Don Quixote, Buku, Imajinasi, dan Cinta



Judul : Petualangan Don Quixote
Penulis: Miguel de Cervantes
Penerjemah: Muajib
Penerbit: Immortal Publisher
Edisi: Pertama,  Agustus 2017
Tebal: 124 Halaman
ISBN: 978-602-6657-62-4



SIAPA tidak mengenal Don Quixote de La Mancha, tokoh ciptaan Miguel de Cervantes sastrawan Spanyol dalam novelnya yang terkenal: Petualangan Don Quixote. Figur lugu nan kocak yang mengemban misi pembebasan orang-orang tertindas karena berkhayal dirinya seorang ksatria. 

Dengan baju zirah perang abad pertengahan, ia berkelana menggunakan kuda kurus yang ia beri nama Rozinante. Bersama pembantunya yang berhasil ia yakinkan, mengikuti kemana kudanya melangkah, mereka mengembara layaknya ksatria dari satu titik entah ke titik entah lainnya.

Don Quixote awalnya bernama Alonzo Quinjano. Ia berkhayal sebagai seorang ksatria karena gila membaca dan terbius cerita petualangan ksatria pengembara. Berkat bacaannya itu ia seketika mengubah identitasnya dari seorang peladang menjadi seorang ksatria. Dimulai dari situlah Don Quixote hidup dalam imajinasi hasil bacaannya, dan memulai petualangan liarnya.

Di dunia nyata, hubungan imajinasi dengan buku-buku seperti Don Quixote juga dialami Mark David Chapman dan John Warnock Hinkley, Jr. Bahkan lebih berbahaya lagi. Berkat buku karangan J.D Salinger, The Cather in the Rye, terobsesi tokoh utama, keduanya melakukan pembunuhan.

19 April 1995 Gedung Federal Oklahoma Amerika Serikat hancur akibat ledakan truk berisi bom amoniak. Gedung itu diledakkan penganut nazisme di Amerika Serikat. Uniknya, peledakkan itu berdasarkan jalan cerita buku The Turner Diaries karya William L. Pierce. Dalam kasus ini, ternyata “bacaan wajib” pengikut nazisme itu  menjadi panduan teknis aksi peledakkan yang dimaksud.

Hubungan buku dengan imajinasi yang mengubah perilaku pembacanya juga terjadi di Jepang. Buku Issac Assimov trilogi Foundation menginspirasi sejumah orang membentuk Sekte Kiamat. Pengikut sekte ini melihat dunia nyata seperti Galaktic Empire, dunia dalam buku itu yang karut marut dipimpin pemerintahan busuk. Karena mandeg, korup, dan represif, para pemerintah di dunia ini mesti dienyahkan. Dengan buku ini sekte kiamat menggunakan aksi terorisme dan teror bom sebagai strategi “dakwahnya”.

Itu sisi negatif bagaimana buku menginspirasi dan mengisi alam imajinasi pembacanya. Buku memiliki dampak besar bagi hidup manusia. Ia jendela dunia yang memperpanjang indera dan benak manusia. 

Berkat buku si pembaca memiliki daya jangkau demikian luas. Keterbatasan indera teratasi daya jelajah pikiran seiring membaca teks. Teks menjadi konteks dalam benak –menjelma imajinasi. Tubuh pembaca semula disekat batas-batas fisik, bertransformasi melalui imajinasi yang bebas bergerak berkat hasil bacaannya.

Bagus Takwin, seorang psikolog, mendakukan dalam bukunya Psikologi Naratif Membaca Manusia Sebagai Kisah, buku adalah medium manusia untuk memenuhi beragam kebutuhan. Buku, melalui bahasa, mampu memperkaya cakrawala pembacanya. Dia menjadi sumber pengetahuan yang mengajak pembaca memasuki dunia ilmu yang tak terpemanai.

Bagus Takwin juga menambahkan kelebihan buku adalah potensinya menjalin keintiman dengan pembacanya. Dikatakan membaca buku merupakan kegiatan personal yang aktif karena pembaca secara mental mengizinkan dirinya memasuki dunia bacaan. 

Keintiman pembaca terhadap buku juga melibatkan tubuh dan juga perasaan. Inilah yang membuat setiap pembaca buku menemukan kepuasaan di tingkat kognitif, motorik, dan afeksi sekaligus.

Dalam cerita dan kasus di atas adalah contoh bagaimana keintiman atas buku-buku melahirkan imajinasi yang mengubah perilaku melalui tubuh dan perasaan. Terlepas dari sisi negatifnya, buku dalam peristiwa di atas menjadi “otak” perubahan yang membangkitkan inspirasi, imajinasi, dan tindakan.

Kiwari, setelah dibabarkan melalui beragam riset, Indonesia seolah-olah berlari mengejar ketertinggalan tingkat literasinya dari bangsa lain. 

Di SulSel sendiri sampai di pelosok, ibarat cendawan di musim hujan, bermunculan komunitas, perpustakaan desa, kelompok diskusi, lapakan buku, arisan buku, dan toko buku demi ikut menggalakkan gerakan literasi. Semua itu menandai terjadi keintiman terhadap buku-buku.

Tapi, sejauh ini jarang terdengar bermunculan Don Quixote-Don Quixote baru, yang terbius bacaan berimajinasi sebagai ksatria literasi. Bahkan, tidak juga muncul sekte-sekte baru demi menyebarkan agama literasi dengan teror buku. Atau orang seperti Mark David Chapman yang marah dan membunuh orang karena malas membaca buku. Semua itu mungkin belum cinta buku. Bukankah keintiman membutuhkan cinta?  


Telah tayang di Geotimes