Lima Prinsip. Setidaknya menurut
eike ada lima prinsip pokok yang mesti dijadikan ukuran untuk mendudukkan agama
sebagai agama. Lima prinsip ini juga pertama-tama merupakan suatu cara yang
bagi eike dapat dijadikan jalan keluar untuk memahami ide-ide substantif dari
agama yang belakangan ini banyak termodifikasi melalui kosakata-kosakata
kepentingan primordial dan sektarian. Kedua, walaupun bersifat sederhana, lima
prinsip yang eike susun ini, terutama dalam Islam, adalah suatu kerangka
epistemologis untuk menjawab fenomena faktual masyarakat kiwari yang terjebak
ke dalam cara pandang agama secara esensialis.
Lima prinsip itu yang pertama adalah: prinsip logos.
Prinsip logos adalah azas pertama yang bermaksud untuk mendudukkan
statment-statment agama di atas aturan bahasa yang rasional. Artinya, setiap
bahasa agama ketika diucapkan ke dalam konsep-konsep pikiran mesti mencerminkan
kemasuk-akal-an. Artinya pertanggungjawaban epistemologis dari
proposisi-proposisi agama jika dikembalikan kepada prinsip kebenaran maka ia
tidak melanggar dan mengingkari kebenaran dari dirinya sendiri. Dengan kata
lain, di dalam statmentnya itu sendiri tidak mengandung kesalahan berpikir.
Prinsip logos jika direalisasikan akan mengandaikan tiga hal. Pertama
adalah keterbukaan, yakni suatu kualifikasi yang menerima masukan dari mana pun
untuk memperkaya dirinya. Dengan kata lain, pengandaian ini menghendaki
penerimaan terhadap segala informasi baru selama saling menguatkan
masing-masing pendiriannya.
Keterbukaan karenanya adalah modal pertama dari prinsip logos untuk
menempatkan kebenaran misalnya, dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan
yang terjadi di sekitarnya.
Pengandaian yang kedua adalah dialogis. Syarat ini adalah konsekuensi dari
keterbukaan sebagai cara untuk melakukan tukar tambah pengetahuan. Dialogis
merupakan prasyarat kedua agar kebenaran dapat berfungsi secara komunikatif.
Dengan kata lain tidak ada pernyataan-pernyataan kebenaran yang tidak dapat
dikomunikasikan. Itu artinya, dialog adalah kemampuan dari logos untuk
mempercakapkan dirinya dengan cara-cara terbuka sebagai bagian dari demonstrasi
kebenarannya. Tentu prinsip ini mesti dilakukan di tengah-tengah kepelbagaian
yang mengitarinya.
Pengandaian logos yang ketiga adalah emansipatoris. Kualifikasi ini adalah
kaki-kaki prinsip logos untuk mau mengemansipasi pihak lain di luar dirinya.
Artinya bahwa kemampuan emansipasi adalah kata lain dari suatu upaya untuk
memberdayakan pihak lain dengan cara terbuka dan dialogis sebagai hal penting
yang saling terkait.
Terbuka, dialogis dan emansipatoris dengan begitu adalah tiga prasyarat
dari rasional tidaknya suatu pengetahuan agama.
Prinsip yang kedua adalah prinsip kemanusiaan. Dalam Islam, prinsip ini
kerap disepadankan dengan kosa kata "al ukhuwah al insaniyah"
(persaudaraan antarmanusia). Pokok ini mengartikan setiap umat manusia
dipersatukan di dalam satu ikatan yang bersifat universal. Ikatan ini adalah
jenis ikatan yang melampaui kedekatan suku, agama, budaya, atau bahkan
pertalian sedarah.
Persaudaraan antarmanusia juga merupakan pertalian yang menghubungkan
sekaligus meminimalisir perbedaan-perbedaan yang bersifat permukaan ke dalam
suatu pemahaman tentang kemanusiaan sejati.
Dengan kata lain, prinsip kemanusiaan adalah azas yang melampaui dan
sekaligus mesti diletakkan di atas konsep-konsep universal semisal konsep
kebangsaan dan kesukuan yang sering kali memicu sobeknya apa yang disebut
"tissue social."
Dalam Islam, banyak ditemukan ayat-ayat yang menggunakan kalimat seruan
"wahai manusia" dan bukan lainnya. Dari ungkapan ini Islam
sesungguhnya sangat menghargai manusia sebagai ciptaan Allah paling paripurna.
Itulah sebabnya ungkapan ini bukan sekadar ungkapan retoris yang tanpa
bermaksud apa-apa, melainkan suatu model komunikasi Ilahi yang berarti bahwa
Islam senantiasa menempatkan seluruh nilainya agar selaras dengan nilai dasar
kemanusiaan.
Prinsip yang ketiga adalah penghargaan terhadap ajaran agama lain. Prinsip
eike kira adalah prinsip yang menjadi kebutuhan mendesak bagi masyarakat hari
ini mengingat semakin defisitnya konsep keberagamaan yang melandasi interaksi
masyarakat Indonesia. Belakangan, bagi kelompok-kelompok agama tertentu, akibat
tidak hadirnya penghargaan sesama pemeluk agama lain banyak mengakibatkan
retaknya kohesi sosial masyarakat.
