Tulisan ini terdiri dari lima partisi yang mendedah filsafat eksistensialisme secara umum berdasarkan pemikiran Jean Paul Sartre, dan eksistensialisme Ali Syariati yang dilihat dari filsafatnya tentang manusia. Pada dua bagian akhir, akan dipaparkan korelasi filsafat eksistensialisme dengan keadaan pandemi saat ini dengan mengajukan eksistensialisme Ali Syariati sebagai salah satu solusi alternatif bagi masyarakat untuk dapat bertindak secara optimistik tanpa melanggar konsensus-konsensus protokol kesehatan. Itu artinya, dengan eksistensialisme Ali Syariati korona bukanlah penghalang yang mesti dikhawatirkan secara fatalistik sekaligus dihadapi dengan sikap yang berlebih-lebihan. Versi rekaman esai ini dapat didengarkan di sini
(1)
JEAN Paul Sartre, salah satu tokoh
filsafat eksistensialisme, dalam tulisannya Existensialism
is Humanism, merumuskan apa itu filsafat eksistensialisme. Eksistensialisme
bukan ajaran yang menganjurkan pesimisme, tidak bermutu, dan tidak bertanggung
jawab, seperti yang kerap dituduhkan kepada filsafat yang berkembang pasca
Perang Dunia Ke- 2 ini. Buku pembelaannya itu, yang sebenarnya merupakan
tanggapan atas tuduhan yang berkembang saat itu, dapat dipadatkan ke dalam
suatu frase: eksistensi mendahului esensi.
Prinsip ini, Sartre kemukakan berkenaan dengan apa yang ia jelaskan sebelumnya
mengenai apa itu subjektivitas.
Subjektivitas
sangat penting di dalam filsafat eksistensialisme. Masih dari buku yang sama, Sartre memberikan ilustrasi apa
itu subjektivitas, melalui contoh pisau pemotong kertas yang berelasi secara
esensialis dengan si pembuatnya—yang ia analogikan juga seperti Tuhan dengan
ciptaannya—yang sebelum menentukan seperti apa penampakan pemotong kertas,
sudah memiliki daftar konsepsi di dalam perencenaannya berupa apa, bagaimana,
dan untuk apa gunting pemotong kertas itu diciptakan. Melalui ilustrasi ini,
Sartre ingin mengatakan bahwa otonomi dan kemandirian gunting pemotong kertas
sangat tergantung dari tujuan dan nilai guna yang sudah dirumuskan terlebih
dahulu oleh pembuatnya. Andaikata dalam contoh ini, gunting pemotong kertas
diganti dengan manusia, maka manusia menjadi pihak yang tidak memiliki
kebebasan dalam menentukan arah dan tujuan hidupnya. Selamanya, tujuan manusia
serta-merta sudah dirumuskan di dalam perencanaan Tuhan yang sama sekali tidak
melibatkan manusia di dalamnya.
Terlalu
cepat agaknya, tapi pemahaman umum dapat dipetik dari bagaimana Sartre
merumuskan subjektivitas, yang ia andaikan sangat khas dimiliki manusia, yakni
suatu kemampuan bebas manusia dari kekuatan-kekuatan yang mengatur
eksistensinya.
Meminjam
pendakuan Martin Heidegger, Sartre menempatkan subjektivitas manusia di dalam
kehidupan ini seperti bagaimana Heidegger mengonseptualisasi Dasein (konsep manusia menurut
Heidegger) yang ada di dunia dengan cara berada yang tidak sama sekali terkait
dengan entitas spiritual, seperti misalnya, dalam kejadian penciptaan manusia.
Subjektivitas
manusia, dengan kata lain, menurut Sartre adalah kemampuan otonom manusia yang
didasarkan kepada hakikat dirinya sendiri sebagai makhluk yang tidak sama
sekali berhubungan dengan Tuhan. Itu artinya, bernuansa sama dengan konsep Dasein Heidegger, manusia adalah makhluk
bebas dan merdeka tanpa embel-embel teologis (A strong emphasis on the individual).
Lalu,
apa arti eksistensi mendahului esensi?
”Seorang eksistensialis memandang
dirinya sebagai eksistensi yang tidak dapat didefenisikan karena ia tahu ia
memulai hidup atau eksistensinya dari ia yang bukan apa-apa. Ia tidak akan
menjadi ’apa-apa’ sampai ia menjadikan hidupnya ’apa-apa’.”
Eksistensialisme
dalam hal ini membalikkan asumsi filsafat yang menekankan esensi; konsep;
forma; gagasan; roh atas pembedaan sesuatu dengan yang lain, sebagai entitas
utama dari pada eksistensi; aktualitas; keberadaan, yang dianggap entitas
kedua. Penekanan eksistensi dalam hal ini adalah suatu titik tolak yang lebih
konkret karena mengada di dalam ruang dan waktu, tidak seperti esensi sebagai
kategori pikiran yang abstrak dan teoritik.
Itu
artinya, gagasan tidak lebih utama dari keberadaan, ide tidak lebih signifikan
dari tindakan, konsep tidak lebih penting dari perbuatan. Esensi tidak lebih
penting dari eksistensi. Yang lebih utama, dengan itu berarti bukan
defenisi-defenisi, gagasan-gagasan, atau konsepsi abstrak menyangkut sesuatu
itu, melainkan ”sesuatu” itu sendiri sebagai titik tolak keberadaannya.
Menyangkut
ini, Sartre pernah mengajukan semacam trik untuk menantang orang-orang, dalam
hal bagaimana ia menjelaskan apa itu eksistensi dengan cara mengajukan pertanyaan,
bagaimana cara Anda menggambar dua objek berupa ”kucing” dengan ”kucing yang
ada”. Di level wacana, struktur bahasa seolah-olah mampu menjelaskan eksistensi
kucing melalui kalimat: (kucing)+(Ada) dengan kata ”kucing” itu sendiri. Tapi, bagaimana jika Anda berusaha
menggambarkannya di atas secarik kertas? Bagaimana Anda menjelaskan perbedaan
”kucing” dan ”kucing yang ada” melalui
penggambaran Anda?
Itulah
sebabnya, eksistensi menurut eksistensialisme bukan struktur pemaknaan yang
mampu dirumuskan ke dalam konsep atau
bahasa. Eksistensi, karena itu, tidak bisa digambarkan dengan cara seperti
bahasa menyatakannya, melainkan hanya dengan pengalaman konkret lah eksistensi
itu dapat dijelaskan.
Atau
dengan kata lain, eksistensi itu ada sejauh manusia mengalaminya.
Atas
dasar inilah, dapat dimengerti eksistensialisme sangat menekankan tindakan
manusia sebagai medium atau modus beradanya. Berbeda dengan tradisi filsafat
tradisional, dalam hal ini aliran idealisme, atau materialisme, yang
berfilsafat di seputar kata-kata ”cogito”, ”kesadaran”, ”ide”, ”materi”,
”Tuhan”, ”gerak”, ”ruh”, dlsb., filsafat eksistensialisme justru masuk ke
jantung kehidupan manusia itu sendiri sebagai bidang refleksi filsafatnya.
