”Akhirnya, dan mungkin paling mengganggu, internet membuat kita lebih kejam, bersumbu pendek, dan tidak mampu melakukan diskusi yang berfaedah.” Tom Nichols dalam The Death of Expertise.
SEJAK internet menjadi wahana belajar, dan kian hari semakin
canggih, rasa-rasanya otak manusia di saat itu mulai berkeinginan berhenti
berpikir. Kalimat ini bisa saya tulis dalam bentuk yang lain semisal, ketika
internet menjadi sahabat para pelajar, rasa-rasanya para guru akan segera
berhenti bekerja dan memilih masuk ke hutan dan kembali bertani saja. Sekolah
hanya akan menjadi sia-sia jika lalu lintas pengetahuan dan arus informasi,
kian hari membuat internet dikukuhkan sebagai guru pertama.
Kali pertama para ahli purbakala menemukan tulang belulang
manusia purba, saat itu juga Homo Sapiens ditasbihkan sebagai makhluk paling
efisien. Homo Sapiens disebut-sebut sebagai generasi penjelajah dan mampu
bermigrasi berjarak ribuan mil
menggunakan kedua kakinya.
Volume otaknya yang lebih kecil dari saudara dekatnya adalah
sebab utama mengapa ini bisa terjadi. Otaknya yang kecil membuat kepalanya jauh
lebih ringan dan membuat Homo Sapiens jauh lebih mudah berjalan dengan
menggunakan dua tungkai kakinya.
Saya bisa membuat daftar 1001 fungsi kedua tangan, dan
setengah dari jumlah itu apa manfaat dari dua kaki yang dimiliki manusia, sama
seperti bagaimana para nenek moyang ini mulai belajar menggunakan kedua
tangannya untuk meneguk air, mencari kutu, dan membuat api.
Para sejarawan meyakini, Homo Sapiens adalah makhluk
berteknologi pertama dengan kemampuan elementer berupa keahlian menggesek dua
batu panas dan menghasilkan api dari peristiwa itu. Api, sebelum bahasa
tercipta, temuan paling canggih bagi kehidupan lawas mereka. Seperti kedua
tangan kita, saya memiliki 10 jawaban ketika Anda bertanya apa fungsi api bagi
kehidupan purba saat itu.
Saat ini api bukan benda yang mencengangkan sebab ia dapat
ditemukan berkali-kali dalam kehidupan seseorang. Jika Anda perokok, api
sangatlah penting, tapi itu tidak membuat Anda merasa takjub sama sekali. Otak
Anda sudah terbiasa dengan fenomena api yang setiap hari Anda ciptakan
menggunakan korek api, kecuali Anda ingin menciptakannya menggunakan dua batu,
dan berhasil memercikkan bara api pada gesekkan ke 714.
Seorang sosiolog bernama Max Weber bahkan mengatakan dunia
modern bukan dunia seperti di mata masyarakat lawas melihatnya, yang takut dan
terpesona dengan kebesaran alam. Semenjak manusia mengerahkan secara maksimal
kemampuan berpikirnya, dunia fenomenal seperti hujan atau keluarnya magma dari
gunung berapi dipandang sebagai peristiwa biasa belaka. Oleh sebab Anda sudah
mampu menarasikannya ke dalam kalkulasi-kalkulasi sains.
Akal sehat Anda sudah lama dididik sehingga tanpa
ragu Anda akan mengatakan ada hukum sebab akibat di balik dari setiap
peristiwa, apa pun itu. Keheranan Anda akan segera sirna jika Anda meluangkan
waktu demi mencari tahu apa hukum sebab akibat dari fenomena meledaknya gunung
berapi, atau mengapa hujan di kota-kota dapat menjadi indikator untuk mengukur
kualitas pekerjaan suatu pemerintahan.
