Esai Seri Kritik Pendidikan (1): Scola Matterna


(SEKOLAH kali ini mesti dirumuskan ulang. Terutama strategi saat menghadapi korona. Jika korona tidak berakhir dalam waktu dekat ini, maka bisa saja sekolah akan tidak ada. Atau setidaknya pertemuan tatap muka, yang selama ini dilakukan bakal bergeser ke layar smartphone. Jika begini, masalah pendidikan akan makin banyak. Salah satunya adalah masalah kultural tentang interaksi siswa dengan teknologi canggih. Sebelum itu terjadi, di bawah ini adalah dua tulisan tentang pendidikan, yang ditulis di waktu berdekatan. Tulisan yang lebih panjang--masih menyoal pendidikan-- dapat dibaca di Pendidikan dan Aib: Takdir Hidup si Automaton. Untuk versi rekam-suaranya dapat didengarkan di Seri critical pedagogy)
 

FONDASI pendidikan, kini, jadi makin runyam. Akibat korona berkepanjangan, sekolah nyaris rontok. Buku absen salah sedikit tutup buku. Guru dan siswa meripuh. Kepala sekolah sampai menteri, bekerja memburu waktu memikirkan rumus kebijakan yang tepat. Jika semua salah antisipasi, sekolah akan tinggal gedung kosong dan halaman upacara yang melompong.

Tapi, untung saja, sekolah hari ini tidak ingin kehilanga muka. Berkat teknologi informasi komunikasi, dan juga cara bersiasat dengan keadaan, kebijakan menteri Pendidikan dan Kebudayaan mendorong para guru mengajar online jarak jauh. Tidak sekadar mengajar seperti biasa, kegiatan ini  mesti dilambari cara mengajar kreatif dan inovatif dibandingkan keadaan sebelumnya—implikasi ”merdeka belajar”.

Omong-omong soal belajar online, sadar tidak sadar, para guru di era digital dikepit dua tuntutan sekaligus: kebijakan ”merdeka belajar”, dan sudah pasti, berhadapan dengan beragam jenis medium pembelajaran maya.

Mau tidak mau, saat semua serba digital, para guru mesti berjibaku ”melawan” beragam aplikasi belajar dengan misi sekolah virtual. Sebut saja beberapa aplikasi semisal, Rumah Belajar, Kelas Pintar, IndonesiaX, dan Ruang Guru, yang getol bersosialisasi melalui hampir di semua jaringan televisi, dengan keanggotaan tenaga didik yang difasilitasi peralatan canggih saat membuat video tutorial belajar.

Walaupun Kemendikbud sudah bekerja sama dengan aplikasi-aplikasi semacam itu, dengan maksud meringankan kerja sekolah dan guru, namun tetap saja, tugas-tugas guru tidak otomatis menjadi lebih mudah.

Di saat menjalankan tugasnya, para guru akan bersaing dengan ”guru-guru” digital yang lebih friendly dan praktis saat menjelaskan materi belajar. Secara teknis, dalam jangka waktu lama, persaingan ini akan mengubah posisi dan peran kultural guru sekolah. 

Lama kelamaan—yang makin dirasakan—guru-guru akan bernasib sama dengan profesi semisal tukang pos atau teller bank, yang hilang diganti oleh medium teknologi informasi canggih. Meski ini prediksi para ilmuwan sosial, tetap saja zaman kekinian menunjukkan tanda-tandanya. Dua di antaranya sudah disebutkan di atas: kemunculan aplikasi belajar, dan kecenderungan digitalisasi sekolah.

Itu satu soal, terutama yang dirasakan sekolah di kota-kota maju, yang notabene lebih memadai segi infrastruktur ketimbang sekolah-sekolah di pelosok. Jika guru-guru di kota sengit bersaing merebut posisi pedagogis dengan beragam aplikasi canggih tutorial belajar, di desa-desa atau pelosok, masalahnya lebih parah lagi.

