yang bergetar it...

Saga di Balik Athena

“...Di balik Olympus, Krito di balik Olympus. Senja begitu merah begitu saga. Seumur hidup belum pernah kusaksikan senja secemerlang itu...” Petikan puisi Mochtar Pabottingi di atas, barangkali adalah puisi yang muram. Di balik Olympus, Krito, di balik Olympus, adalah gelagat lema yang ditangkap bahasa, tentang Socrates, filsuf yang akhirnya mati –memanggul kebenaran-- tanpa guyah sedikit pun terhadap maut. Puisi Krito, Senja Saga Di Athena , memang puisi atas rekaman sejarah, tapi dialog Krito dan Socrates, sebenarnya, adalah dialog yang dibutuhkan bagi orang-orang yang merindukan kebenaran seperti Socrates. Begitulah kebenaran, ikhwal yang akhir-akhir ini lebih banyak membuat polemik daripada suatu ikhtiar yang menyenangkan. Di masa Socrates hidup, kebenaran sesuatu yang musykil ditanggung seseorang daripada akhirnya menyerah untuk menemukannya. Kebenaran, sejauh diandaikan sebagai pencapaian epistemik, atau bahkan ontologis, adalah “sesuatu” yang memang diraih in...

Toiletmu, Budayamu!

A nation without clean toilet is a nation without culture . Begitu slogan World Toilet Organization tentang toilet sebagai indikator keberbudayaan. Bangsa tanpa toilet bersih, adalah bangsa yang tak berkebudayaan. Cina kerap jadi momok dari pada pokok belajar di negeri ini, bahkan juga bilang: kalau tidak punya toilet bersih, adalah negara yang tidak memiliki masa depan. Seberapa pentingkah toilet itu sebenarnya, sampai-sampai menjadi tolok ukur kebudayaan? Toilet, seperti juga ruang lain diciptakan, juga representase dari cara pandang kebudayaan tertentu. Dengan kata lain, toilet –seperti beragam bentuknya di tiap bangsa-- sebenarnya cara manusia membaca dan mengeja kebudayaannya. Barangkali itulah sebabnya toilet juga penting "dimanusiakan". Toilet, bukan sekadar tempat "sisa-sisa" aktivitas perut dibuang, tapi bagaimana tubuh manusia menjadi lebih nyaman di dalamnya. Ketika manusia masih belum terpisah dengan alam, buang hajat sering dilakuk...

Layang-layang

Kini layang-layang bukan lagi benda yang istimewa. Bagi anak-anak sekarang, keistimewaan layang-layang hilang akibat betapa mudahnya layang-layang ditemukan di tiap kios sebelah rumah. Tinggal menyisikan beberapa ribu rupiah, benda yang terbang memanfaatkan angin itu sudah dapat dimiliki. Dulu, dan mungkin pernah Anda alami, layang-layang mainan yang harus diibuat dengan tangkas. Tangan Anda harus terampil menggunakan perkakas. Untuk membuatnya Anda juga harus mahir mengukur keseimbangan tulang-tulangnya. Dan juga, tentu seberapa berat tiang batang layang-layangya. Dari layang-layang, suatu keterampilan menjadi aktifitas yang khas; ketika membuatnya, anak-anak dapat belajar ilmu ukur, cara memilih bambu yang baik digunakan, dan atau keterampilan merautnya dengan pisau yang Anda asah sendiri. Layang-layang, akibatnya bukan sekadar permainan belaka, tapi dari cara dia dikontruksi, di situ mengandung ikhwal yang istimewa: keterampilan tangan yang tangkas. Sumber-sumber p...

Sejarah Perkembangan Masyarakat

Herbert Spencer 27 April 1820 –8 Desember 1903 Filsuf Inggris dan seorang pemikir teori liberal klasik dia lebih dikenal sebagai bapak Darwinisme sosial --suatu catatan singkat Ilmu-ilmu sosial klasik memandang masyarakat sebagai entitas yang stabil dan statis. Ini mesti dimaklumi akibat pengaruh cara pandang positivistik yang menghinggapi ilmuwan sosial  ketika merepresentasekan masyarakat sebagai satuan konsep atomistik. Paling banter, jika mengisyaratkan adanya tanda-tanda gerak di dalamnya, masyarakat umumnya dipahami ibarat satuan organik. Terbangun atas sistem kehidupan, jaringan interaksi sel-sel, bertingkat-tingkat, dan memiliki karakteristik yang monoton. Tapi tetap saja, konseptualisasi demikian masih ditawan pandangan biologistik, yang sebenarnya sangat tidak representatif menggambarkan masyarakat sebagai entitas yang cair, kompleks, bergerak, rumit, dan menyejarah. Abstraksi masyarakat yang demikian mengandung kecacatan  mendasar. Pe...