Cerpen bukan hanya keterampilan
seni bercerita. Atau sekadar menyusun urutan-urutan peristiwa berdasarkan hukum
kausalitas tertentu, dan menempatkan ”peristiwa kunci” di akhir cerita yang sering
membuat orang merasa kaget.
Cerpen juga bukan seolah-olah
menceritakan belaka pengalaman-pengalaman di sekitar sang pengarang sembari ikut
mengubahnya berdasarkan kreatifitas imajinasinya.
Cerpen, sejauh yang dipahami juga
adalah media penceritaan yang menggambarkan seberapa tekun sang pengarang mau
ikut serta menciptakan kehidupan yang bermartabat dan bebas dari beban sosial
yang melingkupinya.
Akhir-akhir ini situasi masyarakat
banyak mengalami anomali-anomali. Semakin ke sini, dilatarbelakangi
globalisasi, menguatnya masyarakat pos industrial, merebaknya pemahaman ekstrim
politik keagamaan, maraknya hoax,
serta kemunculan generasi mutakhir digital
native, kehidupan kita banyak dibebani dan diharuskan menyelesaikan
persoalan-persoalannya dengan cara yang jauh lebih bijak dari cara-cara
sebelumnya. Termasuk bagi pengarang, seperti beragam profesi lainnya, harus
turut serta ikut memperbaiki keadaan yang banyak membuat orang terkaget-kaget.
Melalui konteks demikianlah,
seorang pengarang tidak sekadar ”bercerita”, tapi juga lebih afdol jika
karangan-karangannya sedikit banyak mampu mendesak pemahaman pembaca untuk mau
menyadari kehidupannya.
Hal terakhir di atas itulah yang
menurut saya mesti muncul dalam karya sastra seseorang. Tentu pemahaman ini
tergantung dari pertanyaan, semisal, untuk apa seorang pengarang menuliskan
karyanya? Apa hikmat yang mau disampaikan melalui cerita-cerita yang
ditulisnya? Jawabannya sudah pasti akan beragam, dan ini akan lebih mudah jika
dipertanyakan langsung kepada hadapan pembaca.
Kiwari, mengabadikan karya tulis
dalam bentuk buku merupakan keistimewaan. Sekaligus itu cara cepat menamakan
diri sebagai seorang pengarang/penulis. Yang mesti diingat, kemudahan ini
sekaligus liang kubur bagi seseorang yang sudah terlanjur menyebut diri sebagai
penulis. Kemudahannya terdapat dalam betapa banyaknya penerbit-penerbit yang
sukarela mau menerbitkan karya-karya pemula dengan menghadapi risiko pasar yang
lumayan berat.
Namun, liang kuburnya adalah pasca penerbitan
itu sendiri. Ketika karya telah dicetak, itu berarti telah menjadi produk siap saing
dengan ratusan, ribuan, atau jutaan karya serupa yang beredar memenuhi jagad
literasi. Pertanyaannya, apa keistimewaan karya yang sudah go publik? Apa
keunggulannya? Kelebihannya? Kalau hanya mengandalkan kemampuan sekadar bercerita,
lalu apa perbedaannya?
Kiwari semakin banyak bermunculan
pengarang-pengarang yang andal bin kreatif. Bahkan pakem-pakem penceritaan
konvensional dicoba direnovasi dengan temuan gaya penceritaan yang semakin maju
dari sebelumnya. Bukan saja itu, menyangkut tema juga demikian. Ada-ada saja
tema kehidupan yang belakangan banyak diangkat menjadi cerita yang unik.
Kembali kepada pertanyaan awal. Bagaimanakah
maksud dari pengarang yang ikut pula menciptakan kehidupan yang bermartabat dan
bebas dari beban sosial? Alih-laih menemukan terobosan baru terhadap
pakem-pakem sastra, tanggung jawab sosial atas karya sang pengarang seharusnya
menjadi lebih utama ketimbang soal-soal estetis lainnya. Tapi apakah ini
berarti bermaksud menciptakan karangan yang sarat nilai-nilai etis, atau
seperti yang sudah-sudah, yakni sastra gigantis yang penuh dengan ide-ide
besar.
Tentu jawaban pertanyaan ini akan
ikut serta di saat sang pengarang menuliskan karyanya?