Terorisme Tubuh itu Berupa Mulut

Tidak sampai membutuhkan pergantian kalender, setidaknya selama masa pandemi ini, makhluk supernano bernama korona telah mengubah persepsi kita tentang tubuh. Tubuh adalah ”musuh”. Alih-alih di kancah publik tubuh dapat saling berelasi, kali ini keberadaannya menjadi momok mengkhawatirkan bagi yang lain.

Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Saat ini tubuh dipandang rentan dari biasanya. Ia dipaksa mengakui supremasi mahluk supermini beranak Covid-19.  Praktis seluruh bidang-bidang perabadaban yang selama ini diisi lalu lintas tubuh menjadi lumpuh. Wabah abad 21 ini pada akhirnya membuat tubuh mesti bernegasi satu sama lain.

Jika dalam satu titik koordinat ada tubuh lain di sekitar tubuh Anda, praktis satu di antaranya mesti ditolak keberadaannya. Otomatis, jika dipaksakan lebih dua tubuh saling berdekatan, justru keduanya akan saling mengintrogasi, mengawasi, dan paling ekstrem adalah saling tuduh.

Di situasi semacam ini, tubuh malah mendatangkan soal tersendiri. Ia bakal dimejahijaukan. Menjadi tersangka untuk ditelisik apakah ia sedang menampung virus mematikan atau tidak.

Tidak ada kecurigaan lain di masa sekarang selain tubuh yang jadi tersangka. Di kerumunan halte, terminal, pasar, masjid—tempat-tempat yang belakangan ini kembali ramai, tubuh menjadi satu-satunya objek perhatian. Seperti tersangka, semua orang mengawasinya dengan tingkat kewaspadaan bertingkat-tingkat.

Jika tubuh mengalami panas, berkeringat, dan mudah loyo, ia bakal dijemput. Diarak tanpa tedeng aling-aling ke meja pesakitan.

Dan, bagian tubuh yang paling diwaspadai aktivitasnya saat ini adalah mulut. Ia bagian tubuh saat ini yang jika salah kaprah, bakal menjadi biang kerok bisa membuat pandemi ini berumur panjang.

Mulut, jika di masa seperti sekarang tidak dijaga sedemikian rupa, bakal menjadi teror tersendiri bagi keberlangsungan kehidupan saat ini.

Mulutmu adalah harimaumu, begitu petitih moral yang biasa dipelantang, yang kali ini terasa semakin penting. Mulut kali ini bukan seperti masa ketika ia dibungkam karena kemampuan politisnya yang  berbahaya bagi kekuasaan.

Bukan pula karena kemampuan komunikasinya yang bisa membuat berita berkembang sedemikian rupa, melainkan hanya karena jika kali ini ia dibiarkan bebas berbicara, bakal membuat suatu komunitas masyarakat terancam punah berlahan-lahan.

Jika dua dekade lalu mulut menjadi objek pembungkaman rezim politik otoritarian, kini ia menjadi ”korban” rezim kesehatan dengan tujuan yang lebih radikal dari sebelumnya. Jika sebelumnya mulut yang bebas berpendapat akan berakhir di sel tahanan, sekarang jika ia dibiarkan terbuka bebas, bakal membuat lawan bicara terancam berakhir di kamar jenazah.

Sebab itulah, untuk saat ini, arti karantina sebenarnya adalah upaya menjaga mulut agar lebih tertib digunakan. Untuk kali ini, ia terpaksa didisiplinkan dari fungsinya selama ini.

Mau tidak mau, jika ingin aman, mulut harus ditarik dari kemampuan komunikasinya paling jauh hanya sebatas ranah domestik belaka. Jika di ranah umum ia banyak ngoceh dari biasanya, besar kemungkinan itu bisa menjadi medium korona bermigrasi dari satu tubuh ke tubuh lain. Menjadi maut!

Mulut yang kali ini diistirahatkan dari khittahnya sedikit banyak membuat beberapa profesi yang mengandalkannya terhenti untuk waktu yang tidak ditentukan. Sebut saja para da’i penceramah yang saban bulan Ramadan bermunculan bak jamur di musim hujan, mesti lebih bersabar dari biasanya, para pendeta yang tiap akhir pekan mesti melayani jemaat, mesti pula menunggu sampai keadaan menjadi normal.

Penyiar radio, penyanyi, pengacara, pelawak, psikolog, pembawa acara, dokter, guru, dosen, dan seluruh pekerjaan yang berbasis mulut, mau tidak mau, rela tidak rela, mesti mencari cara agar terus dapat beraktivitas.

Pada akhirnya, mulut dikarantina sepihak. Setiap orang mesti menyembunyikannya di balik masker, yang berarti jika ia bersuara membuatnya tambah sulit dimengerti.

Kata Damhuri Muhammad dalam esainya bertajuk Mulut Era Corona, mulut-mulut yang sulit diam dan sulit diatur jadi kian janggal kedengarannya ”Tuan bilang Wuhan, kami dengar Tuhan. Tuan bilang tabah, kami dengar wabah. Tuan bilang Sampar, kami dengar tampar. Mereka bilang jangan mengeluh, kami dengar jangan bersetubuh. Mereka bilang percayailah data, kami dengar hormatilah dusta. Mereka bilang kobarkan semangat, kami dengar pasanglah niat menuju kiamat.”


===

Telah dimuat di Pronesiata.id