Pendidikan dan Aib: Takdir Hidup si Automaton


(1)

OTAK manusia, menurut ahli psikologi perkembangan, tidak sempurna kali pertama dilahirkan. Sebagai organ paling kompleks, otak manusia membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyempurnakan pertumbuhan jaringan sel syarafnya.[1] Para ahli neurologi, karena itu menyebut otak manusia organ paling lemah dan prematur dibandingkan otak makhluk lainnya .

Berbeda dari binatang, manusia menciptakan kebudayaan demi menutupi lubang-lubang dalam kehidupannya. Melalui kebudayaan, dan dalam waktu yang sangat panjang, ia belajar menyempurnakan jaringan sel otaknya melalui revolusi kognitif. Di waktu-waktu itu juga, ia membangun rumah meninggalkan gua-gua demi berlindung dari alam rimba, menemukan sawah dan ladang-ladang, dan menciptakan revolusi agrikultur untuk bertahan hidup,[2] dan menciptakan pakaian agar berbeda dengan simpanse atau kera, kerabat dekatnya, yang masih berkeliaran bebas di hutan-hutan.

Manusia, karena itu, tampak menjadi makhluk yang paling maju dibanding hewan lainnya. Setelah ia menciptakan revolusi kognitif dan revolusi agrikultur, manusia banyak belajar dan mendidik dirinya. 

Tidak semua hal dapat dipelajari manusia, tapi melalui pendidikan, manusia menciptakan hal-hal semacam jalan raya, taman bermain, buku, perpustakaan, ruang belajar, dan sekolah, demi membuat perbedaan fundamental dengan para binatang. Semua hal-hal itu disosialisasikan bersama temuan-temuan baru selama berabad-abad, untuk memaksimalkan kerja jaringan syarafnya. Agar otak manusia mampu menjadi piranti yang membuatnya dapat menghadapi situasi yang serba berubah.

Sigmund Freud, psikoanalisis asal Swiss, mengandaikan manusia digerakkan bukan sepenunya oleh alam sadar seperti anggapan abad sebelumnya. Ibarat gunung es di atas permukaan lautan, puncak es yang tampak, hanyalah penampakan sebagian kecil dari badan gunung yang tersembunyi di dasar lautan.

Bagaikan puncak gunung es, kesadaran manusia tidak sepenuhnya tampak mandiri oleh karena ditopang kaki-kaki gunung yang tersembunyi jauh di bawah permukaan. Kaki-kaki gunung yang tersembunyi inilah alam bawah sadar manusia yang sebenarnya menopang alam sadar manusia.[3]

Di antara dua lapisan kesadaran ini, manusia mengerahkan seluruh energinya agar tidak selamanya hidup di dalam kubangan alam bawah sadar yang notabene memiliki gelagat negatif.[4] Dalam hal ini, manusia mendedikasikan kehidupannya bertahun-tahun ke dalam pendidikan untuk memperhalus perangainya, agar tidak berperilaku seperti hewan-hewan di alam rimba.

Tak bisa dimungkiri, di sisi jiwa terdalam manusia, ada sisi instingtif yang mampu menggerakkan manusia bertindak di luar batas-batas normal. Bahkan, sisi ini seringkali begitu kuat menarik alam sadar manusia jatuh ke alam bawah sadarnya yang sepenuhnya irasional, amoral, dan asosial. Meski demikian, di sinilah mengapa kehidupan masyarakat nampak percaya dan menyandarkan sepenuhnya kepada institusi sekolah agar berperan mengontrol dan mendidik sisi libidinal manusia.

Dalam kancah yang lebih luas, tatanan yang lebih mengedepankan unsur libidinal manusia akan menciptakan kondisi buruk berupa dehumanisasi dan alienasi. Kehilangan kontrol atas alam sadar akan menimbulkan kegilaan berupa kehilangan dimensi kemanusiaan yang menjadi ciri fundamental manusia.[5] Alienasi berupa keberjarakan manusia dari inti kemanusiaannya akan membuat dirinya mengalami kesalahan mengenal siapa dirinya.[6] Ia, dengan kata lain, akan mengalami krisis eksistensi berupa keterasingan akut.

Dunia memang sudah berubah dari beberapa abad sebelumnya. Meski demikian, revolusi kognitif, agrikultur, industri, dan belakangan revolusi teknologi informasi, tidak sepenuhnya mengubah kenyataan bahwa masih ada bangsa-bangsa terbelakang, kawasan-kawasan perang, dan negara-negara koloni yang belum sepenuhnya merdeka seratus persen.

Di sejumlah tempat demikian, banyak orang-orang hidup di bawah garis kemiskinan, terancam menerima risiko pembangunan berupa gizi buruk, putus sekolah, kehilangan tempat tinggal, putus kerja, pandemi, dan kematian.

Tidak juga bisa disanksikan, ketika kereta kuda telah berganti menjadi kereta supercepat, dan alat tukar sudah semakin canggih, temuan-temuan peradaban masih belum mampu mengubah cara berpikir sebagaian orang—jika bukan masyarakat—yang memercayai sebagian kawasan dunia telah menjadi tempat persembunyian alien saat datang menggunakan ufo, atau percaya dengan naif, bahwa dunia tidak sepenuhnya diciptakan menyerupai bola sepak.

Jika pendidikan seperti disebutkan oleh para ahli merupakan usaha sadar dan sistematis[7] untuk mengubah hal-hal di atas, maka perlu suatu pendekatan, jika bukan defenisi lain, untuk mengartikan pendidikan yang mengubah total seluruh dimensi diri manusia, dan bukan saja menyasar dimensi kognitif yang hanya sekian persen dari alam berpikirnya.

Dengan kata lain, pendidikan bukan saja bertanggug jawab kepada pengembangan dimensi kognitif dan afeksi manusia belaka, tapi juga mesti ikut bertanggung jawab kepada keseluruhan hidup manusia, kepada nasib dan kesejahteraannya.

Di Brazil, sosok seperti Paulo Friere, mengartikan lebih jauh apa arti pendidikan di masa kini. Menurutnya, pendidikan tidak sekadar transfer ilmu pengetahuan belaka, yang ia kritik sebagai pendidikan ala bank[8], melainkan mesti berfungsi sebagai alat pembebasan manusia dari proses dehumanisasi dan alienasi yang disebabkan sistem represif berupa negara atau sistem ekonomi politik seperti kapitalisme. Pendidikan mesti mengerahkan kemampuan peserta didik melewati tahap-tahap kesadaran—magis dan naif—mencapai kesadaran kritis.[9]

Kesadaran kritis adalah tahap kesadaran puncak setelah manusia mampu mengidentifikasi problemnya ke dalam konteks kehidupan sosial politik yang menjadi sebab mengapa ia menghadapi masalah demikian.