Jaringan tidak merata adalah masalah tersendiri di desa-desa. Belum lagi faktor ekonomi masyarakat desa tidak seperti keluarga masyarakat perkotaan. Anak-anak di desa masih berada dalam kondisi belum begitu intens terpapar gawai, yang berbeda dari anak-anak perkotaan bahkan tidak sedikit sudah memiliki smartphone sendiri. Dikarenakan ini, timbullah inisiatif sekolah mengirim guru-gurunya turba (turun ke bawah), datang berkunjung dari rumah ke rumah mengajar langsung mengatasi kelangkaan dan ketidaktahuan pemanfaatan smartphone.

Seperti juga institusi publik lainnya, mengatasi kerunyaman di atas, sembari meringankan beban  sekolah, kini mau tidak mau, sekolah terlihat mengandalkan satu-satunya lembaga sosialisasi tertua dan pertama untuk menjalankan fungsi pedagogisnya: keluarga.

Ya, ketika kini banyak lembaga-lembaga publik berhenti, atau membatasi aktivitasnya—termasuk sekolah—keluarga adalah satunya-satunya entitas terakhir yang diharapkan bisa menjalankan agenda-agenda publik selama ini. 

Sekolah, memang awalnya tumbuh bersama keluarga. Terutama dari kegiatan waktu luang keluarga. Dulu orang Yunani antik, di waktu luangnya, terbiasa berkunjung ke seorang cerdik pandai untuk berkonsultasi mengenai banyak hal. Tidak sekadar berkonsultasi, dari ”kongkow-kongkow”  itu mereka berdialog tentang segala ikhwal yang muncul dari pertanyaan-pertanyaan penting menyangkut eksistensi kehidupan mereka.

Kongkow-kongkow di waktu senggang itulah yang oleh orang Yunani sebut  sebagai scole atau scola (skolae: Latin, school: Inggris), yang arti harfiahnya memang ”waktu luang”.

Lambat laun, keluarga-keluarga pati ini menurunkan kebiasaan ber-scola kepada anak-anak agar dapat menggantikan posisi mereka jika sudah dewasa.

Kenyataannya, kegiatan ini makin sering dan menjadi kebiasaan umum, dan mengubah sebagian fungsi pengasuhan keluarga sebagai scola matterna (pengasuhan ibu) menjadi scola in loco parentis (pengasuhan di luar rumah yang memanfaatkan waktu senggang), yang dilakukan  di bawah bimbingan cerdik pandai selama waktu luang tersedia bagi anak-anak. 

Kelak, lembaga-lembaga yang meneruskan sebagian fungsi pengasuhan keluarga ini—sekolah atau perguruan tinggi—akan disebut alma matter (ibu asuh yang memberikan ilmu).

Sekarang, saat ruang kelas kosong, ketika ”waktu luang” melimpah, dan perhatian belajar anak tertuju di atas layar smatrphone, coba tengok di dalam rumah-rumah, apakah keluarga masa kini masih mempertahankan fungsi scole-nya atau tidak?

Ketika pandemi institusi sekolah masih terhambat di soal-soal teknis, apakah keluarga sudah memiliki ”agenda-agenda” tersendiri yang setara untuk mengganti model belajar di sekolah?

Apakah keluarga saat ini, karena perubahan situasi tiba-tiba, tidak memiliki sama sekali pedagogi alternatif yang bisa diterapkan dalam lingkup kehidupan keluarga? Apakah para orangtua bersukacita dapat lebih dekat dengan anak-anaknya untuk bermain dan belajar?

Dengan kata lain, apakah para orangtua, di saat ini, masih bisa mengubah keluarganya menjadi scola matterna

Jika tidak, apa sebenarnya yang terjadi, mengingat banyak keluhan—ada yang sampai depresi dan bunuh diri—orangtua murid akibat sekolah mesti ”dirumahkan”?