Merisik 5 Jalan Permenungan dari Rumah


PANDEMI corona, selama lebih sebulan ini, diterima tidak diterima, berhasil mendesak manusia mengurung diri sampai ke pertahanan terakhirnya. Perkumpulan banyak orang di pasar, kantor, masjid, terminal, sekolah, warung kopi, dlsb., dipecah menjadi satuan atomik terpisah-pisah sampai ke rumah-rumah.

Di tempat inilah, semua pekerjaan yang sering dilakukan di luar mesti diambil alih dari rumah. Mendadak rumah jadi kantor, rumah jadi sekolah, dan rumah jadi tempat ibadah. Singkatnya, pandemi corona telah mengurai seluruh aktivitas kepublikan menjadi sebatas wilayah domestik.

Menarik sebenarnya melihat gejala ini dari sisi seperti apa masyarakat merespon perubahan mendadak ini. Di samping struktur ekonomi, politik, dan budaya ikut berubah, struktur agama juga mau tidak mau ikut berubah.

Fenomena ditutupnya masjid, berhentinya pengajian, nonaktifnya salat berjamaah, berkurangnya kas masjid, sampai menganggurnya imam memimpin salat, merupakan dampak langsung dari masifnya penyebaran corona.

Tulisan sederhana ini, ingin melihat peluang berharga apa yang bisa diambil dari ujian yang dihadapi dunia saat ini, terutama bagi umat Islam di tanah air.

1. Kembali merefleksikan yang sakral

Emile Durkheim, sosiolog Prancis dalam bukunya The Elementary Forms of Religious Life menulis inti seluruh agama berasal dari konsep sederhana tentang apa yang sakral dan yang tidak sakral.

Prinsip sakral tidak sakral ini merupakan ejawantah dari apa yang suci dan tidak suci. Tuhan suci maka ia sakral, malaikat suci maka ia sakral, nabi itu suci maka ia sakral. Konsep semacam ini, juga berlaku pada praktik-praktik peribadatan. Salat itu sakral karena ia ibadah yang suci. Itu sebabnya, bukan saja salat, setiap ingin melakukan peribadatan umat muslim wajib sebelumnya bersuci.

Jika, ada pertanyaan apakah salat di rumah mengurangi kadar kesakralannya dibanding salat berjamaah di masjid? Jika berdoa selain di masjid apakah mengurangi kadar pahalanya? Jika bersedekah di masjid akan sama jika itu dilakukan di tempat-tempat lain?

Selama salat, berdoa, dan bersedekah masih bisa dilakukan di rumah, semua usaha itu insya Allah tidak mengurangi kadar kesakralannya. Salat berjamaah di masjid meski penting, itu bisa disebut cara atau pakem tradisi. Berdoa di rumah Allah meski dianjurkan, merupakan kebiasaan baik yang tidak ada salahnya dapat dilakukan di banyak tempat. Bersedekah apa lagi, bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja.

Makna physical distancing, dengan melihat kenyataan di atas, dapat berfungsi sebagai wahana refleksi untuk memikirkan ulang apa sebenarnya yang kita harapkan dari cara kita beragama hari ini. Apakah kita beragama hari ini hanya sekadar mengejar ”tradisi” atau ”inti agamanya” itu sendiri?

2. Kemungkinan melakukan refleksi untuk hidup otentik

Hidup otentik adalah hidup jujur. Hidup sesuai kata hati, atau hidup atas dasar pilihan otonom sebagai mahkluk berkesadaran.

Kiwari, karena desakan publik, banyak orang hidup dengan kepalsuan. Banyak orang menjalani kehidupannya bukan atas dasar usulan-usulan kata hatinya, atau hasil pertimbangan akal budinya.
Atas dasar penampilan, banyak orang melakukan oplas. Atas nama kekuasaan, tidak sedikit pemimpin bermain peran baik. Atas nama kasih sayang, seorang suami pura-pura perhatian kepada istrinya. Atas nama agama, si munafik berpura-pura taat beragama.

Singkatnya, atas kehendak mayoritas, seseorang kehilangan suara hati dan akal sehatnya dalam menentukan keputusan pribadinya.

Corona, toh jika ia mendatangkan banyak kerugian, tetap saja menyimpan banyak hikmah. Salah satunya, kedatangannya menyediakan peluang bagi kita dapat berpikir ulang mengenai kepribadian kita.

Apakah selama ini setiap keputusan saya ambil atas desakan banyak orang atau pertimbangan pribadi? Apakah  selama ini saya bekerja untuk mencari harta atau rizki? Apakah saya menikah atas dasar kasih sayang atau nafsu semata? Apakah saya berbelanja demi kepuasan atau kebutuhan? Apakah saya beribadah agar terlihat religius atau alim? Apakah selama ini saya telah menjadi diri sendiri?