Kemiskinan, misalnya, konteks kehidupan yang menjadi titik tolak pendidikan ala Freire, akan berakhir sebagai kenyataan yang magis dan naif,  ketika hanya dilihat sebagai nasib masyarakat yang tidak terkait sama sekali dengan faktor-faktor sosial dan politik. Hanya kesadaran kritislah yang mampu mengemukakan faktor-faktor terkait, mengapa kemiskinan dapat terjadi. Dengan kata lain, kemiskinan dalam hal ini bukan takdir masyarakat yang sepenuhnya terjadi begitu saja, melainkan dipengaruhi pula dari unsur ekonomi, sosial, budaya, dan kekuasaan.

Paulo Freire, menyebut pendidikannya ini sebagai pendidikan kaum tertindas, dengan alasan dan titik tolak masih banyak orang miskin yang mengalami dehumanisasi oleh sistem represif berupa negara atau sistem ekonomi kapitalisme, serta dampak dari itu, terjadi pemiskinan besar-besaran yang membuat banyak orang hidup tanpa dipenuhi hak-hak dasarnya.[10]

Oleh sebab itu, tugas pendidikan bagi Freire adalah mengembalikan kemanusiaan yang hilang, baik dari penindasan dan masyarakat yang mengalami ketertindasan melalui suatu praksis pembebasan hadap masalah. [11] Dalam hal ini, praksis bagi Freire berarti dua unsur yang bekerja secara simultan berupa refleksi dan aksi, di mana refleksi mengandaikan proses transformasi kesadaran manusia atas keberadaaanya di dunia, dan aksi sebagai kemampuan mengubah keadaan dengan kapasitas kesadaran yang sudah sebelumnya dimiliki.[12]

Banyak kritikus pendidikan yang mendakukan bahwa dunia pendidikan adalah refleksi masyarakatnya.[13] Era sekarang, ketika kapitalisme mutakhir menjadi momok tak terhindarkan, pendidikan yang memiliki tujuan yang luhur itu pada akhirnya didudukkan berdasarkan skema masyarakat kapitalistik.

Menurut pendakuan Jean Anyon, seorang sosiolog pendidikan marxis, relasi pengetahuan yang berlaku dalam institusi pendidikan, hanyalah kebutuhan-kebutuhan yang disesuaikan dengan sistem ekonomi pasar kapitalistik.[14]

Temuan ini ia dapatkan atas fenomena yang ia hadapi sejak 1970 mengenai lima sekolah dasar yang berlatar belakang ekonomi berbeda satu sama lain: dua sekolah kelas pekerja; satu sekolah kelas menengah; satu sekolah kelas profesional; dan satu sekolah elite eksekutif. Dari penelitiannya ini, Anyon menemukan adanya pendekatan pembelajaran berupa ilmu, prosedur, dan keahlian yang berbeda dari masing-masing sekolah, yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar tempat anak-anak didik nanti bekerja.[15]

Itulah mengapa sampai hari ini, terutama dalam institusi pendidikan tinggi, banyak sekat-sekat yang membagi secara kategoris satuan belajar dimulai dari cara masuk berdasarkan tingkat ekonominya. Kata Ivan Illich, proses pendidikan yang dikonfigurasikan atas sistem ekonomi, hanya menghasilkan out put yang tak bermutu.[16] Sekolah hanya mendorong kepada pengasingan siswa dari hidup. Sekolah hanya memaksa semua anak untuk memanjat tangga pendidikan yang tidak berujung dan tidak meningkatkan mutu, melainkan hanya menguntungkan individu-individu yang sudah mengawali pemanjatan itu sejak dini. Pengajaran yang diwajibkan di sekolah membunuh kehendak banyak orang untuk belajar mandiri, pengetahuan dilakukan ibarat komoditi, dikemas-kemas dan dijajakan.[17]

Di saat itulah ilmu pengetahuan menjadi komoditi.[18] Seperti benda-benda yang terpampang dalam etalase pertokoan, kapitalisme membuat pendidikan kehilangan arah dan tujuan hakikinya untuk menciptakan peserta didik yang kritis terhadap dunia.[19]

Peradaban kiwari, jika dianalisis ke dalam pendekatan sosiologi pengetahuan, adalah stuktur kehidupan yang tidak lekang dari intervensi kekuasaan dan ideologi. Kedua hal ini, dalam kehidupan ril, bekerja sampai ke level pengetahuan dan perilaku dengan cara keterlibatan medium-medium sosialisasi seperti media massa, lembaga keluarga, lembaga hukum, dan sekolah.[20] 

Pengetahuan, dalam arti sebagai  cara pandang, kebiasaan, dan kecenderungan-kecenderungan dalam tingkah polah manusia, dengan kata lain tidak tercipta di dalam ruang hampa. Ia, betapa pun mulia tujuannya, mau tidak mau mengalami banyak bias yang dipengaruhi oleh kekuasaan dan ideologi yang bergerak secara simultan dan timbal balik dalam membentuk masyarakat.

Setidaknya ada tiga pengaruh yang ditimbulkan kapitalisme terhadap pendidikan, sebagaimana yang diungkapkan Peter McLaren. Pertama, kapitalisme menciptakan sekolah-sekolah yang menerapkan praktek penyelenggaraan pendidikan yang lebih mendukung kontrol ekonomi oleh kelas elite. Kedua, hubungan kapitalisme dan ilmu pengetahuan telah mendorong terciptanya perkembangan ilmu pengetahuan yang bertujuan mendapatkan profit material dibanding menciptakan kehidupan global yang lebih baik. Ketiga, perkawinan kapitalisme dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan telah menciptakan fondasi bagi ilmu pendidikan yang menekankan nilai-nilai korporasi dengan mengorbankan nilai keadilan sosial dan martabat manusia.[21]

 

 

(2)

ADA suatu istilah menggelitik yang diungkapkan Erich Fromm, scholar psikologi humanistik, dalam suatu artikelnya menyangkut pendidikan: Mendidik si Automaton.[22] Si Automaton merupakan penggambaran manusia yang menurut Fromm lahir dari kebebasan demokrasi, dengan hak untuk mengutarakan pendapat, tapi tidak bermakna sama sekali lantaran tidak mampu memiliki isi pikiran sendiri. Kebebasan, kata Fromm, tidak akan berarti sama sekali jika manusia masih berkubang di dalam kondisi kejiwaan tanpa subjektivitas, atau mampu menetapkan individualitasnya sendiri. Automaton, dengan kata lain, sesosok manusia yang ia sebut makhluk yang hidup terkucil, bergerak dan berpikir serupa mesin, serba otomatis.[23]

Dalam artikel itu, Fromm  mengkritisi kebudayaan yang mencetuskan model pendidikan yang menghasilkan peserta didik yang kehilangan cetusan-cetusan jiwa, perasaan, pikiran, dan harapan, yang sengaja disuntikkan dari luar.[24] Fromm, menghendaki suatu model  pendidikan yang mampu melahirkan individu-individu dengan tindakan merdeka dan autentik, yang berakar dari individu yang bersangkutan.

