Keberanian Sipil
Sepertinya tidak
cukup hanya keberanian teologis, atau keberanian filosofis yang dibutuhkan saat
ini. Melainkan suatu keberanian yang disebut keberanian sipil. Je boleh saja
memiliki keberanian teologis menyatakan iman religius dalam masyarakat
pasca-kebenaran, atau memiliki kebebasan menyatakan keberanian berpikir melalui
pernyataan-pernyataan cerkas di media sosial, tapi sejauh je belum melihat
keberanian secara sipil, itu berarti tidak cukup untuk mengawal agenda-agenda
penting dalam konteks masyarakat demokrasi modern. Belakangan banyak keberanian
literasi yang meng-cover dua keberanian di atas, namun belum banyak yang mau
mengawalnya dalam kerangka sipil. Keberanian sipil eike kira mesti dipahami
dalam konteks politik secara legal formal. Itu artinya bukan saja secara
teologi dan pengetahuan kebebasan itu dijamin hak dan kewajibannya, namun juga
secara politik dan legal formal setiap kebebasan yang dimiliki individu dijamin
dan dilindungi kedaulatannya. Keberanian sipil menurut eike berbeda dari
keberanian teologis yang melibatkan sistem teologi-metafisika tertentu di
belakangnya, melainkan keberanian sebagai warga negara yang mendasarkan dirinya
terhadap aturan main kenegaraan. Secara praksis, keberanian teologis dan
keberanian sipil tidak terlalu memiliki perbedaan, namun dari sisi epistem dan
pendasaran politiknya sangatlah berbeda. Keberanian sipil adalah jenis
keberanian yang spesifik didasarkan kepada etika kewarganegaraan dan
kepublikan. Itu artinya, keberanian ini hanya dapat eksis jika seseorang mampu
menuntut hak-haknya sebagai warga sipil di hadapan negara karena memiliki
kedaulatan secara politik dan legal etis. Keberanian sipil dengan begitu setara
dengan tindakan itu sendiri. Tiada kebebasan selain dari pada tindakan. Ini
adalah karakter dasar dari konsep yang membedakannya dengan kebebasan
teologi-filosofis yang diandaikan bersifat metafisis-abstrak. Kebebasan hanya
bisa merekah melalui tindakan. Itulah prinsip dari keberanian sipil. Bahkan,
keberanian sipil adalah tindakan itu sendiri. Menurut eike, dalam konteks
melemahnya masyarakat sipil akibat dua kekuatan konservatif: fundamentalisme
agama dan militerisme, keberanian sipil sangatlah diperlukan di dalam
menyuarakan aspirasi dan kerangka nilai yang dianut oleh kelompok masyarakat. Itu
artinya, keberanian sipil adalah prasyarat dari masyarakat sipil. Dengan kata
lain, keberanian sipil-lah yang menjadi dasar moral dari masyarakat sipil itu
sendiri. Karena itulah penting kiranya masyarakat memiliki keberanian sipil
dalam rangka mengkritik tindak tanduk person, golongan, kelompok, atau bahkan
negara jika ada yang melenceng dari etika publik dan kewarganegaraan. Hanya
melalui tindakan yang diacu ke dalam kedaulatannya kritik itu dibangun. Itu
artinya, secara politik legal formal, tindakan itu sendiri dijamin
kedaulatannya melalui wahana politik kewarganegaraan. Malangnya, di sisi lain,
eike kira contoh poligami oleh ustad Arifin Ilham bisa dijadikan contoh
bagaimana melemahnya keberanian sipil dalam mengkritik polah ulama yang
menyalahi etika publik. Akan sangat tidak elok jika urusan privat dinyatakan ke
dalam urusan publik, atau sebaliknya. Dalam urusan kenegaraan, pencampuran
antara "yang privat" dan "yang publik" adalah biang keladi
dari munculnya penyakit korup yang merongrong sendi-sendi kehidupan publik. Dalam
kasus ini keberanian publik untuk mengambil sikap kritis terhadap polah
seseorang atau kelompok yang mencampuri urusan publik dengan urusan privatnya
sangat diperlukan demi menjaga agar "yang publik" dapat terhindar
dari urusan privat. Keberanian sipil juga diperlukan dalam konteks ketika
mengerasnya polah pemimpin yang korup dan secara bersamaan mendapatkan
legitimasi secara kultural dari nilai-nilai agama tertentu. Tidak bisa
dipungkiri kasus Habib Rizieq misalnya adalah tidak adanya keberanian sipil
untuk melihat kasus ini dalam kerangka konstitusi negara akibat masih kuatnya
paham agama yang menetralisir "kesalahan" secara kepublikan akibat nilai
agama itu sendiri. Itulah sebabnya, barang siapa melibatkan agama, maka dia
akan kebal secara publik, walaupun secara legal formal seseorang dinyatakan
bersalah. Hal ini setidaknya akibat masyarakat yang belum mampu menelaah
soal-soal kepublikan dari perbedaannya dengan aturan main agama. Kuatnya
maindset terhadap agama dan tidak diakuinya aturan legal formal sebagai aturan
main kepublikan, juga menyebabkan masih sulitnya menciptakan keberanian publik
dalam kehidupan masyarakat sipil saat ini. Keberanian sipil juga dirasa sangat
diperlukan dalam menyuarakan hak-hak kewarganegaraan dari golongan minoritas
yang didiskriminasi oleh kelompok mayoritas atau negara itu sendiri. Tanpa itu,
kasus-kasus yang menimpa semisal kelompok Ahmadiyah, Syiah, korban G30SPKI,
LGBTQ, yang selama ini diperlakukan semena-mena tanpa melihat hak-hak dasar dan
hak-hak politik dan kewarganegaraannya hanya akan menjadi masalah bulan-bulanan
tanpa ada proses penyelesaiannya. Terakhir, eike malah mengingat Machiavelli
sebagai sosok yang merintis jalannya suatu pendasaran politik untuk merumuskan
suatu tatanan masyarakat sipil berbasis kedaulatan negara. Dari pemikirannyalah
secara kedaulatan masyarakat menemukan dasar moral-politiknya untuk menyatakan
kebebasan secara sipil. Dengan kata lain, kebebasan sipil dinyatakan secara
khas oleh Machiavelli sebagai kebebasan non dominasi. Itu artinya kebebasan
sipil juga berarti tak ada dominasi atas dari golongan apa pun. Dan dengan cara
seperti itulah keberanian sipil dinyatakan. Baiklah, awalnya eike tidak
berkeinginan tulisan ini menjadi panjang seperti ini. Khawatir malah akan
berbelit-belit. Dan, malah je menjadi bosan sendiri. Eike akhiri saja.