"Kesejahteraan suatu masyarakat dapat disimpulkan dari kondisi sastra di dalamnya." Oktavio Paz
"Cara terbaik yang membuat seseorang dapat menjalankan revolusi adalah menulis sebaik yang dapat ia lakukan." Gabriel Garcia Marques
Saya harus segera menuliskan ini:
menulis itu pekerjaan yang begitu melelahkan, bahkan menyulitkan pikiran.
Perasaan ini seketika saja muncul dalam benak saya ketika membaca buku Menulis
Itu Indah, Pengalaman Para Penulis Dunia, buku yang diterbitkan Oktopus dari
Yogyakarta. Menulis bukan hal gampang seperti yang pernah dikatakan Pramoedya
bahwa jika ingin menulis ya menulis saja. Kalimat ini memang terasa satire
keluar dari orang sekaliber Pram. Apalagi sangat gampang bagi Pram
mengucapkannya dengan beragam pengalaman semasa hidupnya jika dibandingkan
dengan waktu sekarang. Menulis memang di satu sisi bukan bakat yang secara
natural dimiliki oleh kita seperti saat
kita pergi di hutan dan kemudian mampu beradaptasi. Atau seperti anak lembu
yang seketika mampu berjalan sedetik ketika ia keluar dari perut ibunya.
Menulis, ketika membaca beberapa pengalaman dari penulis-penulis dunia yang
disampaikan buku ini nampak sebagai pekerjaan orang-orang yang mau dan rela
menghabiskan banyak waktunya untuk menghargai gagasan-gagasannya. Sebenarnya pertanyaan
pentingnya apa yang indah dari menulis, ketika di waktu yang bersamaan
seseorang bakal menjalani waktu yang panjang, pinggang yang encok, mata yang
terpapar udara siang malam, debu-debu yang bertebangan, dan kehilangan banyak
energi berbulan-bulan? Apalagi apa yang
bisa didapatkan dari pengalaman seseorang yang sebenarnya tak bisa
dipertukarkan begitu saja. Pengalaman seseorang adalah peristiwa yang unik dan
berbeda. Dia tak bisa dibagi untuk siapapun. Yang bisa dilakukan hanya
menyampaikan cerita atas pengalaman
itu sendiri. Sebab pengalaman hanya mampu terjadi selama sekali. Mungkin karena
itu tidak semua penulis dunia mau menceritakan pengalamannya ketika menulis. Bukan
karena itu adalah peristiwa yang tak memiliki sisi sosial, melainkan menurut
saya pengalaman setiap penulis yang dikenal dunia memiliki sisi lain yang
menyakitkan. Sisi yang mengundang memori yang sudah lama dipendam. Akibatnya,
kita hanya mampu menebak-nebak kekuatan apakah yang sebenarnya tersimpan dalam
hati para penulis-penulis besar selain daripada keinginan mereka untuk
bersuara? Barangkali yang indah dari pengalaman menulis penulis dunia adalah –sudah
tentu- adalah kesempatan yang kita miliki untuk membaca karya-karya mereka. Banyak
ragam kemungkinan yang mungkin akan terjadi dari kepala sang penulis dengan
karya yang sudah mereka lahirkan. Berawal dari gagasan sederhana yang mereka
miliki, sudah pasti bakal banyak godaan dan hambatan yang bakal mengganggu
proses kreatif sampai lahir karya mereka –coba kita bayangkan bagaimana seorang
penulis yang harus diusir dari negaranya hanya karena aktifitas menulisnya dan
mendapatkan pelbagai jenis siksa psikologis dan sosial. Selama jarak itu masih
ada, maka penghargaan terhadap karya-karya mereka patut kita hidupkan dengan
cara membacanya, mendiskusikannya, mencatatnya, atau kalau perlu mengkritiknya.
Dengan cara itu maka makna kelestarian dari suatu karya tulis menjadi bukan
saja tanggung jawab seorang penulis, melainkan juga menjadi tugas bersama para
pembacanya. Menulis mungkin saja adalah bagian yang paling intim di hati setiap
penulis. Sebagai suatu keadaan spritual. Paulo Coelho bahkan menyebutkan
dirinya sempat terperangkap di dalam tulisannya sendiri. The Alchemist akhirnya menyelesaikan bagian akhirnya dengan
menuntun penulisnya larut di dalamnya. Kata Coelho, buku itu yang menyelesaikan
sendiri bagian akhirnya. Pengalaman semacam ini yang tidak mungkin dibagi
kepada setiap orang. Pengalaman yang hanya dimiliki satu orang di jagad raya
ini. “Pengalaman manusia yang esensial”, kata Jorge Luis Borges, yakni
pengalaman penulis yang memerlukan kesendirian, dan dia dapat mengambil tempat
di dalamnya. Itulah sebabnya setiap penyair dan filsuf misalnya, kata Foucault,
“tidak terbentuk dengan cara yang sama”. Tapi kata pepatah pengalaman adalah
guru yang paling berharga. Toh jika pengalaman dapat juga dirasakan bagi dua
orang yang berbeda dan tidak saling mengenal, cara Betrand Russell mungkin
patut dicoba: meniru gaya menulis penulis yang disukai. Walaupun dalam waktu
yang lama dia menyebutkan si penulis yang memfoto copy gaya penulis idolanya
akan berhadapan dengan dilema ontensitas dirinya. Di titik inilah maka
seseorang harus siap mengambil sikap untuk mencari gayanya sendiri. Di titik
ini pulalah, toh jika menulis itu indah, maka tidak ada makna apapun yang sama
tentang kata indah itu sendiri. Kemungkinan besar, itu semua akibat setiap
penulis lahir dari kesendiriannya masing-masing.