Dengan
model berfilsafat yang langsung dari jantung eksistensi manusia, maka tekanan
besar eksistensialisme ke dalam dimensi ini adalah kebebasan manusia.
Eksistensialisme, jika diamati dari bagaimana cara Sartre merumuskan kebebasan,
terpaut dengan kesadaran sebagai eksistensi yang menjadi bagian dari jenis
keberadaan ”ada untuk dirinya” (being-for-itself),
yang berbeda dari jenis keberadaan ”ada dalam dirinya” (being-in-itself).
Syahdan,
kesadaran hanya ada pada keberadaan being-for-itself,
yakni manusia yang secara fenomen berbeda dengan eksistensi benda-benda yang
disebut keberadaan being-in-itself.
Kesadaran karena dia senantiasa menyadari dirinya sendiri (sadar menyadari atas
kesadarannya), dan atas sesuatu yang lain (sadar menyadari atas ”sesuatu”),
maka ia otomatis mengetahui bahwa dirinya bukanlah sesuatu itu sendiri.
Jadi,
sebagai misal ketika saya menyadari ”buku”, berarti dengan sendirinya muncul
kesadaran bahwa saya juga bukan
”buku’ itu. Kesadaran atas buku dan bukan buku itu hanya bisa jika ada
jarak, dan dengan sendirinya memberikan peluang untuk berkata ”aku bukan buku”.
Itu artinya di saat menyadari ”buku”, di saat yang sama berlaku prinsip negasi
atas yang lain. Saya menyadari ”gelas” yang berarti ”saya bukan gelas”, saya
menyadari ”kopi” yang berarti ”saya bukan kopi”, saya menyadari ”rokok” yang
berarti ”saya bukan rokok”.
Filsafat
eksistensialisme dengan cara seperti itu, yakni manusia sebagai being-for-itself, bisa menjadi apa saja
tepat karena ia bukan apa-apa. Filsafat eksistensialisme dengan karakter
berfilsafat seperti itu dikatakan juga filsafat negasi, yakni mentidakkan sesuatu atas sesuatu. Nah,
di dalam proses penegasian inilah kebebasan dimungkinkan, sebab hanya kebebasanlah
yang memberikan ruang gerak bagi manusia agar bisa memilih dengan menolak
menjadi bukan sesuatu.
Melalui
uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa hal berkaitan dengan filsafat eksistensialisme.
Pertama, filsafat eksistensialisme, adalah filsafat manusia, dalam arti bahwa
eksistensi manusia merupakan titik tolak ontologisnya. Dalil ini merupakan
suatu tantangan yang kuat terhadap filsafat tradisional dengan segala
bentuknya, sebab filsafat tradisional mengarahkan obyek filsafatnya ke dalam
refleksi dan peremenungan filsafat yang abstrak dan jauh dari hakikat
pengalaman manusia.
K.
Bertens, menyebutkan dalam Sejarah
Filsafat Kontemporer Prancis, basis ontologis eksistensialisme yang menaruh
pengalaman manusia sebagai dasar utamanya, menjadikan ontologi eksistensialisme
sebagai antropologi.
Kedua,
eksistensialisme adalah gerakan protes terhadap konsep-konsep berupa
”akal/kesasaran” dan ”alam/kosmologi” yang menjadi titik tekan filsafat Abad
Pertengahan hingga era Rene Descartes. Muhammad Nur Jabir, pegiat pemikiran
Jalaluddin Rumi, karena itu dalam suatu kesempatan menyebut filsafat
eksitensialisme memiliki wacana berbeda dari tradisi pemikiran filsafat lainnya
berupa pendekatan non historical approach.
Pendekatan filsafat ini berarti suatu tradisi pemikiran yang keluar dari
”rantai pemikiran” filsafat yang sudah terbangun antara satu filsafat dengan
aliran filsafat lainnya, dalam rentang waktu berabad-abad.
Ketiga,
eksistensialisme dapat disebut sebagai filsafat pemberontakan, yang ditandai
oleh dua hal, yakni pertama, penekanan yang besar atas kebebasan manusia, yang
kerap berkonfrontasi dengan lingkungan yang membatasi dan menghambat tindakan
manusia. Kedua, ditandai dari pemberontakan terhadap alam industri modern atau
zaman teknologi yang menghilangkan secara impersonal kepribadian otentik
manusia, serta pemberontakan massa yang melenyapkan individu atas nama totalitarianisme, fasisme, dan komunisme.
Keempat,
kebebasan sebagai ciri khas manusia membuat dirinya lebih bertanggung jawab
atas segala perbuatannya. Kebebasan di sini bukan berarti tanpa dasar sama
sekali, yakni seolah-olah kebebasan versi alam bebas, melainkan kebebasan yang
dipelopori kesadaran sebagai acuan subjektivitasnya. Menurut Sartre, manusia
yang sadar adalah manusia yang bertanggung jawab dan memikirkan masa depan,
inilah inti ajaran utama dari filsafat eksistensialisme. Bila manusia
bertanggung jawab atas dirinya sendiri, bukan berarti ia hanya bertanggung
jawab pada dirinya sendiri, tetapi juga pada seluruh manusia.
(2)
ALI Syariati menyatakan, problem
kemanusian tidak dapat tidak, hanya bisa dipecahkan melalui penafsiran yang
komprehensif menyangkut makna kedaulatan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Melalui bundelan kuliah-kuliahnya bertitel Man and Islam—yang diterjemahkan Amien
Rais menjadi Tugas Cendekiawan Muslim—Ali
Syariati menguraikan otonomi manusia dengan meninjau konsep tujuan penciptaan manusia
seperti yang dinarasikan di dalam al Qur’an.
Sebagai
seorang pemikir denial, Ali Syariati mesti menguraikan terlebih dahulu
kedudukan manusia di tengah perspektif sempit konsep kemanusiaan materialistik yang
menempatkan manusia hanya sebatas wujud material belaka, dan konsep manusia sufistik
yang mengedepankan askestisme pasif tanpa uraian tanggung jawab sosial yang
melingkupinya.
Melalui
konsep humanismenya yang khas, akan terlihat proyek raksasa Ali Syariati yang
sebenarnya, yakni menyediakan dasar-dasar Islam kemanusiaan yang kompatibel
dengan zaman, tanpa mesti meninggalkan ajaran intinya, yakni Tauhid, sebagai
sumber inspirasi dan tindakan manusia.
Hal
ini akan terurai lebih rinci setelah ia menjelaskan apa arti manusia dalam
Islam, dan bagaimana Ali Syariati mendedah empat rintangan yang mengkofigurasi
produk kebudayaan manusia ke dalam situasi situasi batas yang disebut the four
prisons of man (empat penjara manusia).
Dengan
demikian, pandangan dunia Tauhid lah yang bakal menjadi medium pembebasan
manusia beserta komunitasnya, setelah sebelumnya mengalami proses dehumanisasi
dan alienasi oleh sistem pemikiran sekuler dan kapitalistik, dengan cara
mendudukkan rausyan fikr sebagai
representasi manusia merdeka dan teriluminasi atas sipirit ruhaniah di bawah
panji-panji Tauhid.