Bagi seorang nelayan, pekerjaannya akan jauh lebih berhasil
jika hukum sebab akibat itu ia praktikkan saat membaca gelagat alam berupa
bentuk rasi bintang, posisi bulan, kekuatan ombak, dan arah angin. Dia bisa
menjadi seorang ilmuwan hanya karena membuat jenis pertanyaan semisal apakah
ada hubungan sejumlah ikan di lautan akan berkurang ketika musim kemarau
datang, atau mengapa tiap hari udara kian panas seolah-olah hutan-hutan sudah
kehilangan fungsinya.
Cara berpikir di atas bisa anda kembangkan di berbagai
peristiwa kehidupan saat ini, kecuali Anda telah kembali kepada kehidupan purba
masa lalu dan takjub kali pertama api bisa menakut-nakuti seekor hewan buas.
Saya membuka tulisan ini dengan mengatakan internet sebagai
biang kerok orang-orang mulai malas memanfaatkan otaknya daripada kedua
jempolnya. Seolah-olah saat ini orang-orang memiliki cara berpikir dengan
memaksimalkan kemampuan menjelajah internet yang dimulai dari kekuatan otot
jemarinya. Memikirkan ini ada benarnya, dan bukan dalam arti metaforis bahwa
dunia saat ini memang sudah ada dalam genggaman tangan.
Sekarang, seperti seorang nelayan membaca gelagat alam, coba
Anda ajukan tiga macam pertanyaan dari hasil Anda membaca gerak-gerik
masyarakat informasi, dan coba kita lihat apakah tulisan ini punya manfaat
untuk Anda.
Saya berhasil membuat tiga pertanyaan seperti juga Anda
berupa, pertama, mengapa orang-orang senang menghabiskan waktunya berselancar
di dalam dunia maya? Kedua, apa keuntungan dan siapa bakal dirugikan jika
internet merebut perhatian orang-orang terdekat Anda? Ketiga, siapa yang harus
bertanggung jawab jika internet berhasil membuat orang-orang kehilangan
kemampuan berpikirnya?
Pertanyaan nomor satu adalah pertanyaan paling gampang yang
bisa saya jawab oleh karena hampir setengah jumlah penduduk di dunia senang
menggunakan internet. Statista, lembaga riset statistik Jerman, mencatat
terdapat 3,49 miliar pengguna internet di seluruh dunia dari total 7,7 miliar
penduduk per 2019.
Dari setengah jumlah penduduk ini, bisa kita bagi bahwa
sebagian dari mereka ada yang menggunakan internet untuk mendukung pekerjaan
mereka, sebagian lagi hanya dipakai untuk perdagangan jarak jauh, dan sisanya
dari itu adalah penduduk yang memang suka menghabiskan separuh waktu hidupnya
berselancar di dunia maya.
Saya satu dari pembagian kelompok terakhir, yang artinya
bagian dari orang yang menggunakan internet demi hiburan semata. Tidak ada
gunanya saya membela diri di sini karena saya bukanlah pekerja profesional atau
pelaku bisnis yang membutuhkan jaringan internet di mana pun saya berada.
Memang seringkali saya berusaha mencari sumber-sumber
pemahaman melalui internet ketika menghadapi soal-soal yang menantang pikiran,
dan saat itu buku kadang tidak bisa menjadi pilihan utamanya. Tapi tetap saja,
aktivitas ini menjadi mubazir karena tidak lama lagi aktivitas itu akan berubah
dengan memilih dunia media sosial yang jauh lebih menggelitik secara imajinatif
untuk ditengok.
Ada saat-saat ketika media sosial menjadi dunia penuh tanda
tanya yang membuat Anda penasaran, kini apa yang sedang terjadi di sana? Siapa
yang kini tengah menjadi trending topik? Isu apa yang sedang panas-panasnya? Dan, apa yang mesti saya lakukan ketika menceburkan diri di dalamnya? Coba Anda
perhatikan, dengan pertanyaan ini saja, Anda gampang diyakinkan bahwa tidak ada
seinci pun kehidupan saat ini yang lekang dari dunia maya, apalagi jika dering notifikasi menjadi jenis bunyi-bunyian paling sering dan selalu Anda ingin
dengarkan.