Melalui kritiknya ini, Fromm sebenarnya sedang mengarahkan arah kritiknya kepada suatu tradisi pendidikan yang berlandaskan paradigma dengan asas-asas positivistik, yang menghasilkan keluaran pendidikan teknokratik. Pendidikan ala positivistik, atau berdasarkan rasionalitas teknokratis punya dua unsur utama: konformitas dan uniformitas.

Konformitas adalah suatu upaya yang mengarah kepada penciptaan peserta didik yang pasif terhadap kehidupan dan teks ilmu pengetahuan. Sikap ini, dalam konteks kehidupan ril,  dengan sendirinya akan menciptakan manusia yang kehilangan gairah dan kehendak mandiri di dalam menentukan jalan nasibnya sendiri, akibat menerima keadaan apa adanya dan tanpa reserve sama sekali.

Sementara uniformitas, menciptakan keadaan masyarakat terdidik yang berdimensi tunggal melalui kesamaan cara pandang, minat, skill, dan tujuan hidupnya. Uniformitas atau penyeragaman, pada kasus-kasus tertentu seperti di Indonesia, selain dari sisi penyelenggaraan dan kurikulum, nampak kepada penggunaan seragam sekolah sebagai busana wajib bagi kalangan terdidik.

Sekolah atau intitusi pendidikan seperti perguruan tinggi, sebagai lembaga pendidikan, selain berfungsi sebagai alat untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan rekayasa sosial, adalah juga wahana sosialisasi politik bagi generasi muda, termasuk di dalamnya proses seleksi, rekrutmen, dan induksi ke dalam budaya budaya politik yang sedang berlaku. [25]

Itulah sebabnya, seperti didakukan melalui perspektif mazhab pendidikan kritis, yakni pendidikan atau institusi sekolah tidaklah netral, independen, dan bebas kepentingan, tapi justru menjadi bagian dari institusi sosial yang syarat kepentingan kekuasaan, ideologi, dan pasar.

Dalam tradisi pemikiran sosiologi kritis atau posmodernis, Pierre Bourdieu dan Michele Foucault, adalah dua pemikir yang menelisik dan menemukan betapa kuatnya relasi kekuasaan terhadap ilmu pengetahuan atau institusi pendidikan. Pertautan keduanya, bisa saling mengandaikan dengan maksud sama-sama merepresentasikan kekuatan dominan yang menjadi ideologi kekuasaan saat itu.

Kritik Bourdieu terhadap pendidikan dilihatnya melalui analisis kekerasan simbolik yang inklud di dalam praktik-pratik penyelenggaraan pendidikan dalam sekolah-sekolah. Kekerasan simbolik menurut Bourdieu dapat dinyatakan sebagai pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah.[26] Konsep yang menyerupai keadaan hegemoni menurut Antonio Gramsci ini, dapat berlangsung dalam waktu yang lama dan terjadi secara gradual, dikarenakan dilegitimasi melalui kekuasaan sehingga dianggap absah.

Kekerasan simbolik juga dapat terjadi melalui mekanisme pemaksaan tata cara, kebiasaan, tradisi, mekanisme, prosedur, atau apa yang diistilahkan Bourdieu sebagai habitus,[27] ke dalam kelas tertentu dengan cara halus dan tak disadari, sehingga kelompok yang bersangkutan menerima keadaan dengan cara apa adanya.[28]

Sama seperti penemuan  Jean Anyon, Bourdieu selama melakukan riset di bidang Pendidikan di Prancis, menemukan fenomena sekolah-sekolah yang menjalankan reproduksi sosial berdasarkan fungsi atau kebutuhan kelas elite. Di saat bersamaan, sekolah gagal melakukan mobilisasi kelas bawah untuk melakukan perbaikan atas kehidupannya yang serba  berkekurangan. Sekolah dalam keadaan ini, menurut Bourdieu adalah institusi yang mempertahankan status quo berdasarkan kepentingan kekuasaan kelas dominan. Bahkan, di keadaan yang spesifik, sekolah digunakan kelas dominan untuk mengukuhkan pandangan, cara berpikir, dan kebiasaannya, melalui kekerasan simbolik atas modal kultural[29] kelas bersangkutan.[30]

Sementara Michele Foucault, melihat kekuasaan atas pendidikan didasarkan kepada pemahaman bahwa kekuasaan tidak selamanya bersifat destruktif (menghancurkan), melainkan reproduktif dan kreatif (membentuk). Itu artinya bukan saja melalui pemaksaan, perintah, pelarangan, penekanan, penyaringan, dan dominasi, kekuasaan yang disebutnya tersebar dan divergen, bekerja pula dengan cara pengontrolan atas wacana dan ilmu pengetahuan.[31]

Atas dasar itu, pengetahuan atau wacana bukan ruang steril dari kepentingan. Menurut Foucault, wacana yang menjadi bagian dari kekuasaan, ikut pula mengatur bahasa dalam rangka menerangkan realitas. Bahasa, dalam hal ini bagian aktif dari kebudayaan yang ikut mengatur cara pandang, kebiasaan, dan aturan normatif dari komunitas tertentu. Perbedaan bahasa, dengan itu akan ikut menentukan perbedaan wacana dan pengetahuan, yang semuanya ditentukan dari kekuasaan itu sendiri.

Itu artinya, kekuasaanlah yang mengatur kebenaran dan wacana macam apa yang layak diketahui, aturan manakah yang mesti diindahkan, dan kenormalan manakah yang layak disebut betul-betul alamiah.  Dalam praktiknya, kekuasaan tidak bekerja atas tubuh, melainkan melalui tubuh, yang berarti tubuh bukan objek kekuasaan melainkan alat kekuasaan untuk melalukan mekanisme kontrol aktivitas dan praktik hidup sehari-hari.[32]

Kekuasaan negara dalam pendidikan, seperti dialami anak-anak Indonesia di sebagian usianya, muncul dalam bentuk-bentuk harfiah berupa indoktrinasi wacana sejarah resmi negara melalui pelajaran kewarganegaraan yang pernah diamalkan orde baru, penerapan kurikulum, sistem penilaian, dan manajemen sekolah. Di masa sebelumnya, di masa Orba, kehadiran sekolah-sekolah yang lahir atas dasar intruksi presiden (Inpres), bukan semata-mata untuk pemerataan pendidikan saja, melainkan sebagai mekanisme kontrol negara untuk menentukan wacana dan ilmu pengetahuan macam apa yang absah dipelajari masyarakat. [33]

Dalam konteks inilah, seperti yang ditulis Darmaningtyas, pendidikan nasional Tanah Air mengalami pergeseran orientasi akibat menguatnya kepentingan kekuasaan Orde baru, yang semula bertujuan untuk pencerdasan bangsa menjadi hanya sekadar instrumen politik jangka pendek. Melalui ini, perlu direfleksikan, apakah ada sebabnya secara internal sekolah-sekolah tidak mampu memenuhi kebutuhan dan tujuan pendidikan itu sendiri,[34] sehingga mendorong tumbuh suburnya lembaga-lembaga bimbingan belajar yang mengambil alih tugas belajar sekolah.

