Setelah Mengepung Kota, Corona Turba ke Desa-Desa



Corona berasal dari bahasa Latin 
yang berarti "mahkota". 
Duri berbentuk seperti 
mahkota di permukaan
virus itu adalah alasan kenapa
 ia diberi nama tersebut.




SAYA membuat tulisan ini di dalam wc saat BAB setelah melihat postingan FB Puthut EA tentang foto-foto lokdon ala kampung di Yogyakarta. Bukan soal apanya. Corona membuat kita harus lebih aptudet mengikuti informasi setiap waktu, di setiap kondisi dan keadaan.

Bagi orang awam seperti saya ini  informasi adalah kunci, sama seperti para ilmuwan dunia dikejar waktu mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang seluk beluk, karakter, dan esensi corona demi menciptakan vaksinnya.

Informasi adalah kunci.

Saat ini penyebaran informasi belum merata. Jauh dari pusat kota, banyak masyarakat desa masih mengira keadaan aman-aman saja.

Di desa saya tinggal, banyak warga mendengar Covid-19 melalui televisi, dan sekali pernah diumumkan lewat toa masjid mengenai ajakan sosial distansing. Tapi tetap saja mereka mengira penyakit ini sama seperti diare sehingga untuk sembuh, cukup diberikan obat generik yang gampang ditemukan di warung-warung terdekat.

Sosial distansing hanya istilah orang kota yang membingungkan, dan karena diare mudah mereda, banyak orang masih suka pergi kesana kemari. Saling mengunjungi, dan berkumpul tipikal masyarakat komunal.

Saat ini, masih gampang menemukan anak muda di desa berkumpul sore-sore saling menggeber motor seolah-olah jalan desa adalah arena balap. Mudah menemukan ibu-ibu berkumpul bertukar cerita di bale-bale tetangga.

Juga sama gampangnya melihat bapak-bapaknya bermain kartu sambil ngopi bertukar gelas.

Di ga’de-ga’de, aktivitas jual beli sama seperti hari-hari biasa, sama persisnya seperti penjual sayur keliling yang mondar-mandir dari pasar-pasar ke rumah-rumah warga.

Di kantor desa, perangkat desa tenang-tenang saja, seolah-olah corona bukan ancaman yang mustahil melewati pematang sawah dan menyisir satu-satu penduduk desa.

Bagaimana dengan masjid di desa-desa? Jangan dikira pengurus masjid di desa mau begitu saja mengindahkan imbauan pemerintah. Sampai sekarang masjid masih membuka lebar pintunya untuk salat berjamaah.

“Mau ikut perintah Tuhan atau perintah pemerintah!” Kata seorang lelaki yang marah-marah saat salat Jumat ditiadakan di masjid al Markas, Makassar.

Itu di kota Makassar. Coba bayangkan bagaimana keadaannya di desa-desa, yang keadaan masyarakatnya belum tahu banyak tentang bahaya corona.

Informasi, sekali lagi adalah kunci.

Corona sampai saat ini barangkali bukan ancaman bagi masyarakat desa, tapi yakin saja, virus ini bakal turba ke desa-desa. Setelah kota-kota besar dikepung corona, tidak akan mengambil banyak waktu lagi bagi corona melebarkan jangkauannya sampai di rumah-rumah panggung tetangga Anda.

Itu dapat terjadi jika masyarakat desa tidak mengantisapasi sejak awal mengenai penyebaran penyakit jahanam ini. Salah satu caranya adalah masyarakat desa mesti melek informasi mengenai seluk beluk penyakit ini. Sebelum sosial distansing diterapkan, informasi mengenai penyakit ini mesti tersosialisasi dengan baik.

Miskin informasi tentang corona, dan lambat mengantisipasi diri, hancur sudah! Sekali lagi, kuncinya adalah informasi.

Kota seperti Jakarta, atau Surabaya, mungkin tidak akan sulit membendung sebaran corona jika dari awal mengendalikan arus informasi demi mengontrol lalu lintas manusia.

Melalui jaringan informasi menggunakan algoritma tertentu, kota besar bisa lebih efektif memanfaatkan kemajuan teknologi informasi demi membendung sebaran corona yang kian sulit dikontrol.

Coba bayangkan jika setiap layar iklan berbasis elektronik dimanfaatkan dari awal, sama jika jaringan pertelevisian dapat tanggap mengingatkan warganya mengenai bahaya corona. Di bandara, pelabuhan, terminal, bahkan di tiap gawai, bekerjasama dengan provider mengirim pesan peringatan untuk memperkecil ruang interaksi manusia.

Di desa, okelah, anak-anak muda sudah banyak melek teknologi. Tapi siapa duga mereka lebih asik bermain gem onlen dibanding mengapdet informasi perkembangan corona.

Dan, orang-orang tua mana tahu tentang yang namanya smartpon. Mereka hanya tahu perkakas pertanian daripada benda-benda yang kini membuat dunia kian ciut.

Itu artinya, selama ini, walaupun terkesan ciri-ciri  pembeda masyarakat desa dan kota sudah nampak kabur, tapi tetap saja dalam kenyataan sehari-hari kejomplangan informasi masih kerap terasa.

Lalu, kepada siapa tanggung jawab sosialisasi dibebankan? Menurut saya, ya itu tadi. Para perangkat desa, mulai dari kepala desa hingga kepala dusun mesti mulai menyadari kondisi saat ini. Mereka-mereka ini mesti gencar mengedukasi warga desa agar paham betapa berbahayanya yang namanya corona ini.

Para perangkat desa mesti proaktif mengingatkan warga desa sebelum semuanya terlambat. Mereka harus tahu tipikal masyarakat desa berbeda dengan masyarakat perkotaan. Tidak seperti di kota, meski bermobilitas tinggi imbauan pemerintah masih signifikan mempengaruhi sikap mereka.