3. Banyak waktu memperdalam ilmu agama

Selama masa physical distancing banyak hal-hal kecil yang selama ini diabaikan dapat dilakukan. Jika selama dalam kedaan ”normal” kadang kita lupa merawat bunga-bunga, membersihkan gudang, menyervis kendaraan, dan merawat anak, di waktu sekaranglah momen yang tepat untuk memerhatikan hal-hal ”sekunder” semacam itu.

Selain hal-hal di atas, sekaranglah saat yang tepat agar Anda dapat kembali menyervis diri dengan memperdalam ilmu agama. Jika selama ini banyak waktu habis karena pekerjaan, sudah saatnya Anda mengambil buku di almari Anda. Buka dan bacalah tulisan-tulisan sekaliber Quraish Shihab, Gusdur, atau Jalaluddin Rakhmat untuk merefresh kembali pemahaman agama yang belakangan kian baku dan kaku.

Jika Anda ingin menukik lebih dalam, baca dan kaji dengan penuh khidmat ayat-ayat suci Al Qur’an. Bacalah dalam keadaan tartil yang jika sampai kepada ayat-ayat tentang neraka seolah-olah Anda merasakan panasnya api neraka, dan jika tiba di ayat-ayat tentang surga seakan-akan Anda ingin secepat mungkin berada di depan pintunya. Wallahu a’lam bishawab.

4. Berkhidmat kepada keluarga

Harta yang paling berharga adalah keluarga. Meski demikian, anehnya, bagi masyarakat pekerja, akibat kesibukan di kantor membuat banyak waktu tersisa dari keluarga. Agak dilematis memang jika mengingat tujuan akhir semua itu dilakukan demi keluarga juga.

Berhubung sekarang sebagian besar pekerjaan dilakukan di rumah, Anda dapat lebih banyak waktu bersama keluarga. Setelah Anda selesai meeting via online dan menutup laptop, segeralah cari Anak anda. Peluk dan gendonglah ia seolah-olah itu sudah lama tidak Anda lakukan. Ajak ia bermain di teras atau berlari-lari kecil tidak jauh dari halaman rumah Anda.

Jika Anak anda sudah dewasa, ajaklah ia bersama-sama memperbaiki mesin air yang rusak, atau mengajaknya naik di loteng mencari genteng yang sudah seminggu bocor dan butuh dibetulkan.

Bagaimana dengan anak perempuan dan istri Anda? Segeralah memesan makanan via ojol, manjakan mereka dengan makanan yang sudah lama ingin mereka nikmati. Terutama istri Anda, jangan lupakan ia yang selama ini berjuang di ”belakang” demi menopang rumah tangga dapat terus berjalan. Yang terakhir ini jika dilewatkan akan panjang urusannya.

5. Bersiap memasuki Ramadan

Kurang seminggu lagi umat muslim bakal memasuki bulan suci Ramadan. Tahun ini, berkat corona, umat muslim akan memasuki bulan puasa terberat dari biasanya. Meskipun demikian, bukan berarti respon umat muslim atas ujian ini mengurangi semangat kita saat menjalani ibadah puasa kelak. Bahkan semakin berat rintangannya, semakin besar pula nilai ibadah yang bakal diraih.

Sejak Indonesia darurat corona, tidak satu pun seantero negeri dibuat tenang hidupnya. Selain karena belum ditemukan obat dan anti vaksinnya, karakteristik penyebaran virus yang super cepat, serta semakin banyaknya korban berjatuhan membuat semua pihak merasa was-was, resah, khawatir, dan takut. Seolah-olah virus corona bakal datang mengetuk setiap pintu rumah  masing-masing kita. Mudah-mudahan tidak!

Sesungguhnya suatu cobaan tidak bakal melebihi kapasitas orang yang sedang diuji. Di setiap kesulitan terdapat kemudahan. Setiap ujian pasti ada hikmahnya.

Masih banyak lagi kalimat serupa yang bisa dipetik dari Al Qur’an dan hadis, yang mengindikasikan bahwa apa yang sedang melanda negeri ini merupakan ujian bagi kita semua, dan akan berakhir dengan kualitas yang lebih baik.

Islam mengajarkan umatnya agar senantiasa optimis dan tidak mudah menyerah. Seberat-beratnya ujian virus corona, cepat atau lambat kita akan segera melaluinya. Satu hal yang pasti, seluruh ujian ditimbulkan dari pandemi ini merupakan pelajaran berharga bagi Ramadan nanti. Ia menjadi timbangan yang ikut menaikkan kualitas ibadah puasa nanti. Selain usaha, tawakal adalah kuncinya. Berpasrah diri kepadaNya.