Foucault mengatakan, di dalam zaman modern, sekolah juga menjadi intitusi yang menjalankan tugas pengkotak-kotakkan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, bukan saja menjadi rezim pengetahuan yang mendikotomikan kategori kognitif menjadi jenius-idiot, cerdas-bodoh, rajin-malas, aktif-pasif, kedalam pengorganisasian tindakan peserta didik, sekolah dan juga perguruan tinggi melalukan pemisahan berupa subjek, penjurusan, dan mata pelajaran, sehingga berpengaruh terhadap masa depan peserta didik. [35]

Foucault juga mengatakan peralihan model pendidikan tradisional ke model pendidikan modern, ikut mengubah pola hukuman yang diterapkan di dalam intitusi pendidikan. Berbeda dari pola pendidikan tradisional yang menggunakan jenis hukuman fisik, dalam pola pendidikan modern, hukuman lebih diarahkan kepada mekanisme pendisiplinan, yang menjadi karakter masyarakat modern, yakni suatu proses pengubahan individu agar bertindak dan bersikap sesuai norma dan nilai masyarakat.

Dalam ranah pendidikan, menurut Foucault, pendisiplinan bekerja dalam tiga cara. Pertama, pengamatan. Metode ini diambil dari apa yang diistilahkan Foucault sebagai metode pengawasan panopticon, yakni apa yang diilustrasikan sebagai semacam menara pengawas dalam lingkungan penjara, yang memiliki kekuasaan mengawasi tanpa diketahui oleh orang yang sedang diawasi setiap saat. Inilah salah satu yang disebut hakikat kekuasaan itu sendiri, yakni terjadi secara diam-diam dan tersembunyi.

Seragam sekolah adalah salah satu cara penerapan pengawasan model panopticon, yang mengakibatkan murid sekolah mengalami situasi pengawasan secara langsung dan tanpa diketahui, karena dengan menggunaan seragam, tidak membuatnya dapat melakukan tindakan yang bebas. Saat bolos sekolah misalnya, seragamnya membuatnya otomatis menjadi terdakwa sehingga mudah dikenali dan dihukum.[36]

Di dalam situasi belajar, murid juga mengalami situasi pengawasan melalui sejumlah mekanisme pembelajaran yang dikontrol langsung oleh guru. Seperti kekuatan mata satu menara Sauron (Barad-dur)[37] dalam serial The Lord of The Ring, sang guru memiliki pengamatan dan kewenangan tanpa batas dalam menentukan kebebasan murid di dalam bersikap selama bersekolah. 

Cara selanjutnya adalah normalisasi atau standardisasi. Dalam sekolah, normalisasi atau standardisasi adalah suatu bentuk kegiatan belajar mengajar yang mengelompokkan dan mengkategorisasi peserta didik atau satuan pendidikan ke dalam ukuran-ukuran atau standar tertentu. Munculnya ukuran kecerdasan, kesopanan, dan kepatuhan, yang membandingkan peserta didik satu sama lain menggunakan kriteria tertentu, adalah bias yang dihasilkan dari mekanisme ini. Selain akreditasi, yang merupakan wujud nyata bagaimana kekuasaan negara menstandardisasi pendidikan, setiap tahun, kenyataan yang paling terang atas ini adalah standar kelulusan yang dihasilkan dari ujian nasional.[38]

Yang ketiga adalah ujian. Ujian dalam sekolah-sekolah, meskipun bertujuan sebagai evaluasi atas capaian tugas pembelajaran, kenyataannya adalah cara kekuasaan menjalankan ganjaran dan hukuman atas dua mekanisme sebelumnya, yaitu pengawasan dan standardisasi. Jika ada peserta didik yang tidak mencapai targert mekanisme sebelumnya, maka ujian akan berfungsi bukan sekadar untuk mengevaluasi tingkat pemahaman, tapi juga mengintervensi dengan menerapkan ganjaran dan hukuman sampai ke level afeksi.[39]

Ekses negatif dari ujian adalah leluasanya kekuasaan atas nama ilmu pengetahuan, mengurutkan dengan cara sederhana peserta didik ke dalam satuan-satuan kompetensi secara bertingkat, yang semuanya akan berdampak kepada penggolongan kemampuan peserta didik.

 

(3)

JIKA dikatakan aib, pendidikan nasional saat ini ketika berani untuk dikatakan adalah suatu sistem yang mengkerdilkan hakikat manusia dan kehidupannya. Melalui anggaran yang tidak seberapa, institusi yang korup, guru-guru yang tidak inspiratif, kurikulum yang beku dan kaku, serta metode belajar tradisional, merupakan wajah kelam yang disembunyikan di bawah permadani berupa prestasi menteri pendidikan yang muda nan rupawan, guru pahlawan tanpa tanda jasa, perubahan kurikulum atas nama progresifitas, serta slogan canggih mengawang-awang merdeka belajar. Semua itu masalah hari ini yang mesti direfleksikan secara kritis terus menerus agar pendidikan tidak berkubang di dalam masalah-masalah yang sudah diuraikan di atas.

Alkisah, sebutlah seorang anak bernama Bintang, anak sulung dari empat bersaudara, hidup nyaman di dalam keluarga mapan di daerah yang jauh dari kota Makassar. Dari kecil Bintang dimanjakan dengan pola asuh ”asal boleh” tanpa reserve dari kedua orang tuanya. Ia sering dilenakan dengan mainan-mainan mahal, yang dibelikan langsung dari gaji bapaknya yang bekerja sebagai pejabat di daerahnya. Layang-layang, sawah, dan sungai adalah semesta asing sejak Bintang kecil. Tidak seperti teman-temannya, pandai memancing di sungai, bermain petak umpet di sela-sela pohon cokelat di kebun, atau bersenda gurau sambil mencari keong di sawah, Bintang  tumbuh menjadi anak periang dan miskin pergaulan. Ketika teman sebayanya sibuk mencari bambu untuk membuat layang-layang, atau membuat mobil-mobilan dari kulit jeruk limau, Bintang tumbuh  di dalam rumah bersama saudara-saudara, terasing dari pergaulan di antara sepupu-sepupunya, banyak menghabiskan waktunya di depan televisi dan bermain game playstation.