Di
bab-bab awal Man and Islam, diuraikan
dengan gamblang bagaimana manusia diciptakan melalui sintesis yang unik dari
tanah lumpur dan spirit (ruh) Allah. Narasi penciptaan manusia dalam al-Qur’an,
oleh Ali Syariati dinyatakan sebagai rumusan simbolik mengenai manusia sebagai
makhluk dua dimensi (bidimensional). Konsep manusia yang dua dimensi ini
dinyatakannya memiliki maksud tertentu yang bertujuan tinggi dan mulia lebih
dari sekadar tujuan-tujuan materialistik dan idealistik, yakni spiritualistik
sebagaimana manusia yang menjadi bagian dari spirit Allah.
Atas
ulasan itu, Ali Syariati mengemukakan tiga karakteristik khas manusia: berpengetahuan
(kesadaran), iradah (kehendak bebas), dan daya kreasi (daya cipta).
Karakteristik yang pertama digambarkan Ali Syariati melalui peristiwa pasca
penciptaan Adam yang diajarkan nama-nama (asma-asma) oleh Allah secara langsung
sebagai bagian identifikasi Adam atas segala sesuatu yang terhampar di atas
muka bumi. Proses ini, dimaknai Ali Syariati sebagai bagian penting bagi Adam
yang menjadikan Allah sebagai guru pertamanya, yang berarti pertalian
pengetahuan antara Adam atas segala sesuatunya di muka bumi, hanya mungkin
ketika melibatkan Allah sebagai pemberi
ilmu pengetahuan.
Dalam
kaitannya dengan dimensi pengetahuan manusia, para filsuf menyatakan kesadaran yang paling
fundamental adalah kesadaran manusia atas dirinya. Melalui kesadaran ini,
manusia “memperluas” kesadarannya dalam mempersepsi dunia dan hubungan
kesadarannya dengan dunianya. Kesadaran diri, dengan kata lain adalah
“kesadaran pertama” yang menjadi dasar manusia ketika membangun pemahamannya
terhadap realitas apa saja yang dipersepsi dan dipikirkannya.
Konteks
nama-nama yang dinyatakan Ali Syariati diajarkan langsung dari Allah, berarti
pula pengetahuan filosofis menyangkut kesadaran manusia atas dirinya. Tanpa
ini, secara epistemologis, dalil-dalil ilmu pengetahuan, termasuk nama-nama
yang diajarkan Allah akan kehilangan dasar pijakannya. Dengan dasar ini pula,
capaian-capaian ilmu pengetahuan berkembang dinamis dan pesat.
Kedudukan
manusia atas capaian ilmu pengetahuan inilah yang dinyatakan Ali Syariati
menjadi sebab mengapa para malaikat bersujud di hadapan Adam. Jadi, menurut Ali
Syariati, keunggulan manusia atas peristiwa itu menandai suatu penghargaan
Islam atas keluhuran ilmu pengetahuan, dan bukan dari keunggulan ras dan
golongan seperti yang diharapkan iblis
saat memprotes tujuan penciptaan Adam.
Manusia
yang memiliki unsur ilahiat di samping unsur tanah, berpotensi mendorong
pencapaian kejiwaannya sampai ke ranah yang lebih tinggi, atau bahkan sampai ke
level realitas ketuhanan. Karena demikian, manusia menurut Ali Syariati
dikaruniai kebebasan seperti salah satu sifat Allah itu sendiri.
Sebagaimana
kesadaran, kehendak bebas adalah potensi yang hanya dimiliki manusia. Tiada makhluk
selain manusia yang memilikinya. Kehendak bebas memberikan peluang manusia
untuk berkemampuan dalam menentukan pilihannya. Letak keistimewaan kehendak
bebas adalah kemampuannya dalam menentukan pilihan yang berbeda, dan mampu
melawan kecenderungan-kecenderungan biologis, alam, masyarakat, maupun dorongan
psikologisnya. Dengan kemampuan yang dimiliki dari kehendak bebaslah yang
ketika digunakan akan mampu mentransformasikan manusia tidak sekadar
benda-benda, melainkan mampu melewati kebiasaan-kebiasaan yang telah menjadi
kecenderungannya.
Eksistensi
manusia dengan demikian, dinyatakan Ali Syariati sebagai eksistensi yang
berpeluang besar mengalami lonjakan-lonjakan kualitatif secara spiritual
sebagaimana yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Setelah manusia menolak
dorongan-dorongan instingtifnya, khalifah
dalam hal ini, dengan kata lain, tidak serta merta diartikan sebagai wakil
tuhan semata, melainkan di atas muka bumi, ia turut membawa
kualifikasi-kualifikasi ketuhanan yang menjadi bagian perangkat kemanusiaannya.
Meski
demikian, kebebasan yang dimiliki manusia tidak serta merta membuatnya berhak
menerobos batas-batas eksistensi dan kedudukannya sebagai khalifah. Dalam hal ini, implikasi imperatif dari iradah manusia
adalah tanggung jawabnya sebagai khalifah
untuk memikul tugas-tugas khusus yang diamanahkan kepadanya. Dalam hal ini,
Ali Syariati menyebutkan, di antara seluruh eksistensi makhluk di jagad
semesta, hanya manusia lah yang suka rela menerima amanat penciptaan, setelah
Tuhan menawarkannya kepada kalangan binatang, tumbuh-tumbuhan, bahkan jin.
Atas
amanat itu, penciptaan manusia melahirkan kualitas internal yang terpatri
menjadi daya kreasi. Dengan daya kreasi, manusia bisa menciptakan apa saja:
mulai dari hal-hal sederhana sampai teknologi canggih masa kini. Peradaban bisa
sampai pada wujudnya sekarang akibat dari daya kreatif manusia dalam
mengeksplorasi temuan-temuannya, dan mengembangkannya sampai ke tingkat yang
lebih tinggi. Pencapaian-pencapaian yang sudah dimiliki manusia melalui seni
dan kebudayaan, misalnya, tidak lain merupakan cipta karsa daya cipta yang
bertujuan memenuhi kebutuhan spiritual manusia.
Tiga
kualifikasi kualitatif dimiliki manusia ini, akan mengalami dinamika
berkepanjangan selama dua kutub, yang disebutkan sebelumnya, yakni kutub
tanah-lumpur, dan kutup spirit Tuhan masih mengalami tarik menarik secara
berkelanjutan. Kecenderungan yang nyatanya tiada akhir ini, bakal
tergopoh-gopoh di antara sisi—memakai terminologi Al Qur’an—basyar dan sisi insan.
Di
bagian sebelumnya, konfigurasi dan lanskap kehidupan manusia di dalam kenyataan
sosial kebudayaannya, menjadi medan eksistensi yang mengamputasi manusia. Dalam
hal ini, Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa ikut
menentukan ikatan-ikatan sosialnya.
Hubungan manusia dengan sesamanya dalam kurun waktu tertentu akan membentuk kebiasaan-kebiasaan, tradisi, kemudian menjadi budaya. Selama kurun waktu itu pula manusia beserta masyarakatnya mengalami ruang dan beragam waktu, dan pada akhirnya menemukan dirinya sebagai makhluk yang mengalami sejarah. Alam tempat manusia hidup, memiliki hukum-hukum kausalistik yang sering disalahartikan manusia. Akibat manusia tidak mampu “memanfaatkan” hukum-hukum alam, manusia bisa terjebak di dalam silih bergantinya situasi alam. Ego, sebagai hasrat bawaan manusia, ibarat kuda liar yang mesti diarahkan jika ingin melihatnya berkembang secara normal.
