Literasi, Riset serta Seni sebagai Basis dan Alternatif Gerakan, Benarkah?

Saya merasa jengkel ketika mendapati tema diskusi: “Literasi, Riset Serta Seni Sebagai Basis dan Alternatif Gerakan”. Tema diskusi ini lahir dari lingkungan akademik kampus. Percik pikiran yang lahir dari masyarakat ilmiah. Apa yang salah dari tema tersebut? Alasannya sederhana: menempatkan literasi, riset, dan seni sebagai alternatif gerakan! Padahal, tidak ada satupun lingkungan ilmiah yang tidak bekerja tanpa mendasarkan literasi dan riset, juga seni sebagai basis fundamentalnya. Dengan kata lain, menulis, memperkaya pustaka, meneliti, dan bergerak dalam seni adalah bukan gerakan alternatif. Dia sebenar-benarnya pekerjaan ilmiah yang harus diutamakan.

Artinya ada persepsi yang salah. Atau mungkin tradisi aktivisme selama ini yang melenceng dari “khittahnya”. Menempatkan literasi, riset dan seni sebagai subordinat dalam aktivisme kampus, adalah soal serius. Apalagi jika itu dianggap biasa, maka soal ini jauh lebih serius.

Tradisi akademik dan aktivisme kampus sejatinya merupakan kerja intelektual yang berbasis literasi dan riset. Jika Anda menjadi seorang mahasiswa, paper; makalah; jurnal; buletin; skripsi; tesis; buku adalah benda-benda intelektual yang akrab di lingkungan Anda. Risetlah yang menjadi pekerjaan dasar menghadirkan itu semua.

Sementara pusat seni, studio, laboratorium, pusat kajian, perpustakaan, lembaga penerbitan, audotorium, dan pusat kegiatan mahasiswa, merupaka teritori yang membentuk lingkungan kampus menjadi lebih beradab. Tempat-tempat ini adalah ruang diskursif yang menghidupkan literasi sebagai batang pokoknya. Dan, tentu semua itu menjadi tempat pertanggungjawaban ilmiah atas riset dan kerja-kerja intelektual. 

Semua itu sadar tidak sadar adalah tanda bahwa Anda hidup di dalam suatu masyarakat elit yang disebut ilmiah.

Pembalikkan

Selama ini ada perdebatan kuno yang kadung tercemari pembelahan: perdebatan yang mana utama aksi atau diksi; praktik atau teori. Seakan-akan dua dimensi itu berbeda. Padahal, jika ditelisik, dua hal itu saling mengandaikan alih-alih saling meniadakan.

Malangnya, tradisi intelektual seringkali diplesetkan jika itu hanya rangkaian praksis yang bersinggungan dengan rapat aksi dan jalan raya. Outputnya sudah pasti akan berakhir di depan pintu-pintu gedung parlemen atau rektorat. Di situasi ini orientasinya jelas: kekuasaan.

Dikotomi intelektualisme seperti ini kadung mengartikan kegiatan berwacana sebagai aktivitas yang buang-buang waktu. Keadaan diibaratkan seperti kapal karam yang segera harus diselamatkan dengan berbuat sesuatu. Semakin lama mengambil tindakan dengan berpikir dan berwacana, maka semakin berisiko membuat kapal cepat tenggelam.

Bahkan, berteori, atau kegiatan membangun diskursus dianggap tidak memiliki sumbangsih apa-apa. Model intelektualisme yang semacam itu dianggap eskapisme dari keadaan yang tidak mampu dihadapi. Praktik lebih penting dari teori adalah satu-satunya teori yang harus diteguhkan.

Miskin epistemologi

Sumber-sumber pengetahuan di kampus sangat berlimpah ditunjang kepustakaan yang kaya. Hampir semua disiplin keilmuan memiliki basis data yang terhubung langsung dengan sumber-sumber pengetahuan semisal perpustakaan, penyimpanan arsip akademik, situs jurnal, dan artikel-artikel ilmiah. Namun, imbas dari perspektif intelektualisme yang lebih mementingkan aksi daripada teori, membuat semua itu tidak memiliki manfaat yang banyak.