Di sekolah, Bintang menjadi murid baik dengan seragam yang tak pernah kusut sedikitpun. Ia dianggap sebagai murid yang sopan karena tidak sekalipun pernah berbuat onar, pendiam, dan penurut.

Di kelas. Bintang akan bertemu satu dua guru yang inspiratif tapi miskin terobosan karena desakan RPP dan kurikulum yang kaku dan baku. Selebihnya, Bintang belajar tentang ilmu sejarah dari guru yang mengharuskannya menghapal tanggal-tanggal penting, peristiwa penting, dan nama-nama penting yang harus ia ingat sampai mati.  Ia belajar biologi dari gambar-gambar di buku panduan tanpa pernah diajak melihatnya di alam bebas, menghapal rumus-rumus matematika dan ilmu kimia tanpa diberitahukan apa kegunaan praktis jika itu dibawa ke kehidupan nyata.

Bintang kadang mesti menahan ngantuk jika jam-jam pelajaran memasuki waktu siang hari. Di saat itu, pelajaran ekonomi akan tampak membosankan sama halnya seperti mempelajari ilmu agama dari seorang guru yang lebih suka memberikannya hapalan surah-surah pendek, dan sejumlah pekerjaan rumah menyangkut isian daftar salat wajib yang mesti terisi penuh.

Dari itu semua, Bintang seolah-olah bersekolah, tapi lebih sering ia merasa sedang diburu oleh sesuatu tapi entah apa. Ia merasakan ada bagian dirinya yang dipenjara dan dituntut untuk diam daripada mengungkapkapnnya. Keresahan ini sekali dua kali ia rasakan, meskipun seiring waktu, itu bakal terhapus jika ia sibuk menghabiskan waktu bermain bersama teman-temannya.

Bintang tumbuh di dalam sekolah seperti anak seusianya, memilih teman perempuan atau yang lain, yang menurutnya lebih nyaman diajak ngobrol tentang anime Jepang, atau diajak bekerja sama dalam kegiatan belajar kelompok. Bersama teman terbatasnya, ia belajar menjadi murid seperti yang diharapkan gurunya. Rajin ke sekolah dan mengerjakan tugas sesuai intruksi yang tertera di buku cetaknya.

Jika ia pulang ke sekolah, pakaiannya ia gantungkan dan membiarkannya menumpuk bersama buku-buku pelajaran yang ditinggalkan begitu saja, di atas meja belajar yang jarang ia gunakan. Hari-hari demi hari ia lakukan hal yang sama, dengan seluruh kebutuhan yang ia bebankan kepada kedua orangtuanya. Bintang anak penurut yang tidak ada satu helai pun pakaian yang ia kenakan pernah ia cuci sendiri.

Sejak android menjadi mainan baru anak-anak masa kini, ia tidak pernah berpaling dari gawai canggihnya. Kebiasan mengoleksi gambar-gambar anime dan grup girlband K-Pop masih ia lakukan, di samping mengikuti serial komik online Korea. Kebiasaan itu memunculkan suatu pengetahuan baru baginya, terutama mengenai nama-nama artis dan frasa-frasa bahasa Korea yang ia hapal di luar kepala. Kemajuan ini ia rasakan dari waktu ke waktu, meski ia sadar sejak kecil tak pernah sekalipun tahu  dan mahir menggunakan bahasa ibunya dalam berkomunikasi sesama teman di daerahnya.

Setelah lulus dari SMA, yang saat masuk diupayakan orangtuanya dengan susah payah dikarenakan mesti ”membeli kursi” di sekolah yang tidak sepenuhnya sekolah favorit, kini membuatnya hidup jauh dari kedua orangtuanya di Makassar. Bintang saat ini telah menjadi seorang mahasiswa, dan tinggal sendiri di rumahnya yang jauh hari sudah dibelikan khusus untuk dirinya.

Tidak ada yang sepenuhnya berubah dari diri Bintang selain kelebihan uang jajan, dan sepeda motor yang dibelikan untuknya. Sehari-hari Bintang masih menyukai anime Jepang, dan menggandrungi game online, yang dimainkannya nyaris setiap waktu. Ia makan dengan mengandalkan uang jajan yang otomatis tidak pernah membuatnya mandiri menyiapkan makanannya sehari-hari. Jika ia makan, pandangannya tidak pernah lepas dari screen gawai menonton film selama berjam-jam.

Bintang menjalani kuliah hanya sekadar tuntutan sekolah sebagaimana kebiasaan anak-anak lain. Di kampus, ia masih melanjutkan kebiasaannya saat di SMA dulu, menjadi mahasiswa pendiam, penurut, dan mengerjakan tugas-tugas dengan cara meng-copy paste materi yang ia temukan di internet. Jika tiba waktu untuk mendiskusikannya, Bintang lebih mengandalkan kemampuan berbicara temannya daripada dirinya sendiri.

Pergaulan Bintang tidak begitu menarik diceritakan di karenakan ia begitu singkat menghabiskan waktunya di kampus. Setelah ia kuliah, yang berarti hanya mengisi absensi dan mencatat apa-apa yang dikatakan dosennya yang juga sama kurang bersemangatnya ketika mengajar, ia lekas pulang dan melanjutkan kesenangannya bermain game online sampai tengah malam.

Bintang adalah tipikal anak-anak yang terancam kehilangan kepekaan sosial, kemandirian bersikap, dan disorientasi hidup. Ia model anak-anak yang dididik di dalam pendekatan pendidikan yang sekadar menggugurkan tanggung jawab kurikulum, dan diasuh oleh kedua orangtua yang tidak tegas dan tidak berprinsip dalam mendidik. Di sepanjang usia sekolahnya, Bintang hanya menjadi objek atas pendidikan yang menjadi komoditas ekonomi dan politik.  Orientasi pendidikan yang melahirkan manusia yang mandiri, berwawasan, dan peka atas tanggung jawab hidupnya, hanyalah wacana asing yang tak pernah Bintang tahu dan dengarkan.

Praktis Bintang adalah si automaton yang diistilahkan Erich Fromm, pribadi mesin yang kehilangan individualitas atau subjektivitasnya sebagai manusia.  Manusia yang dimpor dari luar menyangkut perasaan, gagasan, cita-cita, dan harapan, yang tidak sama sekali ia sadari dan ketahui. Ia otomatis adalah pribadi yang selama bersekolah, dalam khazanah pendidikan kritis, mengalami dehumanisasi dan alienasi. Ia adalah anak didik yang terasing dan tercerabut dari keautentikan dirinya, yang terbenam dalam ilusi dan khayalan mengenai kebebasan.