Berbicara dari segi kedudukannya, tiadanya prinsip ini seringkali menjadi
dasar mengapa agama-agama lain di luar dari keimanannya dilihat sebagai agama
yang tidak layak disejajarkan dengan agamanya sendiri. Hal ini berdampak serius
dengan ditandai berupa menguatnya kecurigaan antar sesama pemeluk keyakinan
berbeda. Bukan saja itu, lenyapnya prinsip ini membuat konsep-konsep kebenaran
dalam agama menjadi gagasan-gagasan yang bernilai sempit dan sulit didialogkan.
Kosakata agama mayoritas-agama minoritas, akhir-akhir ini menjadi bahasa
publik yang sepertinya berdiri di atas kekosongan prinsip penghargaan terhadap
pemeluk agama lain. Ruang publik masyarakat akibatnya mau tidak mau terseret
kepada logika pemahaman agama yang menegasikan pihak lain dengan cara
mengasingkan pemeluk agama berbeda ke ruang jauh keterasingan. Bahkan bukan
saja pengasingan, seringkali tindakan ini berujung kepada perilaku
diskriminatif dan mengancam.
Pentingnya prinsip ini sebenarnya bukan saja karena kebutuhan mendesak
masyarakat sekarang, melainkan memang dari segi kenyataannya, bangsa ini
sejatinya ditopang dari kepelbagaian perbedaan yang sebenarnya adalah rahmat
bagi negeri ini. Secara kebudayaan misalnya, negeri Indonesia sejatinya adalah
negeri yang lahir dari ibu kandung multikulturalisme. Kenyataan ini sulit
dibantah dan oleh sebab itu cara merespon fenomena ini yang menjadi kekayaan
yang berlimpah tiada lain dengan mengafirmasi prinsip penghargaan sesama
pemeluk agama berbeda.
Cinta dan spiritualitas adalah prinsip keempat yang eike rasa adalah salah
satu solusi untuk membenahi kehidupan umat beragama bangsa Indonesia. Cinta
dapat menjadi medium yang menghadirkan rasa kasih sayang terhadap sesama di
antara jaringan interaksi masyarakat. Tanpa cinta, interaksi masyarakat besar
kemungkinannya akan terjebak kepada perasaan sentimentil yang memicu kebencian.
Sementara spiritualitas adalah kualitas ruh agama yang mesti selalu hadir bukan
saja di dalam praktik-praktik peribadatan syariat, tapi juga di dalam setiah
hubungan kemanusiaan kita. Arti penting cinta dan spiritualitas, dengan kata
lain merupakan esensi agama yang mesti dihidupkan lebih jauh agar tidak sekadar
menjadi doktrin beribadah semata melainkan juga mengcover seluruh praktik
kehidupan masyarakat.
Terakhir prinsip yang kelima adalah mencintai al Qur'an. Prinsip ini dapat
diterangkan bahwasannya al Quran mesti menjadi pustaka utama bagi setiap
kebutuhan manusia. Mencintai al Quran dalam arti ini bukan seolah-olah
mendudukkan teks-teksnya menjadi kata-kata benda, melainkan dia mesti menjadi
teks-teks aktif yang membunyikan dan menerangi setiap pencapaian pengetahuan
manusia. Al Quran dari sisi ini, berarti adalah kitab yang sangat peduli dengan
ilmu pengetahuan dan inovasi-inovasi yang ditemukan di zaman ini sehingga
benarlah seperti yang diartikan selama ini bahwa al Quran senantiasa selaras
dengan perkembangan umat manusia dari masa ke masa.
Prinsip ini juga dapat diartikan sebagai peneguhan kepada figur Rasulullah
sebagai manusia yang paling paripurna. Secara epistemologi, wahyu al Quran
merupakan pencapaian ilmu pengetahuan Rasulullah yang bersumber langsung dari
sumber ilmu pengetahuan itu sendiri yakni Allah semata-mata. Dengan kata lain,
secara pemaknaan diri Rasulullah adalah sosok nyata dari hakikat al Quran yang
dibuktikan dari ucapan istrinya bahwa akhlak Rasulullah adalah al Quran itu
sendiri. Prinsip mencintai al Quran dengan begitu sama artinya dengan mencintai
Rasulullah sebagai sosok khusus yang menjadi medium dan pembawa wahyu ilahi.
Di dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, prinsip mencintai al Quran
setidak-tidaknya bertujuan untuk menghidupkan ruh Islam di tengah-tengah
gempuran nilai-nilai nonilahiat yang mengkerdilkan nilai kemanusiaan.
Syahdan, lima prinsip ini menurut eike bisa menjadi indikasi untuk
meraba-raba sejauh apa agama itu sendiri, terutama Islam telah berperan selama
ini dengan mengedepan inti ajarannya. Walaupun demikian, lima prinsip ini
bukanlah indikator satu-satunya di dalam melihat Islam sebagai nilai universal.
Seperti yang eike bilang semenjak awal, lima prinsip ini hanyalah ukuran
sederhana yang eike susun sendiri untuk menakar, katakanlah Islam substantif
yang berbeda dari Islam aksidental, satu paras Islam yang belakangan menggenapi
cara masyarakat Indonesia beragama.