IDOLA. Eike agak kesulitan mencari
cara tepat menuliskan perbedaan idola dan kebenaran. Mengingat belakangan,
idola dan kebenaran dianggap identik. Bahkan dalam politik, idola dilihat
sebagai representasi kebenaran itu sendiri.
Padahal idola kadang mengecoh. Ia bahkan tidak pernah bermakna apa-apa
selain empity: kekosongan.
Dalam ilmu sosial (sosiologi), ada teori dramaturgi yang diperkenalkan
Erving Goffman. Teorinya membilangkan setiap manusia menarasikan dirinya
berdasarkan peran yang ingin ia bangun di atas panggung. Dunia sosial adalah
panggung dunia peran. Begitu pendakuan Goffman.
Sayangnya, manusia memiliki sisi yang sering ia sembunyikan di belakang
panggung. Di atas panggung barangkali ia memainkan peran protagonis, tapi
sebaliknya berbeda ketika di belakang panggung. Ia menjadi mahluk yang sama
sekali berbeda dari perannya di atas panggung.
Idola adalah peran yang disesuaikan di atas panggung. Ia disusun, dibentuk
dan direkayasa. Di hadapan sorot mata orang-orang, idola adalah persona yang
mengidealkan ekspektasi orang banyak. Ia kasatnya sedang bermain peran sesuai
harapan orang-orang yang melihatnya.
Ketika dibelah, dunia interaksi manusia ditopang melalui dua panggung
peran. Pertama, Erving Goffman menyebutnya front stage; ia adalah sisi depan
panggung. Ruang pertunjukkan yang disaksikan banyak orang. Di front stage
inilah, setiap idola bermain peran. Ibarat teater; sang idola mempermainkan
karakter ciptaan sebagai image. Kedua adalah back stage: ini adalah sisi panggung
yang tersembunyi dari pantauan orang-orang. Di sisi inilah, peran berhenti
dimainkan. Sang idola kembali kepada karakter dasarnya.
Akibat panggung depan dan panggung belakang sama sekali berbeda, maka ia
sesungguhnya merepresentasikan dua sosok yang juga berbeda. Ia menampilkan dan
menyembunyikan dua sosok sekaligus di atas panggung. Di atas panggung sang
sosok menampilkan “aku ideal” sekaligus menyembunyikan “aku real” bersama-sama.
Sementara di belakang panggung “aku real” menunda “aku ideal” yang banyak
berperan di atas panggung.
Dua panggung ini dengan kata lain adalah medan kontradiktif yang menunda
sekaligus mengacaukan peran sesungguhnya “aku ideal” dan “aku real”. Saling
bertukarnya dua peran ini pada akhirnya mengacaukan juga siapa yang sebenarnya
menjadi image sesungguhnya.
Itulah sebabnya kamus Meriram-Webster’s menguraikan sembilan makna idola
sebagai representative or symbol of an object of worship (perwujudan atau
simbol dari sebuah objek peribadatan). False god (tuhan palsu), a likeness of
something (sesuatu yang menyerupai), retender (orang yang suka berpura-pura),
impostor (penipu yang lihai), a form or appereance visible but without
substance (bentuk atau penampilan yang terlihat namun tak bermateri), an
enchanted phantom (momok, hantu, setan yang memesonakan), an object of extreme
devotion (obyek yang sangat digemari), ideal (idaman), a false conception
(konsep yang salah), fallacy (pikiran yang keliru).
Asal usul kata idola berasal dari bahasa Yunani eidolon yang berarti
“image” atau “form”. Dalam filsafat Yunani, filsuf yang memandang rendah
“image” adalah Platon. Dia menganggap, filsafat harus menangkap “isi” bukan
“image”. Kebenaran hakiki dalam hal ini menurut Platon bukanlah “citra” atau
“penampakan” benda-benda melainkan “substansi” benda itu sendiri.
Itulah sebabnya, di masa Platon hidup, dirinya memandang sinis pekerjaan
seorang seniman. Seorang seniman, menurut Platon hanyalah orang-orang yang
mempertunjukkan “image”, “citra” dan “bentu-bentuk” di atas panggung. Teater
mereka hanyalah “menduplikasi” substansi dari segala sesuatu.
Alkisah, di masa hidup Nabi Musa, pengikutnya pernah “dikritik” Al Quran
akibat menciptakan tuhan palsu berupa lembu emas. Kala itu, ketika Musa pergi
selama 30 hari, seseorang bernama Samiri menciptakan patung lembu untuk
mengembalikan keyakinan umat Musa kepada keyakinan sebelumnya. Singkat cerita
tidak sedikit yang teperdaya ajakan Samiri untuk menyembah patung buatannya.
Konsep idola jika ditelusuri asal usulnya, ditemukan dari kisah umat Nabi
Musa di atas. Di kisah itu, Tuhan direplika Samiri melalui patung lembu emas.
Bahkan tidak sekedar direplika, lembu emas justru menjadi Tuhan itu sendiri.
Momen ini juga diabadikan Al Quran untuk menarasikan suatu pengertian yang
kelak disebut idolatry.
Idolatry dalam kisah Nabi Musa adalah pembendaan tuhan melalui pencitraan
lembu emas. Tuhan diidentikan menjadi lembu emas. Pemujaan terhadapnya disebut
pemberhalaan. Era kiwari, idolatry tidak sekedar memuja benda-benda, melainkan
sosok minus pokok. Sosok tanpa pokok itulah yang disebut idola.
Dengan kata lain, ia adalah empity: kekosongan.
Tapi, sayangnya sudah dibilang sebelumnya, dunia sosial adalah dunia
peran. Idola yang hari ini tampak di panggung-panggung hanyalah
“bentuk-bentuk”, “citra-citra” semata. Dia bukanlah wakil absah dari suatu
keyakinan. Ia, sekali lagi hanyalah kekosongan.
Lalu bagaimanakah keyakinan dapat dibuktikan keabsahannya sebagai suatu
prinsip kebenaran? Dalam kitab Raudhah Al-Wa’idhin Imam Ali bin Abi Thalib
menyeru: “Kebenaran tak dikenal dari orangnya (pelakunya). Kenalilah kebenaran
maka kau akan mengenal pelakunya.”