Sebagai si automaton, masa depan kehidupan adalah suatu fenomena yang sudah ada begitu saja. Ia persis seperti yang dinyatakan Freire, yakni pribadi yang terjebak ke dalam pengetahuan yang dimistifikasi melalui nalar magis. Ia melihat satu fenemona dengan apa adanya tanpa mampu melihat relasi kuasa yang mempengaruhi eksistensinya. Ini menandai bahwa si automaton betul-betul laiknya mesin yang hidup secara otomatis tanpa mengalami pasang surut dialektis, yang timbul dari kemerdekaan dan kehendak bebasnya.

Si automaton, jika ditempatkan ke dalam suatu kedudukan dunia, ia menjadi pribadi yang terjebak ke dalam apa yang dinyatakan Ali Syariati, sosiolog Iran abad 20, sebagai empat penjara manusia[40], yang membuatnya menjadi makhluk pasif, irrelevan, dan tidak signifikan dalam sejarah kehidupannya. Empat penjara itu adalah:

Pertama, historisisme. Sebagai suatu istilah yang menggambarkan mazhab pemikiran dan penjara pertama manusia, historisme bertolak dari perspektif manusia sebagai produk sejarah. Dalam hal ini, sejarah menjadi kekuatan imperatif yang menentukan karakteristik, perkembangan, dan tujuan manusia. Manusia dengan kata lain, tidak dapat bergerak leluasa oleh sebab di dalam sejarah hubungan satu kejadian dengan kejadian sudah dideterminasi melalui sebab musabab yang statis dan tertutup.[41]

Kedua sosiologisme. Sosiologisme, dinyatakan Ali Syariati sebagi determinan kolektif masyarakat yangmenghilangkan aspirasi, kehendak bebas, dan identitas manusia tanpa menghargai hak-hak individualnya. Sama halnya di dalam historisisme, manusia yang terdesak ke dalam penjara sosiologisme, tidak dapat mengandaikan dirinya sejauh hanya disituasikan oleh kelompoknya, corak produksinya, tradisi, pertukaran ekonomi, hubungan antar kelas sebagai kekuatan aksiomatik yang dominan.

Kekuatan sosiologisme yang demikian kuat, akan menjatuhkan manusia ke dalam level hina dan tanpa cita-cita untuk menentukan takdirnya sendiri, setelah lama ia terkurung pembatasan-pembatasan sosial dan tradisinya. [42]

Ketiga biologisme. Biologisme, atau pandangan alam naturalistik, merupakan cara pandang yang menyatakan manusia hanya sekadar makhluk fisik belaka. Struktur fisiologis manusia yang demikian, adalah hasil dari kerja alam yang berlangsung cukup lama sebagaimana manusia menjadi pula bagian dari alam itu sendiri yang sedang berevolusi. Perspektif naturalistik melihat alam berserta hukum-hukumnya bekerja secara otomatis dan menghilangkan unsur kreatifitas yang dimiliki manusia.[43]

Sekalipun naturalisme mengandaikan manusia terbebas dari determinisme metafisikal yang mengatur kehidupannya, tetap saja biologisme menempatkan manusia di dalam suatu posisi yang tidak jauh berbeda sebagai makhluk fisiologis dan biologis ke dalam determinisme alamiah. Itu artinya, meskipun manusia adalah makhluk dengan pencapaian-pencapaian luar biasa, tidak seperti dari  wujud selain dirinya, ia masih mengalami keterikatan dan keterlibatan yang mekanik dan materialistik di dalam hukum-hukum alam.

Penjara yang keempat adalah egoisme atau psikologisme, yakni penjara yang dikatakan Ali Syariati penjara yang paling buruk dari tiga jenis penjara sebelumnya. Ia menyebutnya sebagai the dark recesses of his lower self.  Suatu kekuatan yang menawan manusia sampai ke tingkat paling rendah: lumpur yang busuk. [44]

Jika tiga jenis penjara bekerja secara determinis, mekanistik, dan materialistik menciptakan situasi batas di luar dari diri manusia, egoisme justru bekerja sebaliknya dengan cara menawan manusia dari dan di dalam dirinya sendiri.

Ali Syariati mengungkapkan, egoisme, walaupun dikatakan penjara paling buruk, kebangkitan manusia dari jenis penjara ini adalah suatu model perjuangan yang paling menantang dan terjal. Pengandaian tiga penjara sebelumnya, dikatakan Ali Syariati  dapat serta merta dikendalikan, dilihat, diraba, dan ditentukan karakteristiknya karena sifatnya berada secara eksternal di luar diri manusia, suatu hal yang cenderung mudah dan dapat teratasi melalui capaian ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sebaliknya, egoisme, bukanlah tipe penjara yang mudah dan gampang diatur dikarenakan ia sulit diketahui, sulit diraba dan tidak bisa dikarakteristikkan ke dalam kategori-kategori kepastian. Ego, meskipun sangat dekat dengan diri manusia, justru adalah tipe penjara yang paling signifikan menentukan kejatuhan manusia ke dalam situasi batas yang teramat pedih dan dalam.

Atas keempat situasi batas ini, si automaton sering diilustrasikan sebagai katak yang hidup di dalam tempurung; realitas kehidupannya tidak lebih dari batok kelapa yang tidak seberapa luas dibandingkan  kehidupan di luarnya. Dalam situasi ini, si katak mengalami ilusi dan fantasi seolah-olah telah hidup bebas walaupun sebenarnya ia hanya hidup di dalam kegelapan tempurung kelapa yang menghalangi penglihatannya ke luar.

Bintang si Automaton, boleh saja pernah berseragam bersekolah, tapi ia tidak pernah tahu untuk apa ia melakukan itu. Boleh saja ia telah menghabiskan banyak waktunya duduk diam di depan papan tulis, dan mendengarkan kata-kata gurunya lamat-lamat, yang sama sekali tidak akan ia petik hikmahya dengan cara akan segera ia lupakan. Bintang si Automaton, di separuh umurnya mengorbankan dirinya untuk bersekolah, tapi tidak sama sekali terdidik. Ia betul-betul masih di masa kegelapan, di dalam kesadaran temaram tempurung kelapa.

Praktis, bagi si automaton, masa pendidikannya hanyalah jadi pion sejarah yang diombang ambingkan kebijakan tak berdasar. Karena seperti mesin, jaringan syarafnya tidak berkembang maksimal dan mengalami kelumpuhan total. Ia kelak akan menjadi pribadi kalah dan tanggung, yang tidak memiliki wawasan keilmuan, wawasan sejarah, kemerdekaan indvidu, dan etos perjuangan dalam menegakkan suatu cita-cita.

