BELAKANGAN saya mulai menyadari
keinginan menjadi peresensi buku. Walaupun niat ini akal-akalan saja, memang.
Ya mau bagaimana lagi. Semangat membaca saya angin-anginan. Ini cara bulus
belaka agar saya membaca buku.
Zaman sekarang, kita harus hidup
seperti pelari maraton yang diserang kehausan. Mesti lahap menepekuri
buku-buku. Coba pikirkan setiap detik bermunculan penerbit-penerbit buku. Entah
legal atau liar, mayor atau indie. Dari moncong mereka kertas-kertas berubah menjadi
buku-buku. Puluhan, ratusan, ribuan….
Di gawai kita, buku elekronik
lintas melintas. Dunia maya perantaranya. Bergiga-giga fisik buku menjadi
sekotak layar smartphone. Pindah kirim mengirim. Dari gawai satu ke gawai lain.
Namun, kecepatan perkembangbiakkan
buku tidak semelimpah waktu membacanya. Seolah-olah kita dikutuk Tuhan
mengalami dahaga berkepanjangan. Kita dikutuk agar mampu meneguk ”mata air”
pengetahuan di buku-buku yang serba berlebihan itu. Mirisnya kita dikepung
beragam kesibukan.
Belakangan saya jalan-jalan di
Gramedia. Semenjak peristiwa ”perampasan” buku-buku kiri oleh segelintir orang,
di jajaran etalase buku fiksi di toko buku ini mengalami perubahan. Setelah rak
buku-buku sosial dan filsafat raib melompong, giliran buku-buku fiksi berbau
kiri menghilang entah kemana.
Menariknya, di waktu bersamaan,
buku-buku teenlit berdesakan bersaing dengan buku-buku novel populer. Untuk
urusan ini buku-buku Tere Liye peringkat pertama disusul tema buku sejenis.
Mengingat ”gerutuan” Tere Liye menarik bukunya dari Gramedia terkait perlakuan
pemerintah terhadap pajak penulis tempo hari, malah nampak lucu melihat bukunya
nangkring kembali di toko buku terbesar tanah air.
Terlepas apakah Gramedia sedang
cuci gudang ”menghilangkan” buku-buku yang berpotensi mengundang masalah, saya
kira Gramedia sedang menggali kuburnya sendiri. Lihat saja sekarang, menyebut
Gramedia sebagi toko buku besar sudah tidak pantas lagi. Lebih cocok kalau ia
disebut toko penjaja alat-alat tulis kantor.
Tidak ada urusan apakah Gramedia
mau menjual buku-buku bernuansa populer. Ini bukan soal selera sastra semata.
Urusan lain jika mengatakan Gramedia menjadi toko buku minim buku sastra dan
humaniora.
Tapi, mendengar obrolan seorang
kawan bersama Muhiddin M. Dahlan, penulis kawakan ini sudah semenjak lama
memarkir naskah bukunya dari tangan editor Gramedia. ”Gramedia tidak pernah
berniat membela hak-hak penulis jika buku dijualnya dipersekusi”, begitu kurang
lebih pendakuan Gus Muh.
Menariknya, ketika nasib Gramedia
senjakala, di perbukuan Indie sedang
cerah-cerahnya. Angin musim sedang berpihak kepada penerbit-penerbit
indie.
Di pusat perbukuan indie di Jogja,
penerbitan indie sedang membangun persekutuan suci menyaingi penerbit-penerbit
mayor. Banyaknya festival buku di sana tidak satu pun pernah melibatkan
penerbit mayor. Semakin maraknya persekutuan ini juga menghadirkan banyak
penulis-penulis muda/baru yang lebih segar dan fresh.
Penerbitan indie lebih fleksibel
memaksimalkan dunia maya, cepat atau lambat bakal menyaingi pangsa pasar yang
selama ini dikuasai penerbit mayor. Melalui strategi PO untuk mentaktisi biaya
cetak dan seluruh tetek bengeknya adalah cara ampuh meminimalisir kerugian.
Belakangan muncul gerakan beberapa
penerbit di Jogja untuk segera menghentikan percetakan buku bajakan. Sudah
sejauh ini dinamika literasi di Jogja!
Di Makassar, ada MIWF, festival
tahunan yang menjadi wadah penulis muda bermunculan. Juga menjadi ajang bagi
pembaca agar bisa bersentuhan langsung dengan penulis-penulis undangan. Namun
kesemarakan festival internasional ini tidak seresah pegiat literasi di level
akar rumput.
MIWF dinyatakan beberapa penggerak
penerbit indie Makassar hanya menjadi jalan lapang bagi penerbit mayor
menancapkan dominasinya. Otomatis karena itu penulis-penulis yang diundang
hanya penulis yang terikat secara penerbitan dengan penerbit bersangkutan.
Begitu juga dari segmentasi peserta, yang ikut merasakan kemeriahan MIWF
hanyalah penikmat buku-buku keluaran terbitan mayor.