Energi yang terlalu besar terhadap aksi dibanding membangun wacana, akibatnya mensituasikan cara pandang gerakan menjadi minus kerangka epistemologi yang mumpuni. Sekarang, sangat jarang ditemukan komunitas mahasiswa yang mau bersabar membangun paradigmanya dengan literasi dan riset sebagai perhatian utamanya.

Imbas paradigma gerakan yang miskin epistemologi, otomatis berimplikasi terhadap kurangnya inovasi di dalam merumuskan metode aktivisme yang kompatibel dengan situasi. Bahkan, hilangnya sumber-sumber kemandirian dalam berparadigma, membuat betapa gampangnya aktivisme mahasiswa diombang-ambing tren isu. 

Bersabar

Selain pemisahan antara aksi dan teori yang menyebabkan aktivisme kampus menjadi garing, justru tanpa disadari, aktivisme kemahasiswaan berlahan-lahan menjauh dari tradisi literasi dan riset.

Aktivisme literasi dan riset yang terkadang membutuhkan waktu jauh lebih lama, disinyalir menjadi hal yang enggan diaplikasikan sebagai tradisi aktivisme. Sifat menggebu-gebu yang kadang tidak disertai perhitungan yang matang, juga menjadi sebab mengapa literasi dan riset sulit menyatu dengan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan masa kini.

Yang lucu, di balik tradisi aksi yang terkadang hanya mengakui praksis sebagai satu-satunya paradigma aktivisme, menjadi saluran hasrat katarsis. Akibat tekanan beban akademik dan dipersempitnya ruang gerak di dalam kampus, mahasiswa menjadikan aksi jalanan sebagai medium pelepas penat dan pikiran. Dibandingkan disalurkan dalam bentuk karya tulis, pikiran dan aspirasi akhirnya habis menguap begitu saja tanpa bisa memberikan efek jangka panjang.

Basis keilmuan

Banyak ditemukan jika basis keilmuan seorang mahasiswa dikesampingkan jika sudah masuk di dalam lingkaran aktivisme kemahasiswaan. Seakan-akan basis keilmuan yang dipupuk dari kegiatan akademik tidak memiliki hubungan dengan agenda-agenda perubahan. Padahal, jika basis keilmuan dipakai sebagai cara pandang menganalisis persoalan, sudah tentu mahasiswa tidak sekadar menghapal teori dari ruang akademik, tapi dapat menghidupkan khazanah keilmuannya sebagai pisau bedah realitas. Bahkan, apabila seluruh basis keilmuan saling dipertemukan, dengan sendirinya akan membentuk suatu analisis komperehensif atas suatu soal.

Akademik sebagai momok dan aktivisme sebagai satu-satunya kegiatan diskursif masih menjadi tren persepsi yang diyakini sebagian komunitas mahasiswa hari ini. Belum sinerginya kegiatan akademik yang ditunjang dengan pendekatan ilmiah dengan aktivisme kampus, juga menjadi salah satu sebab mengapa terjadi pembelahan yang menganggap literasi dan riset sebagai model gerakan nomor dua. Alih-alih menganggapnya sebagai basis fundamental aktivisme, justru ada juga menganggapnya tidak penting.

Sekarang buang jauh-jauh bahwa literasi, riset dan seni adalah seolah barang-barang baru yang harus Anda perkenalkan. Sebaliknya, Anda yang baru menyadari bahwa itu semua penting. Bahkan, akibat Anda yang selama ini belum menemukan lingkungan aktivisme yang ideal, membuat seakan-akan Anda hidup terpisah dari tradisi literasi, riset, dan seni. Saat sekaranglah memutus mata rantai “pembodohan” yang menganggap aktivisme hanyalah suara megaphone yang menyalak-nyalak di jalan raya. Anda keliru, membangun gerakan itu jauh lebih panjang dari usia Anda selama di kampus.