PENGALAMAN puasa adalah pengalaman manusia menemukan otentisitas “sang aku”. Ia cara manusia membebaskan diri “dari”
sesuatu dan “untuk” sesuatu. Agama menyebutnya
“sang aku” yang menahan diri
dari godaan hawa nafsu, sekaligus juga
untuk meraih apa yang dibilangkan agama sebagai puncak puasa: takwa.
AWAL abad modern, keutuhan manusia dialamatkan kepada kemampuan berpikirnya. Je pense donc je suis, ungkap Rene Descartes. Aku berpikir karena itu aku ada.
Dengan kata lain, puasa adalah
mekanisme diri untuk kembali ke keaslian
parasnya dengan taqwa sebagai puncaknya.
Mengupayakan keotentikan diri selama berpuasa sepadan dengan bunyi hadis qudsi yang mengatakan barang siapa
mengenal dirinya dia mengenal Tuhannya. “Sang aku” yang ril disebutkan ceruk
yang mampu membawa pemahaman manusia
mengenal siapa Tuhannya. Dari sang diri yang otentik, manusia dapat
membangun kontak dengan Tuhannya. Bahkan diri yang otentik adalah tempat
pancaran Tuhannya.
Barangkali karena itulah ramadan
berarti membakar. Itulah juga arti selama berpuasa segala kecenderungan yang
bersumber dari ego individual dihilangkan dengan cara berpuasa. Ibarat membakar logam untuk menemukan emas murni. Puasa adalah cara diri menempa pembakaran demi menemukan keaslian diri.
Selama ramadan, demi mencari diri
otentik, “sang aku” mesti mengedepankan “kemauan Tuhan”. Mengapa “kemauan
Tuhan”? Karena selama berpuasa, dalam setiap aktifitas, tidak layak memperturutkan kemauan ego disamping mengedepankan “kemauan Tuhan”. Selama berpuasa kita diwajibkan meninggalkan seluruh pekerjaan
yang mengutamakan diri manusia. Semuanya mesti mengutamakan “kemauan Tuhan.” “Sang aku” diwajibkan menahan hawa nafsunya semata-mata agar jiwa
melakukan semua perintah Tuhan.
Dari kacamata sufistik selama
berpuasa “diri individual” dikekang dan ditiadakan demi “diri ilahiah”. Ego
manusia dilenyapkan untuk memancarkan “diri-Nya”. Dengan begitu, diri ilahiah
adalah diri yang “terhubung” langsung secara ruhaniah dengan Tuhan itu sendiri.
Dengan kata lain setiap tindakan manusia adalah cermin tindakan Tuhan. Para
sufi menyebutnya berakhlak dengan akhlak Tuhan.
Itulah sebabnya, jika sebelumnya
bulan Sya’ban adalah bulan milik Rasulullah, maka bulan Ramadan semata-mata
bulannya Allah. Semua tindakan kita diusahakan merupakan representase kemauan
Tuhan. Karena itu sering dikatakan setiap amalan selama Ramadan akan langsung
dibawa ke hadapan Allah tanpa ada penghalang sedikitpun.
Dalam wacana filsafat fenomenologi, ramadan
ibarat waktu destitute time-nya Martin Heidegger, seorang filsuf eksistensialis
Jerman. Destitute time, bisa dibilang merupakan situasi “kekosongan atas
kekosongan”, atau dalam konotasi Heidegger sebagai keterputusan manusia
terhadap “benda-benda” yang mengikat dirinya.
Menurut Heidegger, dalam situasi
ini manusia akan menemukan kedaan natural atas dirinya. Manusia akan menemukan
“dasar” dirinya dalam keberadaannya yang penuh. Di kondisi ini manusia
mengalami dirinya dengan maksud mencari makna terdalam sekaligus menjadi tempat
makna itu sendiri. Menurut kaca mata Heidegger, selama berpuasa manusia
memutuskan “keaukannya” dari ikatan-ikatan artifisial yang memalsukan dirinya.
Itulah sebabnya, di batas akhir
selama sebulan berpuasa, ada hari khusus untuk merayakan pembebasan “sang aku”
setelah keluar dari perjuangannya menaklukkan sang ego. Di hari itu, semua
manusia akan mengucap takbir dan menyebut diri telah kembali kepada makna
asalnya: fitrah.
Di kondisi fitrahlah, manusia
menemukan makna otentiknya. Menjadi manusia seutuhnya.
AWAL abad modern, keutuhan manusia dialamatkan kepada kemampuan berpikirnya. Je pense donc je suis, ungkap Rene Descartes. Aku berpikir karena itu aku ada.
Tapi, di era kiwari keotentikan
diri selalu ditandai dengan konsumerisme. I buy therefore I am. Aku berbelanja
maka aku ada. Diri otentik bukan ditandai dari perjuangannya mengendalikan hawa
nafsu. Malah sang ego dipermak melalui tindakan berbelanja.
Dengan kata lain, otentisitas diri
manusia modern bukan melalui perjalanan panjang membangun jarak dengan
benda-benda, melainkan upayanya untuk menimbun barang-barang melalui praktik
konsumeristik. Melalui semua itu, manusia modern merasa yakin telah memperbarui
dirinya dengan barang-barang baru yang dibelinya.
Bahkan, keotentikan manusia kiwari
banyak mengalamatkan dirinya kepada citra-citra imajinatif. Melalui dunia
informasi identitas manusia menjadi jauh lebih problematis akibat bingkai dunia
maya yang banyak menyuguhkan fantasi dan glorifikasi.
Arus informasi yang deras tak
terkendali, menurut Heidegger hanya menciptakan apa yang ia katakan sebagai
idle talk (obrolan kosong), yakni kondisi komunikasi dalam perbincangan yang
tidak membicarakan apa-apa. Tidak ada makna sekali pun di dalamnya. Kata Peter
Sloterdjik dalam Heidegger and the Media, “media membicarakan semua hal, namun
tidak menjelaskan apa-apa mengenai apa pun” (remotivi.or.id)
Di dalam idle talk, “sang aku”
kehilangan dasar kontekstualnya akibat aliran deras informasi. Pemahaman “sang
aku” terhadap dirinya yang otentik mengalami kegoyahan lantaran hilangnya ruang
permenungan. Tak ada sama sekali waktu yang kosong dari hiruk pikuk interaksi.
Dari pengalaman itu, puasa yang
bermakna transformasi ego “diri individual” menuju “diri ilahiah” tidak sama sekali membekas sebagai praktik
moral masyarakat modern. Selama berpuasa akibat “sang aku” yang masih terikat
kepada dunia yang serba artifisial ia pada akhirnya hanya menjadi sebatas makna
ritual ketimbang transformasional.
Lalu, apa sesungguhnya makna fitrah
di hari fitri kelak? Sementara “sang aku” masih ditawan sang ego. Di medan
budaya, ego menjelma menjadi pribadi yang gamang dengan identitas dirinya, di
medan ekonomi, “sang aku” menyeruak membeli dan menimbun barang-barang, di
medan politik “sang ego” membangun sekat sentimentalisme sempit demi kekuasaan,
dan di medan hidup sehari-hari praktik kehidupan sosial lebih mudah menyimpan
benci daripada menebar rahmat.
*Telah terbit di Kalaliterasi.com