Hubungan manusia dengan sesamanya dalam kurun waktu tertentu akan membentuk kebiasaan-kebiasaan, tradisi, kemudian menjadi budaya. Selama kurun waktu itu pula manusia beserta masyarakatnya mengalami ruang dan beragam waktu, dan pada akhirnya menemukan dirinya sebagai makhluk yang mengalami sejarah. Alam tempat manusia hidup, memiliki hukum-hukum kausalistik yang sering disalahartikan manusia. Akibat manusia tidak mampu “memanfaatkan” hukum-hukum alam, manusia bisa terjebak di dalam silih bergantinya situasi alam. Ego, sebagai hasrat bawaan manusia, ibarat kuda liar yang mesti diarahkan jika ingin melihatnya berkembang secara normal.
Untuk
itu perlu dijelaskan apa saja empat hal yang membentuk situasi batas bagi manusia,
yang kerap menghantui, membuatnya hanya sekadar sebagai makhluk pasif,
irrelevan, dan tidak signifikan.
Historisisme,
sebagai suatu istilah yang menggambarkan mazhab pemikiran dan penjara pertama
manusia, bertolak dari perspektif manusia sebagai produk sejarah. Dalam hal
ini, sejarah menjadi kekuatan imperatif yang menentukan karakteristik,
perkembangan, dan tujuan manusia. Manusia dengan kata lain, tidak dapat
bergerak leluasa oleh sebab di dalam sejarah hubungan satu kejadian dengan
kejadian sudah dideterminasi melalui sebab musabab yang statis dan tertutup.
Secara
panjang lebar Ali Syariati membahas historisisme dalam Man and Islam, tiada lain karena gamblang Ali Syriati menolak
perspektif materialistik yang dikandung di dalam marxisme. Marxisme,
singkatnya, memandang manusia tidak berkemampuan keluar dari batas-batas
eksistensinya, selain hanya dibentuk oleh hukum besi tahapan hitoris masyarakat
ke dalam tahap-tahap berjenjang, berupa tahap primitif, tribalisme, feodalisme,
kapitalisme, dan komunisme.
Kedua
sosiologisme. Sosiologisme, dinyatakan Ali Syariati menjadi kecenderungan
demikian mencolok ketika kolektivisme masyarakat menenggelamkan aspirasi,
kehendak bebas, dan identitas manusia tanpa menghargai hak-hak individualnya.
Sama halnya di dalam historisisme, manusia yang terdesak ke dalam penjara
sosiologisme, tidak dapat mengandaikan dirinya sejauh hanya disituasikan oleh kelompoknya,
corak produksinya, tradisi, pertukaran ekonomi, hubungan antar kelas sebagai
kekuatan aksiomatik yang dominan.
Kekuatan
sosiologisme yang demikian kuat, akan menjatuhkan manusia ke dalam level hina
dan tanpa cita-cita untuk menentukan takdirnya sendiri, setelah lama ia
terkurung pembatasan-pembatasan sosial dan tradisinya.
Ketiga
biologisme. Biologisme, atau pandangan alam naturalistik, merupakan cara
pandang yang menyatakan manusia hanya sekadar makhluk fisik belaka. Struktur
fisiologis manusia yang demikian, adalah hasil dari kerja alam yang berlangsung
cukup lama sebagaimana manusia menjadi pula bagian dari alam itu sendiri yang
sedang berevolusi. Perspektif naturalistik melihat alam berserta hukum-hukumnya
bekerja secara otomatis dan menghilangkan unsur kreatifitas yang dimiliki
manusia.
Sekalipun
naturalisme mengandaikan manusia terbebas dari determinisme metafisikal yang
mengatur kehidupannya, tetap saja biologisme menempatkan manusia di dalam suatu
posisi yang tidak jauh berbeda sebagai makhluk fisiologis dan biologis ke dalam
determinisme alamiah. Itu artinya, meskipun manusia adalah makhluk dengan
pencapaian-pencapaian luar biasa, tidak seperti dari wujud selain dirinya, ia masih mengalami
keterikatan dan keterlibatan yang mekanik dan materialistik di dalam
hukum-hukum alam.
Penjara
yang keempat adalah egoisme atau psikologisme, yakni penjara yang dikatakan Ali
Syariati penjara yang paling buruk dari tiga jenis penjara sebelumnya. Ia
menyebutnya sebagai the dark recesses of
his lower self. Suatu kekuatan yang
menawan manusia sampai ke tingkat paling rendah: lumpur yang busuk.
Jika
tiga jenis penjara bekerja secara determinis, mekanistik, dan materialistik
menciptakan situasi batas di luar dari diri manusia, egoisme justru bekerja
sebaliknya dengan cara menawan manusia dari dan di dalam dirinya sendiri.
Ali
Syariati mengungkapkan, egoisme, walaupun dikatakan penjara paling buruk,
kebangkitan manusia dari jenis penjara ini adalah suatu model perjuangan yang
paling menantang dan terjal. Pengandaian tiga penjara sebelumnya, dikatakan Ali
Syariati dapat serta merta dikendalikan,
dilihat, diraba, dan ditentukan karakteristiknya karena sifatnya berada secara
eksternal di luar diri manusia, suatu hal yang cenderung mudah dan dapat teratasi
melalui capaian ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebaliknya,
egoisme, bukanlah tipe penjara yang mudah dan gampang diatur dikarenakan ia
sulit diketahui, sulit diraba dan tidak bisa dikarakteristikkan ke dalam
kategori-kategori kepastian. Ego, meskipun sangat dekat dengan diri manusia,
justru adalah tipe penjara yang paling signifikan menentukan kejatuhan manusia
ke dalam situasi batas yang teramat pedih dan dalam.
Selain
itu kesulitan manusia menundukkan ego, ditengarai juga oleh ilmu pengetahuan
dan teknologi yang ikut bersama manusia terperanjat ke dalam penjara egio itu
sendiri. Jika bagi tipe penjara sebelumnya ilmu pengetahuan dan teknologi dapat
menjadi jalan pembebasan atas determinisme alam, sejarah, dan masyarakat, kali ini, tidak berlaku di dalam penjara ego.
Bersama dengan keterasingan manusia yang sulit mengendalikan egonya, keakuan
manusia juga berpotensi menjadikan ilmu pengetahuan dan pencapaian teknologi
tidak berarti apa-apa sama sekali.
Syahdan,
kata Syariati ego adalah tipe penjara yang penjara dan tawanannya adalah satu
kesatuan dan sulit dibedakan. Ia bersama manusia dan ada di sepanjang hidup
manusia
(3)
DAWAM Rahardjo mengungkapkan, dimensi
pemikiran Ali Syariati multi fased—berdimensi
banyak, sehingga siapa pun yang menggali gagasan-gagasannya, bakal menemukan
inti sari yang beragam, sesuai sudut pandang dan tema apa yang melatarbelakangi
suatu permasalahan. Itulah mengapa tidak seperti cendekiawan lainnya, Ali
Syariati tampil sebagai seorang pemikir yang denial mampu mengulas suatu
problem dengan beragam cara analisis yang menjadi salah satu kekuatan
intelektualnya.
