Di masa sekarang, emosi begitu
gampang diekspresikan melalui pelbagai cara. Salah satu misal paling mutakhir,
emosi di era digital sudah lazim diekspresikan melalui beragam emoticon. Dalam
interaksi dua arah melalui gawai, dua orang bisa menyampaikan emosinya hanya
dengan memilih beragam emoticon yang mewakili dirinya.
Emosi, dengan begitu bukan saja
sekadar fenomena kejiwaan. Emosi, juga adalah ekspresi kebudayaan.
Paul Ekman, seorang scholar ilmu
jiwa cum antropolog setelah
menyelidiki emosi di beberapa negara, menyimpulkan secara global manusia
sejatinya memiliki enam paras emosi dasar: kemarahan, kejengkelan, ketakutan,
kebahagiaan, kesedihan, dan keterkejutan. Tidak semata-mata manusia adalah animal rationale, manusia juga disebut homini affectio: mahluk emosional.
Itulah sebabnya, Paul Ekman juga
menyatakan keenam emosi dasar ini, merupakan formasi emosi yang sudah tertanam
secara biologis dalam gen manusia.
Jika enam emosi ini disepadankan
dalam dua bahasa jiwa universal, cinta dan benci adalah dua parasnya.
Cinta dan kebencian, adalah dua jiwa universal yang dikantungi setiap manusia. Tiada
manusia tanpa cinta dan benci, begitu kira-kira kesimpulannya.
Dalam mitologi Yunani kuno, cinta
dan benci dinarasikan secara paradoks melalui kisah Apollo dan Eros. Akibat
kesombongan Apollo, Eros membuat Dafne, orang yang dicintai Apollo membencinya
melalui panah kebencian Eros sang dewa cinta dan benci. Tapi, sebaliknya,
Apollo mencintai Dafne setelah ditembakkan panah cinta Eros. Jadilah mereka
berkejaran akibat dorongan cinta dan kebencian. Demi cintanya, Apollo
menghabiskan hidupnya mengejar Dafne, tapi sebaliknya akibat kebenciannya, di
waktu bersamaan Dafne selalu menampik cinta Apollo.
Dalam literasi yang lain, cinta dan
kebencian merupakan dua paras bersilangan dalam gejala kejiwaan yang didakukan
Sigmund Freud sebagai oedipus complex
dan elektra complex. Oedipus complex
adalah fenomena kejiwaan dari seorang laki-laki yang mencintai ibunya akibat
dorongan kebencian terhadap bapaknya. Sebaliknya, elektra complex, merujuk
kepada kecintaan sang perempuan yang menyukai ayahnya lantaran membenci ibunya.
Melalui literasi oedipus complex
dan elektra complex, cinta dan kebencian diandaikan sebagai paras jiwa yang
mengafirmasi cinta akibat kebencian terhadap seseorang. Sang manusia mencintai
dengan cara membenci seseorang, begitu inti pendakuan Sigmund Freud.
Walaupun begitu, Erich Fromm menyatakan cara mencintai melalui membenci seseorang adalah cinta yang naif,
bahkan egois. Menurut Fromm cinta seharusnya perasaan mendalam yang membuat
seseorang menjadi peduli (care),
bertanggung jawab (responbility),
hormat (respect), dan pengetahuan (knowledge).
Dalam kehidupan mutakhir, fenomena
oedipus complex ataupun elektra complex adalah narasi yang gampang ditemukan
melalui jalin kelindan interaksi sehari-hari di semua level masyarakat.
Kecintaan dan kebencian bukan lagi tindakan sederhana yang bisa ditemukan hanya
dalam hubungan dua orang belaka. Sekarang, kebencian dan kecintaan, juga sudah
menjadi ekspresi fenomena sosial-politik masyarakat seperti yang ditampakkan
dari kelompok, ormas, golongan yang mengatasnamakan identitas
religius-budaya-politik tertentu.
Sekarang, cara masyarakat mencintai
tidak bisa dipahami karena rasa cinta itu sendiri. Melainkan secara bersamaan,
rasa cinta yang ada hanya implikasi dari kebencian terhadap sesuatu yang mereka
tidak sukai.
Syahdan, cinta dan benci, di abad
21, tidak sekadar relasi kasih sayang seperti dalam kisah pengorbanan Romeo dan
Juliet, atau kisah cinta suci antara Layla dan Majnun. Cinta dan benci di masa
sekarang, ibarat kekuatan alam yang memperbaiki dan merusak sekaligus. Kekuatan
sosial yang dikerahkan dengan maksud membangun integrasi dan atau sebaliknya,
perpecahan.
***
Melalui kajian sosiologi, emosi
adalah variabel kejiwaan yang bersinggungan secara sosiologis sebagai bagian
dari konstruksi sosial.
Emosi secara sosial memiliki
keterkaitan dengan fungsinya sebagai pembangkit ungkapan kolektif melalui
pikiran dan tindakan yang menjadi basis hubungan sosial dalam masyarakat.
Secara kolektif, emosi juga menjadi dasar utama yang mendorong terjadinya
kesadaran baru untuk melahirkan perubahan di masyarakat.
