Komunisme dan Lelucon


"Forward! To the West!" Viktor Ivanov, 1942.

Puki mai e. Di sela-sela melihat Banu tertidur, video ini menjelaskan banyak hal. (click video di sini)

Pertama, kekuasaan sering kali jadi soal karena disulut hasrat menguasai perempuan. Perang Troya antara bangsa Yunani dan bangsa Sparta salah satu contohnya. Helena, perempuan di tengah-tengah perang akbar itu, menjadi pemicunya.

Di video ini, disebutkan Raisa adalah kunci. Jangan-jangan semua hasrat kekuasaan di balik gelagat baik politik hanyalah tameng untuk menyembunyikan keinginan yang sama demi menguasai perempuan.

Kedua, olok-olok adalah cara lain untuk mempermainkan kebenaran. Miguel Cervantes si pencipta Don Quixote adalah contoh yang baik dalam hal ini.

Di novel itu Don Quixote memperagakan keberanian yang datang dari khayalannya. Ia berkhayal sebagai seorang ksatria abad pertengahan yang hidup di Spanyol modern. Ia lantaran didorong khayalannya menjadi hero di tengah-tengah zaman yang sudah tidak mengenal lagi konsep itu.

Kehadiran Don Quixote yang jenaka dan berkhayal persis menjadi kisah anakronisme di situasi seperti sekarang. Melalui video ini, hero bukanlah siapa-siapa. Dan toh jika ia ada, yang ia perjuangkan hanyalah seorang perempuan belaka.

Dengan kata lain, ia mesti ditertawakan. Tanpa harus malu-malu.

Ketiga, video ini tanpa takut memperlihatkan simbol-simbol yang selama ini dilarang negara. Tapi dengan cara mengubahnya menjadi lelucon, ini cara satir bagi siapa saja yang masih terkooptasi negara dalam melihat sejarah masa lalu.

Sejarah, seserius apa pun ia dibentuk, akan dengan mudah berganti sudut pandang dan optiknya jika ditempuh cara-cara seperti ini. Ingat, Gus Dur adalah figur yang menggunakan lelucon sama seriusnya ketika membabar fakta-fakta sejarah.

Keempat, dengan gaya lelucon, video ini mengetengahkan insight yang segar tentang bagaimana kita berhadapan dengan kebenaran sejarah. Yakni, dengan dibiarkannya tertawa melalui olok-olok adalah suatu kesedian yang mahal harganya untuk mengakui kerendahhatian.

Saya masih ingat di masa-masa mahasiswa, ada anjuran agar tidak terlalu serius memberlakukan kebenaran. Cara yang paling asyik ketika menemukan kebenaran adalah menertawakannya. Mungkin, itulah maksudnya, menertawakan kebenaran yang ditemukan diri sendiri juga berarti cara lain untuk mengakui betapa rendahnya diri kita sehingga pantas ditertawakan.


Memang, sekarang tertawa mahal harganya. Ia kualitas manusia yang ringsek dimakan ambisi politik belakangan ini.