Dari
sisi lain, keunikan Ali Syariati sebagai seorang pemikir, ditandai dari cara kita
mengakses pandangan dunia, pemikiran, dan sikap keberpihakannya, yang tidak menemukannya
secara utuh di dalam satu buku yang padat. Menurut Ali Rahmena dalam Ali Syariati Biografi Politik Intelektual
Revolusioner, di sepanjang kehidupannya, hanya ada dua tulisan atau
pemikiran Ali Syariati yang ia rangkum dan dituliskan demi menjadi sebuah buku,
yakni Kavir dan Hajj (Haji), untuk yang
terakhir ini adalah sebuah buku yang ditulisnya setelah pulang dari ibadah haji
di sekitar 1969 dan 1970.
Haji adalah buku yang khas dan benuansa
berbeda dari kebanyakan ulama, ketika membicarakan makna ritual haji hanya
melalui pendekatan legal-formal. Somayah dan Yasser, penterjemah buku ini
mengungkapkan, perbedaan Syariati terlihat dari keunikan ucapan dan
istilah-istilah yang rumit tapi bernuansa khas yang digunakannya saat
mengekspresikan pemikirannya.
Steve
Benson, seorang penyair Amerika, menyebut buku ini sebagai ”a mystical handbook for revolusionaries”,
yang membuat seorang muslim dapat
berpartisipasi aktif dan penuh di dalam kehidupan modern, dengan pencampuran
kombinasi mistik dengan kesadaran sosial dan kebebasan individunya.
Implikasi
kepadatan pemikiran Syariati yang tidak ditemukan di dalam satu buku utuh,
membuat tema pikiran-pikirannya, terutama yang berhubungan dengan eksistensialisme,
agak sulit diidentifikasi, karena tidak pernah sekalipun Syariati
memproklamirkan diri sebagai pemikir eksistensialis. Meskipun demikian, jika
kita meneropong perjalanan intelektualnya, beserta dua buku dan kompilasi
ceramah-ceramahnya dalam Man and Islam dan
Hajj, akan ditemukan
eksplanasi-eksplanasi Syariati yang menyerupai pemahaman eksistensialisme.
Selain
George Gurwitsch, sosiolog Prancis yang memperantai pemikiran Syariati ke dalam
wacana marxisme, saat ia menjalani studi selama di Sorborne, Prancis, Ali
Syariati juga membangun kontak dengan tokoh pemikir-pemikir semisal Louis
Massignon (orientalis Prancis), Jasques Barque (sosiolog Prancis dan ahli
bahasa Arab), serta Franz Fanon (tokoh revolusi Aljazair). Selain tokoh-tokoh
yang disebutkan sebelumnya, Ali Syariati juga terlibat dalam percakapan intens
dengan Jean Paul Sartre, yang kala itu tengah menjadi sosok intelektual paling
populer di Prancis karena mengusung dan memproklamirkan suatu jenis filsafat
yang berbeda dari tradisi filsafat sebelumnya, yang disebut dengan nama
eksistensialisme.
Dalam
Man and Islam, pertemuan Ali Syariati
dengan eksistensialisme bukan dalam bentuk konfirmasi atas pemahaman-pemahaman
pokok eksistensialisme. Seperti juga perlakuannya terhadap marxisme, eksistensialisme
terutama eksistensialisme Sartre, diberlakukan dengan kritis dan konfrontatif
oleh Ali Syariati. Ia menyebutkan kendati Sartre berprinsip eksistensi
mendahului esensi, atau mengutamakan tindakan manusia bebas daripada ditentukan
oleh kategori-kategori esensial berupa konsep, gagasan, dan tujuan, adalah
suatu ajaran yang berujung kepada kehampaan cita-cita luhur manusia itu
sendiri.
Dari
sisi ini, secara ambivalen, humanisme yang diprakarsai Sartre melalui
eksistensialismenya, digugat dengan menunjukkan bahwasannya kehidupan manusia
di muka bumi ini, tidak serta merta hidup bebas dengan konsekuensi
terapung-apung tanpa makna dan tujuan, melainkan mengemban amanah penciptaan
seperti yang ia utarakan lebih dulu melalui penjelasannya menyangkut hakikat
penciptaan Adam (manusia).
Eksistensialisme,
seperti juga diakui Sartre sendiri dalam Existensialism
is Humanism, terbelah ke dua jenis orientasi, yakni eksistensialisme
religius dan eksistensialisme atheistik. Seperti juga Heiddegger, Sartre menyandarkan
konsep kebebasan manusianya di alam terbuka yang telah dibersihkan sebelumnya
dari campur tangan kehendak tuhan. Itu berarti, ketika poros kehidupan yang
bertumpu ke dalam wujud mutlak Tuhan, dilucuti dan diambil alih oleh manusia,
membuat manusia itu sendiri sebagai makhluk yang bebas tanpa beban moril
normatif, nilai-nilai, dan teologis, yang menyebabkan tindakan-tindakannya jauh
lebih otonom dan dinamis.
Seperti
dijelaskan sebelumnya, kebebasan bagi Sartre hanya berlaku kepada keberadaan
yang disebut being-for-itself, bukan being in it self, yang ada begitu saja
tanpa melekat predikat-predikat semacam aktif-pasif, positif-negatif,
hidup-mati, dan sejenisnya, yang
mensinyalemenkan keadaan yang dapat bergerak dan berubah. Manusia
sebagai kategori being-for-itself,
adalah keberadaan yang bukan sekadar ada tapi juga mampu menyadari
keberadaannya dalam ruang lingkup kesadarannya yang berhubungan dengan
keberadaan yang lain. Atas dasar inilah, maka kesadaran menjadi prasyarat bagi
manusia untuk mengatakan ”saya ada dan sekaligus bukan ‘gelas’” yang membuatnya
mampu menentukan cara beradanya di
dunia.
Ali
Syariati, sangat jelas menolak konsep manusia yang semacam itu, yakni dalam
ruang lingkup ketika manusia diartikan sebagai ada yang ada terlempar begitu
saja di dunia (lihat konsep Dasein
menurut Heidegger). Model manusia seperti ini mengimplisitkan bahwa ada, sejak awal tidak berhubungan dengan
suatu proses atau sebab mengapa ia
ada begitu saja. Pandangan religius Syariati serta merta menolak maksud
demikian, dikarenakan telah ia uraiakan di dalam Man and Islam, bahwa manusia setelah diciptakan (ada), memiliki
tujuan khusus untuk menjadi khalifah
Allah di atas muka bumi ini. Atas konteks penciptaan inilah, Ali Syariati
membagi dua jenis ada, yang mana satu di antaranya merupakan manusia yang hidup
dengan suatu amanah langsung dari Allah.
