“In
a time of deceit, telling the truth is a revolutionary act. Di saat
kebohongan, menyatakan kebenaran adalah sebuah tindakan revolusioner.”
Imam Husain lebih dari sebuah nama.
Ia adalah sebuah pemahaman. Sebuah Perspektif.
Sebagai sebuah pemahaman, Imam
Husain adalah pandangan dunia yang membetot pikiran mengenai dua sisi
kontradiktif yang tidak mungkin ditengahi: kebenaran dan kebatilan.
Sebagai sebuah perspektif, pribadi
Imam Husain menjadi simbol keberpihakan bagaimana suatu pandangan dunia mau
tidak mau harus rela menanggung risikonya. Hatta, kematian sekalipun.
Tapi di Karbala kematiannya bukanlah
risiko. Di padang itu, kesyahidannya adalah puncak tertinggi dari moralitas
adihulung yang dimiliki seorang pribadi.
Dengan kata lain, epik kesyahidan
Imam Husain di Karbala menjadi satu-satunya ultimate
goal dari sekian pilihan yang diambilnya.
Dari sisi teori bunuh diri,
kematian Imam Husain bukan kategori kematian yang dibilangkan Emile Durkheim,
seorang scholar sosiologi, sebagai
akibat dari melemah atau kuatnya struktur sosial yang menjadi penyebabnya. Atau
lebih-lebih disebabkan hilangnya kendali
norma masyarakat yang membuatnya patah semangat.
Kematian Imam Husain adalah pilihan
sadar yang melampaui syarat-syarat material masyarakat saat itu. Satu jenis
kematian yang dalam pengertian Martin Heidegger, seorang filsuf eksistensialis
Jerman sebagai sterben, yakni
kematian yang dijemput dan direncanakan.
Karena sifatnya direncanakan,
kematian sterben berbeda dari
kematian off-liven. Dalam pemaknaan
Heidegger, kematian off-liven adalah kematian
alami benda-benda dan binatang disebabkan datang begitu saja tanpa ada
persiapan apa-apa untuk menjemputnya. Kematian yang tidak bermakna.
Sementara kematian Imam Husain adalah
kematian dengan makna agung. Ia tidak dikondisikan keadaan. Karena itulah ia membuat
gaung panjang yang memengaruhi jalannya sejarah.
Itulah sebabnya, kematian Imam
Husain disebut syahid. Pilihan yang tumbuh dari jiwa yang merdeka atas suatu
gagasan.
Di Karbala gagasan itu sepadan
dengan kata-kata George Orwell yang saya kutip di atas tadi: In a time of deceit, telling the truth is a
revolutionary act. Di saat kebohongan, menyatakan kebenaran adalah sebuah
tindakan revolusioner.
Namun, bagaimana mungkin di Karbala
hanyalah kisah yang menunjukkan sebuah
pernyataan. Kisah 10 Muharram adalah epik sejarah yang merekam seorang pribadi
yang bukan saja menyatakan kebenaran, tapi juga sekaligus bertindak benar melalui jiwa sekaligus tubuhnya.
Karena itulah dalam tradisi
pemikiran Syiah, kisah 10 Muharram menjadi inspirasi abadi untuk menyuarakan
kebenaran bukan saja melalui pernyataan tapi juga tindakan.
Sebagaimana sebuah epik, dalam kisah
Asyura banyak rupa kejiwaan yang merefleksikan pribadi manusia. Ibarat sebuah
“pertunjukkan” melalui 10 Muharram banyak peran kemanusiaan yang ikut terlibat
dan berkelindan di antara dua bentang sisi berlawanan yakni kebenaran dan
kebatilan.
Melalui sejarah Karbala, walaupun
sama-sama berlabel Islam, pribadi Imam Husain dan Yazid bin Muawiyah adalah dua
paras ekstrim yang membentang saling menegasi. Dua-duanya sama-sama menjadi
wakil gagasan, nilai, dan esensi agama yang berlainan. Imam Husain sebagai
pewaris ajaran Rasulullah, dan Yazid sebagai tokoh antagonis dispotik yang
memelintir ajaran Muhammad.
Dari sisi ini, pelakonan antara
Imam Husain dan Yazid bin Muawiyah seperti analisis Dr. Ali Syariati, scholar
sosiologi Islam yang disebutnya agama vs “agama”.
Agama pertama yang diperjuangkan
Imam Husain adalah karakteristik agama seperti yang dinubuatkan Rasulullah
dengan nilai-nilai utama berupa egalitarianisme, emansipatif, dan humanis.
Sedangkan agama dalam tanda kutip
seperti yang diperankan Yazid bin Muawiyah adalah sisi sebaliknya berupa agama
yang menjadi sektarian, nonkoperatif, dan dispotik.
Di sekitar ketokohan Imam Husain
untuk menyebut beberapa di antaranya ada sahabat-sahabat semisal Anas bin
Harits Kahili, Habib bin Muzhahhar, Muslim bin Awsaja, Hani bin Urwah, Abdullah
bin Baqthar Himyari, John bin Huwai yang mencerminkan sifat kerelaan dan
kesetiaan terhadap pribadi Imam Husain sebagai simbol kebenaran.
Selain sanak famili, para sahabat
Imam Husain menjadi contoh keberpihakan dengan menujukkan diri sebagai pribadi
yang rela berkorban demi tegaknya prinsip amal ma’ruf nahi mungkar walaupun
nyawa sebagai taruhannya.
Sementara di sisi seberang yang
diwakili Yazid bin Muawiyah terdiri dari sosok-sosok yang dibelenggu tipu
muslihat dan ego kekuasaan untuk meraih keuntungan sekaligus simpati masyarakat
dengan mempermainkan agama sebagai jualannya.
Di antaranya adalah orang-orang
semisal Ubaidillah bin Ziyad, Umar bin Sa'ad bin Abi Waqqash, dan Syimr bin
Dzil Jausyan yang memeragakan lakon antagonis mengedepankan sifat tamak,
serakah, dan bebal yang memanfaatkan jaringan kekuasaan demi menyudahi
perjuangan Imam Husain.
Dari semua lakon yang terjadi, peristiwa
Asyura adalah kisah epik tiada duanya. Ia adalah kisah yang bertutur melalui
puncak-puncak nilai kemanusiaan. Hanya di peristiwa Karbala-lah, semua ketinggian
nilai kemanusiaan ditemukan, tapi juga sebaliknya secara bersamaan menunjukan peran
yang mencerminkan nilai antikemanusiaan.
Kiwari, ketika kisah-kisah
kemanusiaan banyak dikalahkan oleh narasi modernisme dalam ingatan kolektif
masyarakat, peristiwa Karbala-lah kisah agung yang berdiri di atas pengisahan
gugatan dan gugahan bagi siapa saja yang menyadarinya. Sebuah kisah yang mampu
didudukkan sebagai gagasan trasnformatif untuk merevitalisasi cara masyarakat
beragama agar tidak terjebak ke dalam simbolisme agama dan politik atas nama
agama.
Pada akhirnya, kisah Karbala adalah
kisah kemanusiaan-universal. Kenyataannya, 10 Muharam bukan sekadar penanda
atas waktu suatu peristiwa epik. Melainkan merupakan penanda ingatan dan jiwa, yang
menjadi suluh keduanya agar terus berjangkar kepada puncak-puncak kemanusiaan
demi menegakan spirit Islam yang diajarkan Rasulullah.
Semua ingatan adalah Asyura, semua
tubuh adalah Karbala.
---
Tayang sebelumnya di Geotimes.co.id