Di desa, yang kental dengan spirit komunalnya, boro-boro legawa menerima ajakan sosial distansing. Sosial distansing jika itu dipahami dan diterapkan secara ketat sama artinya mereka bakal kehilangan basis interaksi sosial ekonominya.

Interaksi sosial ekonomi di desa tidak seintens masyarakat kota. Dari segi kebutuhan ekonomi, masyarakat desa masih bisa mengandalkan kebaikan-kebaikan tetangga jika kekurangan bahan pangan. Mereka masih bisa bertukar makanan apabila salah satu di antaranya memasak lebih dari kebutuhan keluarga.

Jika ada prosesi upacara pernikahan, para tetanggalah  yang paling pertama ikut membantu di belakang dapur. Jika ada keluarga sakit tetangga juga yang ikut menghibur si sakit. Mereka juga akan sering ditemui bersenda gurau di halaman-halaman tetangga jika sore tiba.

Interaksi-interaksi semacam ini bakal ikut hilang jika sosial distansing diterapkan sepenuhnya. Bakal ada ruang sosial yang kosong yang ikut mempengaruhi daya tahan pangan, komunikasi, dan bahkan agama masyarakat desa (jika desa lumpuh, logikanya tidak bakal ada lagi sokongan logistik ke kota-kota).

Yang terakhir ini, mengapa di desa-desa sampai sekarang masih tetap menjalankan aktivitas salat berjamaah di masjid-masjid, itu tiada lain bukan sekadar untuk mengisi kebutuhan ibadah semata, tapi juga sebagai moda bertukar informasi setelah seharian bekerja terpisah di ladang-ladang.

Jadi, berbeda dari masyarakat perkotaan yang terhubung 24 jam dalam lintasan jaringan dunia maya, kebutuhan komunikasi masyarakat desa tidak dapat ditemui selain dari tempat dan pertemuan semacam hal di atas.

Sebenarnya, dalam tilikan seperti analisis di atas, masjid bisa menjadi sarana efektif menggencarkan sosialisasi berkaitan bahaya pandemi corona. Ya, masjid sampai saat ini di desa masih dipercaya sebagai tempat yang memiliki otoritas dan dipercaya dalam mengatur masyarakat. Selain institusi lembaga desa, masjid dan imam desa (dan tentua tetua-tetua adat) adalah dua modal sosial desa yang lumayan signifikan mampu mempengaruhi sikap warga.

Itu artinya, alih-alih mempertahankan sikap ambivalen, masjid-masjid di desa yang enggan menonaktifkan kegiatan ibadah berjamaah mesti sadar diri berkaitan dengan perannya yang kadang terlupakan ini.

Jadi, coba bayangkan, apabila toa masjid difungsikan selama lima kali sehari untuk mengingatkan, mengimbau, dan mewanti-wanti mensosialisasikan segala hal tentang pandemi corona ini.  Bukan tidak mungkin informasi dan kewaspadaan tentang corona akan lebih mudah direspon dan diterima warga desa.

Sebenarnya, masih ada satu dua elemen di desa yang memiliki daya potensial untuk meggerakkan warga desa agar tanggap. Ya, para pendamping desa.

Seperti dijelaskan dalam Permendesa PDDT2019, selain berfungsi untuk memfasilitasi, mengedukasi, memediasi dan meadvokasi masyarakat desa berkaitan dengan potensi tersembunyi desa, pendamping desa juga bisa memasukkan skenario gerak cepat untuk memperingati bahaya pandemi corona kepada warga desa.

Lalu, bagaimana itu dilakukan jika dalam keadaan social distansing? Pendamping desa bisa menyandarkan pekerjaannya itu kepada perangkat teknologi desa yang sekarang sudah mulai berbasis internet.

Toh, jika itu tidak terjadi, pendamping desa bisa bergerak dalam satuan-satuan kerja berskala kecil bergerak langsung berosialisasi di pusat vital pertemuan desa.

Lantas siapa yang kedua. Sudah tentu para pemuda. Skenario gerakan para pemuda dapat diinkludkan ke dalam jaringan kerja pendamping desa di atas. Dengan pertimbangan memiliki gerak mobilitas yang tinggi, dan memiliki daya tahan tubuh yang lebih kuat, para pemudalah elemen penting jika ingin menjalankan rencana di atas.

Jika Anda membaca esai Puthut EA di Mojok tentang lokdon ala Yogyakarta di awal tulisan, para pemudalah yang kelihatan di gambar-gambar tampil bergerak melakukan inisiatif gerakan lokdon mandiri di Yogyakarta. Mereka terlihat memblokade jalan keluar masuk desa dengan bahan seadanya berupa bambu atau kayu-kayu bekas.

Para pemuda di Yogya disebut Puthut bisa melakukan gerakan mandiri ini karena dibentuk dua momen bencana yang pernah dialami Yogyakarta, yakni gempa bumi tahun 2006 dan erupsi gunung merapi di 2010 lalu.

Dua momen ini mau tidak mau memaksa para warga Yogya terutama para pemudanya mesti bergerak sendiri melakukan sesuatu saat menghadapi bencana. Nah, karena punya pengalaman cepat tanggap inilah, mengapa anak muda Yogyakarta tidak tinggal diam menghadapi bahaya corona saat ini.

Pertanyaan pentingnya saat ini, ketika pemerintah pusat sudah berniat akan melakukan pembatasan sosial berskala luas yang diikuti kebijakan darurat sipil, yang berpeluang membuat negara bakal represif dan membiarkan masyarakatnya mandiri sejadi-jadinya tidak ditanggung negara, apa yang sudah dilakukan seluruh elemen desa di tempat Anda?

======


Telah dimuat di Kalaliterasi.com