Ali
Syariati memilah dua jenis keberadaan, yakni keberadaan planeter yang
dijelaskannya tidak mampu mengemban amanah penciptaan dari Allah sebagai wujud
materil (basyar), serta wujud
dinamis, yakni manusia sebagai makhluk spiritual (insan).
Basyar dan insan, adalah dua termin Al Qur’an yang digunakan Syariati dalam
mengemukakan keberadaan statis (being)
dan keberadaan dinamis (becoming).
Sepadan dengan konsep being-for-itself
Sartre, manusia menurut Syariati adalah jenis keberadaan yang memiliki
kemampuan berada (mode of being),
dengan daya ”menjadi” (becoming).
Kemampuan
”menjadi” ini bagi Syariati adalah kualitas yang tidak dimiliki oleh
benda-benda, binatang, dan tumbuhan yang hanya sekadar ada. wujud-wujud planter ini, karena itu tidak memiliki kebebasan
untuk bergerak menuju suatu titik aktual yang menjadi tujuan kesempurnaannya.
Bagi
Syariati, manusia yang ”menjadi” inilah yang disebut insan, dan bukan sekadar ada,
yang merupakan sisi statis dari basyar
manusia. Itu artinya, manusia yang bergerak dari titik material-biologisnya (basyar) menuju tujuan kesempurnaan
dirinya lah (insan) yang layak
disebut khalifah. Sebaliknya, manusia yang hanya berdiam diri
tenggelam dalam dimensi basyarnya
belaka tanpa “menjadi” insan, akan
berderajat rendah lebih buruk dari wujud-wujud planeter.
Lalu,
kemanakah manusia mengerahakan kemampuan
menjadinya? Atau dengan kata
lain, kemanakah gerak arah insan yang
menyempurnakan dirinya? Di sinilah letak fundamental sekaligus kritik Syariati
terhadap Sartre yang merumuskan kebebasan tindakan manusia (menjadi) tanpa arah
dan tujuan. Di titik ini, bukan saja Sartre, Syariati juga secara tegas
mengkritik filsuf lainnya yakni Nietzsche, dengan mengemukakan bahwa tujuan
kemenjadian manusia itu adalah Allah itu sendiri.
Meski
mengandaikan suatu tujuan kepada Allah, Syariati tidak sependapat dengan
pandangan sufistik yang menjadikan Allah sebagai titik final kesempurnaannya.
Ayat innalillah wa inna ilaihi rojiun,
bagi Syariati, tidak bisa diartikan suatu perjalanan ”ke dalam Allah”. Kata ilaihi, diterjemahkan Syariati sebagai
”kepadaNya”, bukan ”di dalamNya” seperti penafsiran konvensional ulama. Arti
dari ini dinyatakan Syariati bahwa kesempurnaan manusia tidak berada di dalam
suatu titik, suatu pusat, yang mengandaikan titik akhir, tetapi suatu proses
perjalanan terus menerus di dalam alam ketuhanan maha luas dan tak terpemanai.
Itulah makna khalifah, wakil tuhan
yang senantiasa menunda titik akhir.
Perjalanan
manusia menuju kesempurnaan bukan tanpa hambatan sebelumnya. Manusia sebagai
proses menjadi khalifah, seperti
diungkapkan di bagian sebelumnya, mesti melawan sekaligus membebaskan dirinya
dari empat penjara yang mensituasikan manusia ke dalam situasi batas. Tanpa
pernah melangkah keluar dari situasi batas empat penjara ini, maka selamanya
manusia akan teralienasi dan terdehumanisasi dari amanah yang diberikan
kepadannya.
Sampai
di sini, penolakan Ali Syariati atas konsep dasar eksistensialisme Sartre
berupa ada (being-in-itself dan
being-for-itself), serta manusia dan kebebasannya, dengan sendirinya
memasukkan Ali Syariati ke dalam eksplorasi wacana eksistensialisme yang
menempatkan dirinya sebagai wakil tokoh eksistensialisme Islam, meskipun ia
sendiri tidak pernah mengakuinya.
Wacanan
eksistensialisme Ali Syariati, sampai di sini akan terasa lebih jelas jika kita
mendedah buku Haji, yang sudah
disebutkan di atas, yang di dalamnya menyiratkan pemahaman evolusi manusia
melalui ritual haji, seperti ditumakan di dalam eksistensialisme Barat. Selain
itu, jika kita menyandingkan gagasan Syariati dengan tokoh eksistensialisme
lainnya, terutama Soren Abye Kierkegaard, maka akan banyak kemiripan di antara
keduanya, terkhusus tujuan paling dasar manusia beserta tiga wilayah eksistensi manusia yang
diperkenalkan Kierkegaard.
(4)
ERA kenormalan baru (new normal) tidak sepenuhnya adalah
situasi yang kita harapkan. Malah, akibat pandemi berkepanjangan ini,
mengkerucutkan pengalaman hidup manusia ke dalam situasi-situasi batas yang
membuat manusia kehilangan ruang geraknya. Secara global, meski telah memasuki
kehidupan normal baru, pandemi korona memaksa peradaban mesti bertindak
hati-hati dikarenakan ada empat kecenderungan yang tengah terjadi. Mengutip
Martin Suryajaya dalam esainya, Membayangkan
Ekonomi Dunia Setelah Korona Atau Cerita Tentang Dua Virus, empat kecenderungan
dunia itu adalah: de-industrialisasi, de-finansialisasi, diskoneksi fisik, dan
pelokalan global.
Gejala
de-industrialisasi dibayangkan Martin merupakan suatu keadaan di mana indsutri
manufaktur padat karya mengalami kekeroposan. Industrialisasi berserta skema
kerja dan distribusi barangnya menemukan jalan buntu ketika seluruh modal,
bahan dasar, tenaga, dan mesinnya berhenti bergerak. Hal ini menyebabkan
terjadinya kelangkaan barang, pasar ditutup, meluasnya penggangguran berskala
besar, dan kerugian finansial yang tidak main-main.
Kehancuran
industrialisasi ini, berimbas ke wilayah kehidupan masyarakat yang mesti
melakukan semuanya dari dalam rumah. Sebagai benteng terakhir, dunia industrial
beserta derivasi kehidupan ekonominya, tidak terjamin lagi keamanannya, dan
mengharuskan orang mesti tinggal di dalam rumah sebagai satu-satunya tempat
yang masih mendapat jaminan langsung dari penghuninya.
Kematian
kehidupan publik yang meluas ini, menandai dan berefek langsung kepada tiga
kecenderungan lainnya, yaitu kemerosotan dunia finansial berupa pasar saham
anjok, pendapatan negara turun drastis, investasi terhenti, dan nilai tukar
mata uang yang tak pasti; yang mengakibatkan negara-negara mengalami krisis
kehidupan berupa terjadinya diskoneksi fisik di bidang-bidang pariwisata,
pusat-pusat kebudayaan, pasar modern, tempat-tempat hiburan, dan pusat-pusat
peribadatan.
Puncak
dari itu akan membawa kehidupan manusia ke kecenderungan ketiga berupa
pelokalan global, yakni suatu keadaan ketika suluruh aktifitas manusia hanya
bisa dilakukan dalam ruang lingkup yang terbatas. Tidak bisa dibayangkan
seluruh koneksi peradaban masyarakat yang selama ini telah mencapai skala
global, pada akhirnya dimundurkan kembali ke suatu bentuk interaksi sederhana
seperti dalam model masyarakat tradisional.