Dengan kata lain, Bintang si automaton adalah aib, tapi bukan bagi siapa-siapa. Ia aib bagi diri dan masa depannya sendiri.


---

DAFTAR RUJUKAN

Berk, Laura E. Development Through The Lifespan Edisi Kelima. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Darmaningtyas. Sekolah yang Memiskinkan. Malang: Intrans Publishing, 2015.

Fakih, Mansour, et.al. Pendidikan Populer Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakara: Read Book, 2001.

Freire, Paulo, Ivan Illich, Erich Fromm, dkk, Menggugat Pendidikan, Fundamentalis, Konservativ, Liberal, Anarkis.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES, 2018.

Fox, Dennis dan Isaac Prilleeltensky (editor), Psikologi Kritis, Metaanalisis Psikologi Modern. Jakarta: Teraju Mizan.

Harari, Yoval Noah. Sapiens, Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu Hingga Perkiraaan Kepunahannya. Jakarta: Alvabet, 2017.

Hardiman, F. Budi, Kritik Ideologi, Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Jenkins, Richad. Membaca Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013.

Nuryanto, M. Agus, Mazhab Pendidikan Kritis, Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book, 2001.

O'Neill, William F. Ideologi-ideologi Pendidikan . Pustaka Pelajar, 2011.

Santoso, Listiyono, dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar Ruzz, 2007.

Smith, A William A. Conscientizacao, Tujuan Pendidikan Paulo Freire, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Storr, Antony. Freud: Peletak Dasar Psikoanalisis (Seri Empu Dunia). Jakarta: Grafiti, 1991.

Syariati, Ali. Tugas Cendikiwan Muslim. Jakarta: Srigunting, 2001.

Topatimasang, Roem. Sekolah itu Candu. Yogyakarta: Insist Press, 2010.

UU Sisdiknas Pasal 1 ayat 1

 

INTERNET

Amsal, Bahrul. Eksistensialisme Ali Syariati: Tafsir Kebebasan Manusia di Era Kenormalan Baru. http://kalaliterasi.com/2020/07/06/eksistensialisme-ali-syariati-tafsir-kebebasan-manusia-di-era-kenormalan-baru/

Kamahi, Umar. Teori Kekuasaan Michel Foucault:Tantangan Bagi Sosiologi Politik. Jurnal Al-Khitabah, Vol. III, No. 1, Juni 2017 : 117 – 133 (http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/Al-Khitabah/article/viewFile/2926/2802)

Martono, Nanang. Dominasi Kekuasaan dalam Pendidikan: Tesis Bourdieu dan Foucault tentang pendidikan, (Jurnal Interaksi, vol. 8 (1) p 28-39,  , 2014), hal. 4 (https://www.researchgate.net/publication/325119775_DOMINASI_KEKUASAAN_DALAM_PENDIDIKAN_Tesis_Bourdieu_dan_Foucault_tentang_Pendidikan)

Septiadi, Anggar. Pendidikan dan Kebutuhan Kapitalisme (2012):   https://indoprogress.com/2012/11/review-anggar-septiadi/

Siregar, Mangihut. Teori ”Gado-gado” Pierre-Felix Bourdieu. Jurnal Studi Kultural vol. 1 No.2 : 79-82 (2016) (http://media.neliti.com/media/publications/223848-teori-gado-gado-pierre-felix-bourdieu.pdf)

 

 



[1] Laura E. Berk, Development Through The Lifespan Edisi Kelima (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 156

[2] Yoval Noah Harari, Sapiens, Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu Hingga Perkiraaan Kepunahannya (Jakarta: Alvabet, 2017), hal. 91.

[3] Sigmund Freud membagi struktur jiwa manusia menjadi tiga lapisan: Id, ego, dan super ego. Id adalah lapisan terdalam yang bergerak atas prinsip kesenangan, tanpa aturan, dan sulit dikendalikan. Ego adalah unsur yang sudah mengalami moderasi atas tekanan id dengan kenyataan yang berisi aturan dan nilai-nilai. Super ego adalah tatanan yang menjadi nilai-nilai ideal yang dicerminkan ke dalam aturan bersama berupa norma, hukum, dan pranata ideal lainnya. Lihat Antony Storr, Freud: Peletak Dasar Psikoanalisis (Seri Empu Dunia), (Jakarta: Grafiti, 1991), hal. 70

[4] ibid

[5] Lihat pengertian gangguan kejiwaan dalam tinjaun mazhab Frankurt yang menerapkan gejala psikopatologis berupa histeria, halusinasi, fobia, neurosis ke alam kehidupan sosial masyarakat yang menunjukkan represi dan penipuan atas ideologi oleh kekuasaan negara. Lihat F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hal. 58

[6] Tod Sloan, Teori-teori Kepribadian: Ideologi dan Yang Melampauinya dalam Dennis Fox dan Isaac Prilleeltensky, Psikologi Kritis, Metaanalisis Psikologi Modern, (Jakarta: Teraju Mizan), hal. 112

[7] UU Sisdiknas Pasal 1 ayat 1 menyebutkan: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

[8] Pendidikan ala bank adalah metode belajar yang melihat peserta didik seperti bejana kosong. Seperti bank, peserta didik diposisikan benda mati dan diisi investasi (pengetahuan) sekehendak sang guru (investor).

[9] Mansour Fakih, et.al. Pendidikan Populer Membangun Kesadaran Kritis (Yogyakara: Read Book, 2001), hlm. 23-24

[10] William A. Smith, Conscientizacao, Tujuan Pendidikan Paulo Freire, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 2

[11] Listiyono Santoso, dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar Ruzz, 2007), hal.135

[12] Ibid. hal. 135

[13] Dalam buku Mazhab Pendidikan Kritis, pendidikan atau institusi sekolah tidaklah netral, independen, dan bebas kepentingan, tapi justru menjadi bagian dari institusi sosial yang syarat kepentingan kekuasaan, ideologi, dan pasar. Lihat Mazhab Pendidikan Kritis, Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Resist Book, 2011), hal. 2

[14] Anggar Septiadi, Pendidikan dan Kebutuhan Kapitalisme (2012):   https://indoprogress.com/2012/11/review-anggar-septiadi/

[15] Ibid

[16] Mengenai output pendidikan atau sekolah, penulis ingat dengan kedudukan sekolah yang diuraikan Adam Smith, pencetus ekonomi liberal, dalam The Wealth of Nations, yang memandang sekolah mesti berposisi sebagai skrup-skrup industri, yang berarti, tujuan utama sekolah tiada lain untuk menyediakan tenaga kerja profesional bagi keberlangsungan ekonomi industri (pasar)

