JANGANLAH kau
diperbudak satu kaum sekalipun kau dilahirkan dalam keadaan merdeka.
Perkataan yang saya sadur ulang ini
pernah diucapkan Ali bin Abi Thalib AS. Tokoh sejarah yang oleh para ahli
disebut sebagai Suara Keadilan.
Suara Ali sama tajamnya dengan
kibasan pedangnya. Bahkan, suaranya jauh bergema sampai ke gerbang waktu masa
kini.
Kemerdekaan menurut Ali bin Abi
Thalib lebih azali dari apa pun. Ia anugerah penciptaan, tapi juga sekaligus
ujian. Barang siapa memperjuangkannya, maka ia telah mensyukuri satu-satunya
keistimewaan yang dipunyai makhluk hidup. Barang siapa menginjak-injaknya,
sesungguhnya ia telah kufur nikmat.
Kemerdekaan memang tidak datang dan
jatuh dari atas langit. Sekalipun mesti direbut dan diperjuangkan, ia oleh
Soekarno disebut sebagai pengalaman khas dari suatu bangsa. Tidak ada
perjuangan kemerdekaan yang sama satu dengan lainnya. Setiap bangsa
memperjuangkan kemerdekaannya masing-masing. Dengan ikhtiar dan metodenya
sendiri-sendiri.
Bagi bangsa-bangsa modern,
kemerdekaan dirumuskan dengan cara membentuk suatu ”komunitas terbayang”. Istilah dari Benedict Anderson ini, melampaui dan tidak
sekedar komunitas politik belaka. Melainkan suatu bangsa ”yang saling membayangkan” walaupun satu sama lain terpisah takdir geografis berjauhan.
Itulah sebabnya, kemerdekaan,
seperti juga nasionalisme yang menjadi induknya, mesti menjadi proyek bersama.
Oleh sebab ia mudah berubah, gagasan ini mesti dikukuhkan satu demi satu
kaki-kakinya dari setiap pertemuan dan saling silang pemikiran. Ia bagaimanapun
bukan takdir Tuhan yang ajeg dan fix.
Dengan kata lain, kemerdekaan
adalah hak sekaligus takdir perjuangan manusia itu sendiri.
Beberapa waktu belakangan, menambah
deret panjang noda peradaban, di Probolinggo dan Makassar terjadi kembali aksi
memusuhi buku-buku. Bibliosida, yang seringkali ditampakkan dari mulut-mulut
kekuasaan, kini dengan mudah dilakukan di luar kekuasaan itu sendiri.
Entah dari mana kewenangan
menentukan takdir pengetahuan dimiliki oleh musuh-musuh peradaban ini. Mereka
tanpa disadari telah melampaui kewenangan negara dalam menentukan baik buruknya
sesuatu. Bahkan, telah menyalahgunakan prinsip kemanusiaan dengan mengambil hak
preogatif Tuhan.
Semenjak kemerdekaan berbangsa
bernegara diikrarkan dan dinyatakan Agustus silam, Indonesia bukan terdiri dari
sekadar gerombolan yang bergerak sendiri-sendiri, tanpa arah, dan bebas.
Melainkan menjadi komunitas politik yang berdaulat, tatanan masyarakat yang
berkebudayaan, dan sistem sosial yang berkeadilan.
Itu artinya, setiap manusia yang
bermukim di atas tanahnya, disatukan oleh suatu ikatan kolektif, sadar, dan
bertanggung jawab demi usaha mencapai kedaulatan ideal, kebudayaan ideal, dan
keadilan ideal.
Maka, jika ada yang bergerak atas
tendensi komunalisme buta dan keyakinan ekstrimis, yang mengatasnamakan
kepentingan publik semena-mena, berarti orang-orang macam ini sesungguhnya
belum merdeka dari penjajahan kebodohannya.
Orang-orang macam inilah layak
disebut sebagai bandit-bandit peradaban. Mereka mendesak paksa, mencuri, dan
merampok kemerdekaan publik dengan tingkah genit kekanak-kanakan.
Tindak bibliosida jika dibiarkan
akan mengurangi umur usia suatu bangsa. Buku-buku, apa pun jenis dan macamnya merupakan
khazanah yang mesti dijaga dan disebarluaskan. Sekolah, perguruan tinggi,
perpustakaan, arsip negara, dan bahkan ingatan suatu bangsa akan hilang ditelan
waktu. Tanpa itu semua, tak akan lahir generasi puncak dari suatu bangsa.
Saya tidak habis pikir bagaimana
razia buku dapat langgeng dan berlipat ganda. Jika itu direncanakan dengan
sistematis, berarti ada grand design dengan motif ideologis tertentu yang
sedang bekerja melapangkan suatu jalan pikiran tanpa kritisisme.
Dengan kata lain, suatu narasi
penghancuran buku sama artinya dengan program genosida atau cuci otak demi
menghilangkan suatu generasi.
Jika ditilik lebih jauh, bibliosida
bukan saja melahirkan genosida belaka, tapi juga akan merambah kepada kebencian
rasial, gender, dan agama. Buku yang dilenyapkan, dengan kata lain akan
berdampak lenyapnya pula kemanusiaan itu sendiri.
Dan, hilangnya kemanusiaan, sama
artinya lenyapnya kemerdekaan di bawah langit-langit persada.
Syahdan, buku tanpa kebebasan
membaca, sama saja dengan negeri yang kosong dari takdir peradaban.