Bunyi-bunyian yang selalu Anda harapkan itu datang dari
perjalanan panjang tapi singkat. Ia berasal dari tumpukan arus informasi yang
bergerak di antara sirkuit-sirkuit data dalam satu jaringan raksasa internet.
Sebelum sampai ke Anda, bunyi notifikasi itu bergerak di antara lalu
lintas miliaran informasi yang melintasi batas-batas benua, kota, negara, dan
penyedia layanan sebelum akhirnya sampai ke benda mungil dalam genggaman Anda.
Metafora Tom Nichols dalam The Death of Expertise-nya
menyebut hubungan fenomena pengguna internet dengan arus tumpukan miliaran
informasi itu sebagai ”orang yang tersesat di mesin pencari”. Bilah pencari
yang diset di setiap gawai merupakan
gerbang tanpa arah panah yang jelas. Tom Nichols mengandaikannya semacam hutan
belantara tanpa aturan, tanpa batas, tanpa peringkat, dan tanpa filter. Anda
jika berusaha mencari kebenaran di dalam dunia maya, Tom Nichols katakan Anda
bakal tesesat di belantara miliaran informasi.
Nah, sekarang sudah mulai terjawab mengapa orang senang
berselancar di dunia maya selain bahwa
dunia maya merupakan dunia yang betul-betul lain dari kehidupan sehari-hari.
Dunia maya, karena ia mirip hutan, membauat orang terlambat sadar bahwa semakin
lama ia semakin sulit menemukan jalan keluar dan paradoksnya, Anda akan semakin
menikmati keliaran yang ditawarkan rimba kebebasan informasi. Jika Anda bukan
seorang ahli dengan kemampuan mengenal peta lokasi, maka sekali Anda masuk ke
dalamnya, Anda bakal sulit melihat kembali di mana kali pertama Anda masuk.
Salah satu perbedaan mendasar manusia purba dan manusia
modern, adalah kecakapan linguistiknya. Manusia purba masih sulit mengerahkan
kemampuan otaknya untuk melakukan percakapan panjang dibanding manusia modern
yang sudah dilengkapi kemampuan berbahasa.
Manusia purba mengenal bahasa sebatas bunyi-bunyian yang
mereka artikan secara komunal, partikular, dan terbatas. Berbeda dengan makhluk
masa kini yang menset kemampuan linguistiknya lebih luas, universal, dan tak
terbatas. Bahkan hari ini, setiap orang dituntut mengenal bahasa dari
benua-benua lain sekalipun tempat-tempat itu belum pernah ia kunjungi sama
sekali.
Saya tidak ingin katakan ketika seseorang hanya
mengenal satu bahasa itu berarti cara ia hidup masih tergolong purba, sekalipun
ia seorang pemimpin gerombolan jamaah agama . Tapi, itulah kelebihan bahasa masa kini
dari bahasa dikembangkan manusia purba, yang hanya terbatas dalam
lingkungan kelompoknya saja. Bahasa masa kini tidak akan membuat Anda seperti
manusia purba jika Anda hanya tinggal di kawasan terpencil. Anda masih
memungkinkan dapat mengetahui berbagai hal dari negeri jauh ketika Anda
memiliki rahasianya: internet.
Masih ada dua jawaban jika Anda masih mengingat dua
pertanyaan di atas, walaupun saya menduga jawaban atas pertanyaan pertama tidak
sama sekali tepat dan memuaskan Anda. Sekalipun jika Anda masih ragu, saya
tidak menyarankan Anda untuk memercayai seluruh jawaban yang sudah saya
upayakan di atas. Andaikan Anda masih takjub dengan dua pertanyaan lainnya,
saya tidak menyarankan Anda agar secepat mungkin mencarinya di bilah mesin
pencari.
Tugas Anda adalah
mengerahkan sejauh mana otak Anda mampu mengantisipasi kemalasan dan rayuan
dunia maya, sama seperti bagaimana betapa seriusnya seorang manusia purba
menciptakan api melalui dua batu digenggamannya.
Telah tayang di Kalaliterasi.com