NAMANYA lumayan aneh: Kembe (”e”
dibaca mirip ”e” dalam Jahe). Dia tinggal di bekas bioskop tua. Asal usul Kembe
misterius seperti asal mula namanya. Satu hal sering terlihat, dari jauh di
dalam bioskop selain gubuk terpalnya adalah onggokan becak tua yang konon
dipakai suaminya. Jarang ada orang berani masuk di dalam gedung bioskop setelah
lama tidak terurus. Dindingnya kehitaman dilumuri lumut kering. Di atas, langit
memenuhi atapnya yang bolong. Di halaman depannya, selain berdiri lampu jalan
tanpa aliran listrik, tumbuh semak-semak belukar menjadi makanan kambing liar.
Kembe jarang keluar dari gubuknya.
Toh jika ia keluar dia hanya terlihat memetik daun ubi yang tumbuh di sekitar
halaman bioskop. Bagi yang pernah melihatnya, Kembe berkulit gelap dengan
rambut panjang diikat sanggul. Tubuhnya kecil dengan raut muka seolah-olah
seperti orang baru bangun tidur. Semasa saya SMA nama Kembe jadi bahan bully.
Namanya dipakai untuk menggelari teman-teman yang kami kerjain.
Banyak kasak-kusuk beredar di seputar
kehidupan Kembe. Ia kerap disebut gembel peminta-minta. Sering dituduh tidak
waras. Bahkan beberapa orang menyebut ia suka menculik anak-anak.
Nasib Kembe masih tergolong mujur
dibandingkan—sebut saja— Melati si gila, yang sering ditemui di beberapa sudut
kota Bulukumba. Kembe setidaknya masih memiliki tempat tinggal, walaupun
seadaanya di dalam bekas bioskop tua. Ia masih memiliki keluarga, meski jarang
terlihat seperti apa penampakan mereka.
Melati sering terlihat mengenakan
baju daster sambil mengacung-acungkan gayung ke udara. Seperti Kembe, kulitnya
hitam dimakan panas matahari. Rambutnya urakan hitam kecoklatan menyiratkan bau
tanah. Tidak ada yang tahu pasti di mana Melati tinggal (pernyataan ini
sebenarnya kurang relevan bagi orang gila. Memangnya orang gila punya rumah
tetap?).
Seperti galibnya orang gila, tidak
ada cerita pasti mengapa Melati sampai kehilangan akal sehat. Melati, seperti
sering dialami, tiba-tiba dapat ditemukan di pinggir jalan tanpa tahu dari mana
dia datang, siapa keluarganya, bagaimana ia bisa gila, dan siapa yang
menelantarkannya.
Orang gila seperti Melati, praktis
menjadi orang yang kehilangan relasi sanak keluarga, perhatian, tanpa hak dan
kewajiban, serta kehilangan asal usul.
Kehilangan akal sehat, dengan kata
lain, membuat orang gila seperti Melati menjadi mahluk yang terputus dari semua
variabel kehidupan.
Sering tersiar kabar, Melati
menjadi bulan-bulanan tukang becak. Kadang terlihat becak terpakir tanpa
tuannya di jalan sepi tanpa penerangan. Dia jadi objek perundungan seksual para
tukang becak yang tidak mampu mengontrol berahinya.
Di pikiran pengayuh becak yang
tidak seberapa penghasilannya itu, Melati sudah lebih dari cukup dari pada
mencari perempuan sewaan. Melati tidak perlu dibayar, atau mesti dibooking
melalui tawar menawar harga. Tukang becak tidak suka itu, dan para tukang becak
yang seharian mengayuh di kota yang tidak sama sekali membutuhkannya, tidak
menginginkan semua itu. Mereka hanya butuh sedikit nekat menyergap Melati di
tengah jalan dan menidurinya di semak belukar, atau di tempat-tempat sepi tanpa
penerangan.
Orang gila seperti Melati, sebagai
objek seksual diangkat Eka Kurniawan dalam cerpen Tidak Ada Orang Gila di Kota
Ini—yang oleh Wregas Bhanuteja dialihwahanakan ke dalam film pendek berjudul
sama dibintangi Oka Antara dan Sekar Sari (film ini berhasil memenangi anugerah
film pendek terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) 2019).
Jalan cerita Tidak Ada Orang Gila
di Kota Ini cukup membuat hati bergidik. Ibarat zaman Abad Pertengahan di
Inggris, ketika suatu kota dihadapkan pada wabah berisikan orang-orang gila
yang kemudian ditangkap dan dibuang jauh di tengah hutan. Alih-alih kota
memberikan fasilitas, dan kehidupan lebih baik, para orang gila ini malah
ditangkap dan dijual dijadikan bahan tontonan seks seperti pertunjukan sirkus
di setiap musim liburan.
Cerita ini seperti disampaikan
Wregas adalah kenyataan yang melukiskan kegelisahannya berkaitan dengan hirarki
kekuasaan.
”Di mana orang yang memiliki power
yang lebih, akan menindas orang yang lebih lemah untuk memuaskan hasrat
pribadinya. Yang di bawahnya, akan menindas yang di bawahnya lagi, dan yang
paling tidak berdaya adalah orang yang sama sekali tidak memiliki kuasa.
Bahkan, kuasa atas dirinya sendiri,” sebagaimana dikutip dari mainmain.id.
Perkara kekuasaan, kegilaan, dan
seksualitas, sudah jauh hari ditelusuri sosiolog Prancis Michel Foucault, yang
menemukan adanya pertautan di antara ketiganya. Dengan kata lain, kegilaan dan
seksualitas, seperti pendakuan Foucault adalah wacana kekuasaan yang senantiasa
diatur, dikontrol, dan dikendalikan. Itu artinya kategori normal tidak normal,
boleh tidak boleh, sehat tidak sehat dalam wacana seksualitas senantiasa
merupakan produk pengetahuan kekuasaan.
Melati si gila, beruntung tidak
hidup dalam imajinasi penceritaan Eka Kurniawan, atau seperti di era Abad
Pertengahan. Walaupun demikian, ia masih tetap menjadi sasaran berahi lelaki
sekelas tukang becak kere yang kebelet ingin melampiaskan hasratnya. Ia sering
diculik dan disekap, dan ditidurkan di semak-semak atau di bangunan kosong tak
berpenghuni. Seperti pendakuan Foucault, kekuasaan bisa berlaku di mana saja,
ia produktif menciptakan korbannya. Untuk kasus ini, Melati-lah korbannya.