Bagaimana Buku-Buku dihidupkan Kembali


Carlos María Domínguez. 
Penulis dan jurnalis Argentina. 
Ia dikenal salah satunya dari noveletnya “Rumah Kertas”.

KADANG saya terkesima melihat pose foto orang-orang yang sedang membaca buku. Melihat itu, sepertinya khotbah-khotbah agama masa kini tidak lagi dibutuhkan. 

Nampaknya dengan cara foto seperti itu, semua orang diam-diam sedang bergabung dalam persekutuan suci untuk membuat dunia jauh lebih baik.

Dengan foto-foto itu, saya seperti diberikan harapan generasi masa mendatang tidak akan cepat punah hanya dengan kebodohan yang berpangkal dari debat soal jumlah massa dalam suatu pagelaran politik baris-berbaris berkedok agama.

Bukankah itu suatu kemajuan mengingat kita jarang menemukan penulis-penulis yang kita baca tulisannya, kecurian dijepret kamera sedang membaca buku. Mana ada penulis buku mau diambil atau mengambil gambarnya sedang membaca buku! Paling-paling yang kita temukan pose mereka yang sedang merokok, atau menyesap secangkir kopi, atau yang paling sering terjadi adalah pose ketika mereka sedang berbicara di suatu seminar.

Pose orang-orang yang sedang membaca seperti itu mungkin menandai suatu kegairahan tertentu kepada ilmu pengetahuan, dengan alih-alih segera mengambil gambar. Atau bahkan, itu merupakan kegilaan terhadap buku-buku.

Jika layak disebut gila, orang-orang seperti itu nyaris menjadi seperti Carlos Brauer atau seorang Delgado, tokoh karangan Carlos María Domínguez dalam Rumah Kertas yang memiliki puluhan ribu buku hingga memenuhi rumahnya.

Bayangkan Carlos Brauer saja memiliki buku hingga berserakan di kamar mandi. Tergeletak rapi bercampur dengan sabun, sikat gigi, shampo, sikat kloset dst, dst, dst. Bahkan, hingga ke loteng-loteng, yang di mulai dari dapur, juga almari.

Ibarat perpustakaan yang dikatakan Jorge Luis Borges, surga yang diidam-idamkannya berhasil diciptakan Carlos Bruer di dalam rumahnya menyerupai istana yang bergelimangan permata.

Sehingga dengan keadaan rumah seperti itu, kepala seseorang otomatis tersugesti dengan keberadaan buku-buku sebanyak itu. Ahli psikologi dan sosial punya dalil untuk ini: isi kesadaran seseorang sangat bergantung dari lingkungannya. Ingat, manusia juga species hewan yang mampu beradaptasi sesuai dengan lingkungannya. Buku-buku sebanyak itu bisa memaksa seseorang seketika menjadi pembaca buku. Sehingga berpose foto sambil membaca buku merupakan kegiatan yang agak sulit terhindarkan.

Kadang kegilaan macam itu dibawa juga sampai ke toko-toko buku yang tersedia di pusat-pusat perbelanjaan.  

Walaupun demikian, mereka di satu sisi tidak segila Brauer yang demi mengisi garasinya dengan buku, rela memberikan mobilnya kepada temannya agar memiliki ruang baru untuk menempatkan buku-bukunya. Ini mustahil terjadi mengingat kebanyakan dari mereka belum memiliki garasi.

Tapi itu jauh lebih baik sekali pun itu ironi jika dibandingkan dengan rumah-rumah kumuh yang dindingnya ditempeli koran. Hidup akan menjadi mengerikan dengan dikelilingi dinding koran yang berisi berita politik, kriminal, atau teka-teki silang dengan gambar-gambar porno. Setiap hari terbangun dengan terkepung dinding beralaskan koran  dengan berita yang tak pernah berubah sedikit pun. Sungguh menjemukkan.

Tapi apa boleh buat, kegilaan muncul di mana-mana seperti foto seorang anak-pemulung “kedapatan” sedang membaca buku dalam sebuah lapakan. Ini lebih berharga dibanding berita hoax beberapa waktu lalu tentang seoang pria Jepang yang mati akibat terlindas 6 ton koleksi buku-buku pornonya.

Penelitian lawas di Rhode Island Hospital, Amerika Serikat, berhasil melihat perbedaan mendasar dari dua kelompok balita berusia delapan bulan yang dibiasakan dibacakan buku cerita oleh orang tuanya. Kelompok pertama jauh signifikan peningkatan kosa kata dan pemahamannya dibanding kelompok kedua yang tidak diberikan tindakan yang sama. Cara seperti ini kira-kira di masa depan mampu mencegah anak-anak tumbuh dari gejala berbicara yang belepotan seperti pengalaman salah satu wakil gubernur di tanah air.

Sekarang coba bayangkan jika semua anak-anak dibiasakan dengan cara demikian, kemungkinan besar di masa mendatang tidak akan muncul kelompok-kelompok masyarakat yang mudah digerakkan dan berduyun-duyun datang dari pelbagai tempat dan mau dipimpin oleh orang-orang yang mirip seperti penjual obat.

Di satu sisi tentu ini hanya mungkin jika para orang tua sebelumnya memiliki kebiasaan membaca yang baik pula.  Sehingga mustahil untuk hari-hari esok kita tidak gampang lagi menemukan anak-anak atau bahkan seorang remaja yang berjempol gempal dengan volume otak tidak lebih besar dari kacang polong.

Lalu, bagaimana buku-buku dapat terus hidup? Saya kira jawaban pertanyaan ini tergantung dari pertanyaan semacam ini: bagaimana agar Anda dapat terus hidup?

“Os livros mudam o destino das pessoas.” Buku mengubah takdir hidup orang-orang.

---

*Kutipan diambil dari buku Rumah Kertas