Malam itu saya tidak sengaja
menyaksikan pagelaran pemilihan Putri Indonesia 2017. 38 perempuan dari
pelbagai provinsi menjadi finalisnya. Acara itu dibuka oleh dua master
ceremoni, Choky Sitohang salah satu MC memulainya dengan berkata: “Selamat
malam dan inilah perempuan-perempuan cantik…dan bla dan bla, bla, bla, sambil
membuka acara. Mendengar kata cantik, pikiran saya tidak karuan.
Apakah yang
dimaksudkan cantik di situ? Bagaimanakah cantik dibayangkan seperti dalam acara
demikian? Apakah itu berarti akan mewakili konsep cantik berdasarkan persepsi
kebudayaan tertentu? Atau memang cantik yang dikatakan Choky, seperti yang hari
ini diketahui, merupakan imajinasi yang banyak dibentuk media?
Kadang, cantik, menjadi kata yang
obsesif diinginkan perempuan. Berbagai upaya
banyak dilakukan sebagian besar perempuan-perempuan untuk terlihat
cantik. Tidak sedikit untuk memenuhi
ambisi kecantikannya, banyak perempuan rela mengeluarkan uang yang banyak.
Mulai dari uang perawatan kulit muka, hingga mengeluarkan uang jutaan rupiah
untuk operasi plastik.
Namun jika melihat secara fisik,
seperti yang ditayangkan dari acara pemilihan Putri Indonesia, cantik diartikan
sebagai ukuran yang disematkan kepada perempuan yang berkulit putih, tubuh
tinggi semampai, murah senyum, berambut panjang, dan tentu berpenampilan seksi.
Walaupun banyak ukuran cantik yang lebih variatif, di acara seperti itu jelas
sekali menampilkan cantik melalui perspektif ideologi dominan: kekuatan modal.
Dalam masyarakat virtual, apalagi
ketika semuanya sering lebih banyak dipresentasekan lewat layar kaca/screen
gawai, kecantikan lebih dipandang sebagai estetika yang mengutamakan mata
dibanding lainnya. Itulah sebabnya, cantik mesti senantiasa dicitrakan, bukan
diverbalkan, apalagi beralih menjadi sikap. Cantik dengan demikian adalah nilai
estetika yang disimbolkan, digambarkan, dipancarkan, dan dicitrakan.
Cantik dengan demikian akhirnya
hanya konsep yang hanya bisa diverifikasi
melalui mata. Basis kecantikan yang mendasarkan hubungannya melalui panca
indra, semakin masif akibat dunia manusia yang semakin hari semakin mendasarkan
pemahamannya kepada dunia virtual.
Mesti disadari, kecantikan sebagai
ukuran estetika bagi wanita merupakan persaingan ideologis dalam hubungannya
dengan visi kebudayaan tertentu. Relasi kultural yang menghubungkan satu bangsa
dengan bangsa lain, tidak bisa dinilai tanpa tegangan. Malah, di balik itu,
memiliki tegangan dominasi untuk memberikan pengaruh kultural tertentu kepada
bangsa yang dianggap rendah.
Hubungan dominasi ini pernah dan
masih terjadi di dalam narasi berkedok modernisasi terhadap bangsa-bangsa di
luar bangsa Eropa dan Amerika. Sebelum abad 21, tegangan antara dua kutub ini,
selalu memandang kehidupan di luar bangsanya sebagai bangsa yang tidak
berperadaban. Melalui berbagai macam proyek kolonialisasi, sampai sekarang
hubungan ini masih terjadi.
Cantik sebagai bagian dari nilai
estetis yang sering disematkan kepada perempuan, juga berlaku bagi kaum lelaki
dengan bentuk yang disesuaikan dengan maskulinitas pria. Macho, ganteng, kekar,
berotot merupakan pencitraan yang digunakan untuk mengukur seberapa “laki-laki”
pria itu. Seperti halnya perempuan, penilaian semacam ini juga sarat dengan
muatan ideologis.
Inferioritas kebudayaan nusantara
di hadapan budaya asing, lebih kepada ketidakmampuan masyarakat menghayati
kebudayaan yang lahir dari tradisi sendiri. Cantik, macho, etis, bermoral, berperadaban,
dalam hal ini bukan semata-mata akibat perspektif imprealisme kebudayaan barat,
melainkan rasa rendah diri masyarakat Indonesia ketika mengekspresikan nilai
kebudayaannya.
Kita masih ingat ketika batik go
internasional demi memperkenalkan budaya Indonesia, atau
pertunjukan-pertunjukan musik di luar negeri dengan menggunakan alat-alat musik
tradisional, yang membuat Indonesia dikenali dari macam-macam kebudayaannya,
tapi hanya sekadar memperlihatkan kenekaragaman hasil-hasil budaya tanpa
mengikutkan sumber-sumber pengetahuan yang mengitarinya, sama saja dengan
mengamputasi kenekaragaman cara manusia indonesia membentuk kebudayaannya.
Artinya, nilai kebudayaan tertentu
akan sangat jauh lebih penting jika ditopang dengan ekosistem di mana kebudayaan
itu hidup. Dengan kata lain, masyarakat itu sendiri dengan kehidupannya yang paling praktislah yang menjadi sumber-sumber
kebudayaan itu berasal. Ini akan jauh lebih mudah jika kebudayaan itu bukan
saja dipahami sebagai hasil pencapaian canonisasi kebudayaan tertentu,
melainkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat itu sendirilah kebudayaan itu terbentuk.
Saya menjadi ingat Cantik Itu Luka,
novel kepunyaan Eka Kurniawan, yang satir memberikan perspektif paradoks
tentang cantik yang sebenarnya adalah luka. Di situ, cantik bukan sekadar nama
yang disematkan kepada seorang anak perempuan (dalam hal ini nama anak terakhir
dari Dewi Ayu yang berwajah buruk rupa), melainkan cara Eka membuka tegangan di
antara perspektif kebudayaan yang sebenarnya tidak monoton dan universal.
Cantik yang dipahami perwujudan
dari keindahan, keanggunan, kelenturan (ini juga persepektif kebudayaan
tertentu), disandingkan dengan luka, adalah pengertian yang cenderung dibentuk sebagai
akibat “kesakitan”, “keborokan”, ”kehancuran”, dan “kepahitan” yang menjadi
korban dari satu pandangan, penindasan dan penjajahan sistem tertentu.
Apabila cantik dimaknai dengan cara
demikian, jelas sekali bahwa makna yang berada dibaliknya menyiratkan
inferioritas sekaligus korban dari kebudayaan tertentu. Melalui konteks ini,
apabila diakaitkan dengan kajian-kajian cultural study, cantik (dan juga ukuran estetis, moral lainnya) merupakan korban dari imperialisme kebudayaan yang ditunjang dengan industri
media sebagai perangkat utamanya.
Lantas jika muncul kata
cantik dalam perhelatan semisal pemilihan Putri Indonesia, apakah itu sesungguhnya memang –seperti kata Eka Kurniawan—cantik itu luka?