[17] Paulo Freire, Ivan Illich, Erich Fromm, dkk, Menggugat Pendidikan, Fundamentalis, Konservativ, Liberal, Anarkis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 517

[18] M. Agus Nuryanto, Mazhab Pendidikan Kritis, Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Resist Book, 2011), hal. 57

[19] Tujuan pendidikan dalam arti seluas-luasnya dapat diuraikan ke dalam taksonomi pendidikan Bloom, yaitu menyasar tiga ranah kemampuan manusia/peserta didik. Pertama adalah ranah kognitif peserta didik, yang dijabarkan menjadi keterampilan berpikir, kemandirian berpikir, dan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan dimensi intelek peserta didik. Kedua yakni ranah afeksi, yang meliputi perilaku-perilaku emosi dan perasaannya berupa minat, kecenderungan, dan sikapnya sebagai manusia. Ketiga yaitu ranah psikomotorik yang menekankan kecapakan atau keahlian khusus semisal kemampuan bermusik, melukis, menulis, mengoperasikan alat-alat teknologi. Ki Hajar Dewantoro memiliki ungkapan berbeda dengan maksud yang sama: membentuk cipta, karya, dan rasa manusia.

[20] Baca Ideologi-ideologi Pendidikan tulisan William F. O'Neill yang diterbitkan Pustaka Pelajar, 2011.

[21] Ibid, hal. 57

[22] Paulo Freire, Ivan Illich, Erich Fromm, dkk, Menggugat Pendidikan, Fundamentalis, Konservativ, Liberal, Anarkis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 343

[23] Ibid, hal. 344

[24] Inilah dampak yang dihasilkan dari pola pendidikan gaya bank yang menghasilkan budaya bisu. Menurut Freire, ada 10 model pendidikan ala bank: 1) Guru mengajar, siswa diajar. 2) Guru tahu segalanya, siswa tidak tahu segalanya. 3) Guru berpikir, siswa dipikirkan. 4) Guru bicara, siswa mendengarkan. 5) Guru mengatur, siswa diatur. 6) Guru memilih dan memaksakan pilihannya, siswa menuruti. 7) Guru bertindak, siswa membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan guru. 8) Guru memilih apa yang diajarkan, siswa menyesuaikan diri. 9) Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan siswa-siswa. 10) Guru adalah subjek proses belajar, siswa adalah objeknya. Lihat Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: LP3ES, 2018), hal. 54

[25] Roem Topatimasang, Sekolah itu Candu, (Yogyakarta: Insist Press, 2010), hal. 36

[26] Richad Jenkins, Membaca Pemikiran Pierre Bourdieu (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013) hal. 157

[27] Habitus dalam bahasa latin mengacu kepada kondisi, penampakan, atau situasi yang tipikal, khusunya pada tubuh. Bourdieu mengartikannya sebagai suatu sistem melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal, disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif. Habitus adalah hasil internalisasi struktur dunia sosial, atau struktur sosial yang dibatinkan. Lihat Teori ”Gado-gado” Pierre-Felix Bourdieu yang ditulis Mangihut Siregar di Jurnal Studi Kultural vol. 1 No.2 : 79-82 (2016) (http://media.neliti.com/media/publications/223848-teori-gado-gado-pierre-felix-bourdieu.pdf)

[28] Nanang Martono, Dominasi Kekuasaan dalam Pendidikan: Tesis Bourdieu dan Foucault tentang pendidikan, (Jurnal Interaksi, vol. 8 (1) p 28-39,  , 2014), hal. 4 (https://www.researchgate.net/publication/325119775_DOMINASI_KEKUASAAN_DALAM_PENDIDIKAN_Tesis_Bourdieu_dan_Foucault_tentang_Pendidikan)

[29] Modal kultural (ilmu dan pengetahuan) adalah satu dari empat modal yang menurut Bourdieu sangat penting dimiliki oleh seseorang. Tiga di antaranya adalah modal ekonomi (dapat dikonversi langsung ke bentuk uang dan hak milik secara institusional), modal sosial (koneksi dan obligasi sosial serta dapat dikonversi ke dalam modal ekonomi dan status kebangsawanan), dan modal simbolik (modal—dalam bentuk apapun—selama direpresentasi secara simbolik).

[30] Ibid

[31] Umar Kamahi, Teori Kekuasaan Michel Foucault:Tantangan Bagi Sosiologi Politik, Jurnal Al-Khitabah, Vol. III, No. 1, Juni 2017 : 117 – 133 (http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/Al-Khitabah/article/viewFile/2926/2802)

[32] opcit

[33] Sejak dekade 1970-an, Orde baru melalukan pembangunan gedung-gedung sekolah berskala nasional melalui surat bernomor 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD, yang berhasil mendirikan gedung SD sebanyak 150.595 unit dalam kurun waktu 25 tahun. Lihat Darmaningtyas, Sekolah yang Memiskinkan (Malang: Intrans Publishing, 2015), hal. 7-11

[34] Salah satu uraian menarik dan reflektif mengenai kedudukan sekolah dapat Anda temukan dalam buku Sekolah itu Candu yang ditulis Roem Topatimasang terbitan Insist Press (2007, 2009, 2010) dan sebelumnya oleh Pustaka Pelajar (1998).

[35] Nanang Martono, Dominasi Kekuasaan dalam Pendidikan: Tesis Bourdieu dan Foucault tentang pendidikan, (Jurnal Interaksi, vol. 8 (1) p 28-39, 2014), hal. 8 (https://www.researchgate.net/publication/325119775_DOMINASI_KEKUASAAN_DALAM_PENDIDIKAN_Tesis_Bourdieu_dan_Foucault_tentang_Pendidikan)

[36] ibid

[37] Menara tinggi yang di puncaknya menyala api milik Sauron berbentuk mata yang terletak di gunung tertinggi Mordor. Suatu kawasan dalam legendarium di film fiksi The Lord of The Ring.

[38] opcit

[39] opcit

[40] Lihat Ali Syariati, Tugas Cendikiwan Muslim, (Jakarta: Srigunting, 2001), hal.49 

[41] Bahrul Amsal, Eksistensialisme Ali Syariati: Tafsir Kebebasan Manusia di Era Kenormalan Baru (http://kalaliterasi.com/2020/07/06/eksistensialisme-ali-syariati-tafsir-kebebasan-manusia-di-era-kenormalan-baru/)

[42] Ibid

[43] opcit

[44] opcit


(Disampaikan dalam diskusi terbatas yang diadakan LDSI Al Muntazhar 26 Juli 2020)