Emosi yang dilambangkan melalui
cinta dan kebencian dengan begitu alih-alih mengalami pasivitas, ia malah dapat
direkayasa dan merangsang timbulnya kesadaran kolektif dengan maksud
mempertahankan keberlangsungan integritas suatu masyarakat.
Sebaliknya, emosi melalui kesadaran
yang sama, juga bisa menjadi kekuatan destruktif menghancurkan tatanan
masyarakat.
Melalui momen-momen politis, emosi
adalah salah satu elemen yang dianggap penting dalam konteks penggalangan massa.
Di era kemerdekaan Indonesia, misalnya, emosi adalah salah satu elemen yang
memberikan latar belakang psikologis bagi persatuan yang dibutuhkan rakyat
Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya. Tidak bisa dimungkiri, pidato-pidato
Bung Karno di masa pra dan pasca kemerdekaan yang cenderung “meledak-ledak” dan
bergaya langsung, adalah salah satu strategi retorika Bung Karno “memanfaatkan”
emosi rakyat Indonesia agar dapat bersatu menggalang kekuatan melawan
penjajahan Belanda.
Emosi dalam konteks di atas dengan
begitu merupakan elemen penting bagi rakyat Indonesia untuk menyatukan pelbagai
latar belakang sosial dan kebudayaan dengan menyatakan rasa senasib dan sepenanggungan di bawah jajahan pemerintahan
kolonial Belanda.
Melalui pendasaran politik, emosi
yang dihimpun melalui pidato-pidato, tulisan-tulisan, simbol-simbol, dan
pernyataan-pernyataan yang dilakukan kalangan terdidik saat itu, akhirnya tidak
hanya sekadar berhasil mengikat rasa amarah dan dendam belaka menjadi satuan
simpul perlawanan, melainkan juga ditransformasikan
menjadi kekuatan kolektif kebangsaaan berupa kesadaran bersama untuk mau
bangkit memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Artinya dalam momen-momen politis,
emosi adalah salah satu elemen psikologis masyarakat yang bisa dikontruksi
secara sosial melalui rekayasa yang dialihwahanakan menjadi kekuatan politik
berbasis intelektual. Walaupun demikian, emosi bukan berarti elemen psikis yang
serta-merta berdampak positif, melainkan ketika ia didorong oleh kekuatan
intelektual di belakangnya.
Melalui konteks lain, emosi juga
berfungsi negatif sejauh jika ia dibiarkan telanjang tanpa kerangka rasional
yang mendasarinya.
Semenjak negeri ini mengenal aksi yang berjilid-jilid, emosi ibarat percik api yang gampang dipantik untuk membakar ranting yang kering.
Semenjak negeri ini mengenal aksi yang berjilid-jilid, emosi ibarat percik api yang gampang dipantik untuk membakar ranting yang kering.
Bergolaknya tatanan sosial
berkaitan dengan politik identitas, banyak mengerahkan emosi menjadi faktor
utama penggalangan kekuatan massa. Tidak bisa ditolak, melalui massifnya
penyebaran informasi berbasis sentimen kesukuan dan agama di dunia maya, emosi
netizen gampang dihimpun dan dimanfaatkan demi kepentingan pihak tertentu.
Memang, dari yang dapat disaksikan
selama ini, dari kekuatan emosi yang mengikat ribuan massa dari aksi yang
dimaksud, mampu memobilasi dan mengarahkan banyaknya masa kepada tujuan politik
tertentu. Hanya saja, dibandingkan dengan contoh sebelumnya, emosi dalam model
ini hanya sebatas kekuatan psikis yang tidak bisa ditransformasikan menjadi
kekuatan yang berbasis intelektual. Dengan kata lain, posisi emosi dalam
konteks ini hanyalah emosi belaka tanpa ada basis intelektual yang mendorong
dan mampu mengubahnya menjadi kesadaran kolektif.
Belakangan, isu tentang kebangkitan
PKI bisa menjadi contoh terang mengenai peristiwa yang mendorong lahirnya emosi
kolektif yang direkayasa sebagai fenomena bersama. Apalagi, isu komunisme dan
PKI sudah menjadi tugu ingatan dalam memori masyarakat selama bertahun-tahun.
Hanya melalui sedikit percikan peristiwa, emosi kolektif yang selama ini
dibiarkan mengendap dalam memori panjang masyarakat dapat muncul kembali sesuai
kepentingan apa yang mendorongnya.
Dari contoh-contoh kasus di atas,
emosi ibarat produk kebudayaan yang dapat dibentuk dan dinyatakan berdasarkan
situasi apa yang melarbelakanginya. Dia sebagai produk psikis, sangat bergatung
dari sistem sosial apa, kebudayaan apa, tingkat ekonomi, sistem pendidikan, dan
sistem religi apa sebagai kerangka yang mendasarinya.
Akibat sebagai hasil rekayasa, emosi
yang dilambangkan menjadi cinta dan kebencian bisa menjadi pedang bermata dua.
Tergantung kekuasaan, cinta dan benci bisa menjadi sebilah sayatan yang melukai
batin dan membelah tubuh kolektif masyarakat, atau sebaliknya, menjadi
pelindung bagi keutuhan masyarakat.