Apa
yang dibayangkan Martin Suryajaya, cukup menarik untuk ditelaah dan dilihat
kemungkinan-kemungkinannya, terutama ketika terjadi peralihan dari kehidupan
terisolasi menuju kenormalan baru, apakah kehidupan akan kembali seperti
sediakala, dalam arti tidak ada upaya antisipasi untuk menanggulangi kerusakan
dan kehancuran sendi-sendi kehidupan akibat pandemi korona, dan membiarkan
kehidupan ini berjalan apa adanya, ataukah ada semacam kewaspadaan baru yang
menimbulkan keantisipasian berupa strategi kehidupan, agar seluruh dimensi
peradaban masyarakat ini dapat terselamatkan.
Meski
masalah yang diajukan Martin Suryajaya cukup mendasar, tapi masih ada satu
problem mendesak yang dirasa perlu juga untuk diberikan perhatian, yakni
kebebasan manusia di saat seluruh bidang kehidupan mengalami disrupsi. Dalam
hal ini, wacana yang diajukan Martin, merupakan suatu eksposisi yang
memproblematisir kehidupan eksternal manusia dengan mempermasalahkan disrupsi
yang terjadi di bidang sosial, terutama dimensi perekenomiannya.
Masalah-masalah
yang coba diterangkan Martin memang sudah dirasakan sebelumnya, dan berdampak
serius bagi kehidupan manusia. Meski demikian, masalah kebebasan manusia yang
tiba-tiba terbatasi oleh keadaaan, juga membawa dampak lumayan serius, yakni
depresi, stress berkepanjangan, kemarahan, dan bahkan jauh lebih dalam, yakni
kecemasan yang menjadi problem eksistensial manusia.
Dengan
kata lain, seluruh ekspresi masyarakat di hampir semua bidang kehidupan
mengalami situasi batas yang menyebabkan semakin terasingnya manusia ke dalam kehidupan
isolatif dan depresif. Ini tiada lain, merupakan masalah di wilayah internal
manusia. Masalah tersendiri yang langsung mendekam di kedalaman diri manusia yang
berefek besar jika tidak segera diidentifikasi dan dipecahkan.
Karena
itu, menarik ditelusuri apakah kebebasan manusia masih mungkin diberikan posisi
yang cukup signifikan dalam era kenormalan baru ini, atau tidak sama sekali,
mengingat hidup bebas seperti sebelum korona tidak mungkin sama sekali dan cukup
berisiko jika diaktualkan. Jika tidak, apakah keadaan saat ini mengancam eksistensi
manusia, terutama saat ia kehilangan medan ekspresi atas tindakan-tindakannya
di ranah kehidupan yang saat ini sedang berubah?
Manusia
dikatakan filsafat eksistensialisme hanya dapat dikatakan eksis jika ia
memiliki ruang agar dapat bertindak otentik sesuai kebebasan dan jati dirinya.
Dalam hal ini, apakah kenormalan baru menjadi situasi batas baru sebagaimana
ruang publik sebelumnya yang mengalami pembatasan besar-besaran, memberikan
cukup ruang kebebasan agar manusia dapat mengaktualisasikan tindakan-tindakannya?
Apakah kenormalan baru, dengan begitu,
membuat kehendak bebas manusia saat ini
mesti diatur sedemikian rupa, agar manusia tidak kehilangan orientasi
kehidupannya?
Salah
satu risiko yang banyak dituai dari kebebasan bertindak selama ini adalah
kematian. Kematian sebagai situasi batas yang tidak bisa dilampaui manusia,
menjadi masalah besar bagi saat ini dikarenakan betapa banyaknya nyawa hilang
begitu saja oleh sebab-sebab yang tidak mampu ia kendalikan. Sistem-sistem
kendali yang tak bisa dijangkau manusia itu sendiri, menjadi semakin berbahaya
karena penanganan yang juga serampangan dan terlambat.
Negara,
dalam hal ini pemerintah, menjadi salah satu sistem yang selama ini menangani
korona dengan cara serampangan dan asal kerja, dan tidak memiliki rencana besar
sama sekali. Sistem negara yang selama ini diandalkan, sama guyahnya dengan
sistem pemakanaan dari budaya dan agama yang kelihatan melihat pandemi ini
dengan kacamata fatalistik. Budaya dan agama, yang seharusnya menjadi sumber
inspirasi dan sumber pemakanaan, nyatanya menjadi biang kerok pengecer
paradigma yang menganggap rendah kebebasan manusia dan kematian itu sendiri.
Dikarenakan
situasi masyarakat yang dibawa ke dalam kawah kematian dan keserbaterimaan
nasib, maka perlu untuk merevitalisasi ulang cara manusia bertindak. Tepat di
titik inilah, sumbangsih eksistensialisme yang sedikit banyak sudah kita bahas
di atas, cukup relevan dikemukakan.
Tapi,
mengapa mesti eksistensialisme, terkhusus eksistensialisme Ali Syariati, dan
bukan eksistensialisme dari pemikir lainnya? Setidaknya ada dua sebab utamanya,
mengapa eksistensialisme Ali Syariati yang paling tepat untuk ditelaah dan
diajukan sebagai alternatif, demi memberikan pemaknaan ulang menyangkut
kebebasan, tindakan, dan cara berpikir masyarakat, terkhusus di bangsa ini.
Pertama,
terkhusus konteks di tanah air, saat korona kian nyata, muncul respon ekstremis
dari sebagian kelompok keagamaan, yang menawarkan sudut pandang fatalistik saat
menghadapi korona.
Bagi kelompok ini, manusia sebagai penerima nasib, mesti memasrahkan diri kepada takdir Tuhan yang menciptakan korona sebagai batu ujian keimanan. Bentuk kepasrahan fatalistik ini mengenyampingkan kehendak bebas manusia untuk merespon lingkungan kehidupannya yang berubah, sehingga menempatkan manusia hanya sebagai selaiknya boneka di atas panggung kehidupan. Akibatnya, kepasrahan negatif ini membuat kelompok ini cenderung sinis kepada upaya pencegahan meminimalisir penyebaran korona. Mereka serta merta tidak mengindahkan imbauan pihak berwenang agar menjaga diri dari peluang kecepatan dan kemassifan penyebaran korona.
Bagi kelompok ini, manusia sebagai penerima nasib, mesti memasrahkan diri kepada takdir Tuhan yang menciptakan korona sebagai batu ujian keimanan. Bentuk kepasrahan fatalistik ini mengenyampingkan kehendak bebas manusia untuk merespon lingkungan kehidupannya yang berubah, sehingga menempatkan manusia hanya sebagai selaiknya boneka di atas panggung kehidupan. Akibatnya, kepasrahan negatif ini membuat kelompok ini cenderung sinis kepada upaya pencegahan meminimalisir penyebaran korona. Mereka serta merta tidak mengindahkan imbauan pihak berwenang agar menjaga diri dari peluang kecepatan dan kemassifan penyebaran korona.