Itulah sebab, MIWF kurang, untuk tidak
mengatakan tidak, mengapresiasi atau bahkan membuka panggung bagi penerbit
indie di Kota Daeng. Atau bahkan kurang terbuka dengan penulis-penulis muda
yang lahir di komunitas penerbit indie di tingkat lokal pedalaman—walaupun ada
proses seleksi sebelumnya.
Barangkali, respon seperti ini-lah
yang menjadi sebab kemunculan beberapa festival di daerah-daerah di Sulawesi
Selatan. Beberapa waktu lalu pernah tersiar kabar di Bulukumba digelar festival
literasi menggaet simpul-simpul penulis lain yang berbeda kecenderungan latar
belakang, gaya, tradisi, jaringan dengan kelompok penulis dominan di Makassar.
Di Palopo bahkan sudah dua tahun menyelenggarakan festival kurang lebih sama
dengan mengundang Muhiddin M. Dahlan sebagai tamu utamanya.
Terlepas dari itu, lain soal jika
memang belum ada cetakan buku berkualitas lahir dari rahim penerbit indie di
Makassar—walaupun tidak semuanya. Yang juga otomatis belum masuk kategori
penerbit mapan yang layak dilibatkan.
Permasalahannya belum tampak sama sekali penulis-penulis muda
bermunculan dari rahim penerbit indie di Makassar. Tapi, bukankah saling topang
dan sinergi di antara penerbit mayor dan penerbit indie di Makassar bisa tumbuh
subur jauh lebih dibutuhkan saat ini?
Walaupun begitu, biarlah urusan di
atas dipecahkan punggawa-punggawa literasi di Kota Daeng. Urusan saya lewat
tulisan ini hanya curhatan mengenai
tugas seorang pembaca mesti diradikalkan menjadi peresensi. Di masa
sekarang membaca buku saja tidak cukup. Dibutuhkan langkah lebih maju
mengapresiasi buku tidak melulu melalui membaca belaka.
Dengan kata lain, merensi jauh
lebih produktif dari sekadar membaca. Jika membaca hanyalah suatu tindakan ”ke
dalam” bagi pembaca untuk mengembangkan aspek-aspek dirinya, maka meresensi
sebaliknya mengarahkan sasarannya kepada khalayak luar dengan menghasilkan
suatu karya ulasan.
Peresensi itu juga suatu semesta
penulis yang mesti ikut dihidupkan kembali. Belakangan dunia tulis menulis
lebih banyak mengapresiasi penulis cerpen, novelis, penyair, penulis prosa, dan
esais, sementara saat bersamaan memunggungi satu slot penting berupa penulis
resensi buku.
Peresensi satu bagian khusus yang
memiliki efek signifikan bagi jaringan dunia perbukuan. Bisa dikatakan, dari
mata rantai penulis, editor, layouter, penerbit, distributor sampai penjual
buku, peresensi adalah missing link yang selama ini kurang mendapat perhatian
digeliatkan kembali.
Tanpa peresensi nasib suatu buku
hanya bisa menempuh setengah jalan dari jaraknya kepada pembaca. Tugas
resensilah dalam hal ini yang bakal meneruskan perjalanan suatu buku agar
sampai dengan selamat kepada khalayak banyak. Ia bakal melengkapi paripurnanya
perjalanan buku dari sejak digagas penulis hingga sampai di almari-almari
pembaca.
Peresensi itu seperti tugas
pelanjut risalah. Jika penulis buku adalah nabi-nabi, peresensi adalah wasinya,
pelanjutnya. Dikenal tidaknya apa isi buku, merupakan tugas pertama dari
peresensi untuk ”melaporkannya” ke hadapan publik. Sangat banyak buku beredar
di pasaran, baik dengan kualitas berlapis-lapis, tapi berumur pendek karena
tidak ada sokongan berupa resensi buku.
Bagi saya yang angin-anginan ini,
seperti saya ungkapkan sebelumnya, meresensi adalah strategi keluar dari
selimut kemalasan membaca. Apalagi saya mulai merasakan betapa terbatasnya daya
ingat pikiran. Zaman yang tidak sekalipun menaruh ampun kepada gaya hidup
selow, sedikit banyak berefek kepada perasaan takut tertinggal. Dunia ketika
realitas maya mengambil alih malah mensituasikan orang-orang kepada gaya
berpikir instan dan artifisial. Saya malah merasa itu juga ada pengaruhnya
kepada daya ingat.
Di titik inilah merensi buku mampu
membantu sisi negatif ingatan pendek. Saya tidak mesti lagi repot-repot membaca
ulang keseluruhan buku jika hanya ingin tahu kisah seperti apa yang ada dalam
suatu buku. Atau saya juga tidak harus membolak-balik halaman demi halaman jika
itu berkaitan dengan suatu tema pemikiran atau inti suatu buku. Singkatnya
meresensi sebenarnya merupakan jalan
tengah menyelamatkan daya ingat pengalaman atas membaca buku.
Tuhan, izinkan aku menjadi
peresensi…