Kasus
pertemuan akbar beberapa waktu lalu di Gowa, Sulawesi Selatan, yang
mengumpulkan ribuan jamaah tabligh,
masjid-majid yang tetap dibuka, pertemuan ibadat gereja di NTT, adalah beberapa
contoh betapa berbahayanya pandangan berterimaan nasib negatif ini.
Kelompok-kelompok
keagamaan semacam ini, selain fatalistik, juga deterministik di dalam melihat
rangkaian peristiwa yang disertai korona. Kematian yang semakin banyak
jumlahnya, tidak sama sekali mengubah pandangan mereka mengenai nasib yang dianggap
sudah diatur melalui rentetan hukum besi yang tidak sama sekali bisa diubah.
Kedua,
agama bagi kehidupan bangsa ini salah satu faktor yang berpengaruh kuat bagi masyarakat.
Agama masih menjadi sumber dan acuan nilai masyarakat dalam berpikir, merasa,
dan bertindak. Meski demikian, tidak sepenuhnya agama berkontribusi positif
bagi banyak pihak. Meluas dan ditemukannya kelompok-kelompok konservatif dan
radikal dalam menafsirkan agama secara serampangan dan semena-mena, menjadi
tantangan tersendiri untuk merekontekstualisasikan ajaran agama agar lebih
humanis, spiritualis, dan dinamis.
Dalam
hal ini, jenis pandangan keagamaan fatalistik dan deterministik di atas,
ditopang oleh suatu struktur teologi negatif, yang mendehumanisasi peran
manusia hanya sebatas makhluk alamiah saja.
Perspektif seperti ini, sama fatalnya dengan pandangan naturalistik, bahwa seluruh ekspresi manusia, dideterminasi oleh hukum mekanik alam semesta. Hanya saja, jika naturalisme mengandaikan manusia sebagai makhluk fisis semata, dan diatur melalui sebab-sebab determinan lingkungan alam, maka bagi pandangan teologi kelompok ini menganggap manusia sebagai wujud pasif yang tidak sama sekali memiliki kualitas pengetahuan dan daya cipta yang menjadi kualifikasi kemanusiaannya.
Perspektif seperti ini, sama fatalnya dengan pandangan naturalistik, bahwa seluruh ekspresi manusia, dideterminasi oleh hukum mekanik alam semesta. Hanya saja, jika naturalisme mengandaikan manusia sebagai makhluk fisis semata, dan diatur melalui sebab-sebab determinan lingkungan alam, maka bagi pandangan teologi kelompok ini menganggap manusia sebagai wujud pasif yang tidak sama sekali memiliki kualitas pengetahuan dan daya cipta yang menjadi kualifikasi kemanusiaannya.
Lalu,
bagaimanakah meletakkan makna eksistensialisme Ali Syariati ke dalam konteks
kenormalan baru? Satu-satunya cara adalah dengan menjadikannya sebagai cara
pandang alternatif di dalam menyikapi keadaan saat ini. Atau dengan kata lain,
penting untuk merefleksikannya ke wilayah eksistensial diri kita, sehingga
mampu menjadi inspirasi dan sumber acuan baru dalam berpikir dan bertindak. Itu
berarti, mungkinkah menjadi seorang eksistensialis dengan di saat bersamaan,
melalukan kritik kepada paham religius yang membekukan agama sebatas ajaran
ritual formal semata? Dengan kata lain, mungkinkah menjadi seorang muslim sekaligus
bertindak eksistensialis dengan cara bertindak bebas demi menemukan kepribadian
yang otentik, meskipun sedang mengalami kenormalan baru? Kebebasan manusia
macam apakah yang diharapkan mampu eksis saat dunia sedang melawan pandemi
berkepanjangan ini?
(5)
EKSISTENSIALISME Ali Syariati adalah kesegaran baru yang cukup relevan di keadaan kenormalan
baru. Konsep subjektivitas ala eksistensialis yang dijelaskan melalui termin insannya, dapat mengajak individu agar
tidak kehilangan orientasi hidup di masa pandemi ini. Situasi serba tidak terkendalikan,
bukan faktisitas yang serta merta mesti diratapi, melainkan medan kehidupan
tempat manusia merealisasikan tindakannya.
Keadaan
pandemi tanpa arah ini, akan membuat sebagian orang kehilangan orientasi hidupnya,
dikarenakan hanya bergerak sekadar ada (basyar)
saja, sehingga terombang-ambing tanpa kepastian. Selain menjadi tawanan empat
penjara, manusia yang bergerak atas dimensi basyarnya
belaka, juga akan mengalami kekeringan maknawi dan spiritualitas. Berbeda
dengan itu, manusia yang ”menjadi” (insan)
akan senantiasa memandang setiap keadaan yang dihadapinya sebagai bagian dari
tahapan kesempurnaan eksistensinya.
Eksistensialisme
Ali Syariati dengan begitu menjadi sebuah pilihan paling mungkin di antara
isme-isme dunia yang mendangkalkan manusia hanya sekadar makhluk satu dimensi
dan materialistik. Senada dengan itu, keyakinan religius yang berpasrah diri
secara fatalistik, dan memandang manusia sebagai makhluk deterministik, juga
tidak dapat menjadi pilihan dikarenakan hanya memberikan eskapisme seolah-olah
agama adalah candu.
Dengan
tiga atribut berupa kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas, manusia
menjadi makhluk yang tidak serta merta berpasrah diri menerima takdir alam,
ataupun takdir Tuhan itu sendiri. Ketiga atribut yang dimiliki manusia, bukan
berarti kualifikasi kemanusiaan yang berhadapan langsung dengan kehendak Tuhan,
melainkan dari tujuan penciptaannya, justru tujuan manusia dihadirkan di muka
bumi merupakan bagian dari rencana Tuhan demi menciptakan kebaikan dan
kemakmuran bagi masyarakat.
Inti
eksistensialisme Ali Syariati, adalah pemikiran yang membangun proyek
pembebasan dari dehumanisasi dan materialisasi manusia. Tidak sama seperti isme-isme
lainnya, terutama juga eksistensialisme Barat yang menyebabkan diri manusia terasing
dan kehilangan orientasi, eksistensialisme Ali Syariati justru adalah suatu
jalan transendensi diri dari tindakan dan tanggung jawab manusia menuju
kesempurnaan wujudnya, sekalipun itu melewati dunia kematian.
Syahdan,
kematian dan masalah-masalah eksistensial berupa kecemasan, kegelisahan,
kebebasan, dan keterasingan, bukanlah soal-soal fundamental bagi seorang insan.
Dalam Man and Islam, Ali Syariati
menyebutkan penawar dari agar mampu keluar dari situasi batas empat penjara
manusia: cinta. Hanya cintalah kekuatan kreatif dan dinamis yang mampu membuat
seorang insan dapat ”menjadi” sebagai agen bebas dan bertanggung jawab. Hanya
cintalah, hatta, kematian sekalipun, faktisitas yang otomatis bukan rintangan
bagi seorang khalifah, untuk menuju
kesempurnaan dengan bahagia dan terbuka pasca kematian mendatangi dan meninggalkan dunia ini.