Merindukan Kota Dunia Ramah Literasi



11 Desember 2015, Ljubljana, Slovenia, menerima gelar permanen 
City of Literature yang diberikan oleh UNESCO ke kota-kota dengan 
warisan budaya yang kaya, sastra kontemporer yang berkembang,
 dan pemahaman akan pentingnya budaya dan buku untuk kemajuan suatu kota.


KOTA dunia, yang menjadi impian warga Makassar, bukan semata-mata ruang yang dibentuk dan dibangun hanya berdasarkan kekuatan ekonomi belaka. Apalagi, industrialisasi sebagai ciri utama kota, bukan satu-satunya ideal type agar kota disebut sebagai kawasan yang maju. Juga, apabila kota dunia hanya ditentukan dengan penataan ruang publik baru dengan indikator potensi kepariwisataan dan kawasan bisnis, dengan begitu akan membuat beragam variabel potensi yang dimiliki kota Makassar menjadi tidak termanfaatkan.

Itulah sebabnya, berkali-kali slogan Makassar Kota Dunia bukan saja diorientasikan seperti yang diekspresikan dalam visi kota industrialisasi, yang kerap mengenyampingkan aspek kemanusiaan di dalamnya. Melainkan lebih banyak mengarah kepada usaha membangun suasana kota yang aman dan nyaman bagi warganya. Begitu pula wacana membangun karakter warga kota yang dinarasikan melalui slogan manusia berkarakter sombere, adalah upaya nonekonomistik untuk memajukan Makassar dari aspek-aspek kemanusiaannya.

Saat ini, perkembangan kota-kota maju tidak hanya berfokus pada pembangunan di sektor ekonomi dan pariwisata, melainkan juga peningkatan di sektor sumber daya manusia dengan mengampanyekan literasi sebagai salah satu pendekatannya. Di tanah air, baru Surabaya yang mendeklarasikan dirinya sebagai kota literasi, dan turut serta mengikutsertakan budaya baca tulis ke dalam program-program pembangunan kotanya. Bagaimana dengan kota Makassar?

Warisan sejarah

Apabila menelisik kembali sejarah masa lampau, literasi menjadi faktor kebudayaan utama di samping kemampuan kemaritiman yang menjadi modal berkembangnya Makassar sebagai kota penting di zamannya. Keberadaan teks I lagaligo yang menjadi penanda kemajuan peradaban masyarakat Sulawesi Selatan, adalah bukti historis betapa literasi bukan lagi kecakapan asing saat itu.

Makassar sebagai kota dunia dalam konteks global, sudah seharusnya ikut memasukkan wacana literasi sebagai bagian pembangunan kotanya. Bukan saja program-program berorientasi lingkungan yang diekspresikan melalui penghijauan lorong-lorong dan pengelolahan sampah, melainkan ikut mengampanyekan cinta baca tulis bagi seluruh warganya.

Jika mengacu kepada indikator kota dunia yang berorientasi masa depan, literasi menjadi salah satu ukuran maju tidaknya perkembangan kota. Hal ini akibat semakin terbukanya segala medan interaksi masyarakat yang ditopang kemajuan bentuk dan model ilmu pengetahuan. Begitu pula pesatnya pertukaran informasi, mengharuskan perlunya peningkatan pemahaman antara warga kota dunia yang ditunjang dengan praktik baca tulis yang memadai.

Mengingat kebesaran sejarah literasi kebudayaan Bugis-Makassar, dan pesatnya perkembangan zaman saat ini, sudah sepatutnya visi pembangunan kota Makassar menempatkan literasi sebagai episentrum utama dalam memperkenalkan Makassar sebagai kota dunia.

Ramah literasi

Kota ramah literasi setidaknya mengedepankan sarana dan prasarana publik agar warga kota memiliki akses yang maksimal terhadap sumber-sumber pengetahuan. Dari segi infrastruktur, penting untuk menyediakan pelbagai perpustakaan kota yang nyaman dan tenang untuk menunjang aktifitas baca tulis bagi warganya.

Begitu pula kota perlu menyediakan ruang terbuka bagi warga agar dapat menemukan tempat semacam taman baca untuk merealisasikan minat baca tulisnya.

Dari aspek pendidikan, minat baca tulis seharusnya sudah menjadi narasi utama yang disokong peraturan daerah dalam membangun kepribadian siswa menghadapi kemajuan situasi hari ini. Sombere, misalnya, yang menjadi prototiype warga smart city, hanya bisa ditunjang dengan penggalian sumber-sumber utama tentang kearifan manusia Bugis-Makassar melalui budaya baca dan budaya tulis agar terus dapat tersosialisasi.

Jika membandingkan dengan negara tetangga semisal Malaysia dan Singapura, siswa setara SMA diwajibkan membaca minimal 5-6 buku pertahun. Brunei sampai 7 judul buku, Jepang 15 buku, atau bahkan di Amerika Serikat 32 judul buku dalam setahun. Kegiatan kongkrit macam ini jika diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan akan sangat bermanfaat dalam jangka waktu ke depan.

Akan menjadi fenomena yang dahsyat, jika setiap sekolah dianjurkan atau diharuskan memiliki perpustakaan yang terstandarnisasi. Atau digalakkan juga kantin buku di luar dari keberadaan perpustakaan sekolah. Begitu juga akan jauh lebih dahsyat bila atmosfer budaya membaca tidak saja diciptakan dalam lingkungan sekolah, melainkan disokong dengan menghadirkan satu perpustakaan setiap satu kelurahan.

Merebaknya komunitas kepemudaan warga kota yang mendedikasikan kiprahnya dalam dunia literasi, menjadi modal lainnya agar dapat ikut menciptakan Makassar sebagai kota ramah literasi. Tentu hal yang paling penting adalah perhatian pemerintah itu sendiri yang diharapkan menjadi penggerak utama dalam mengkampanyekan budaya baca tulis. 

Namun akan sangat miris jika slogan Makassar Kota Dunia tidak melihat literasi sebagai wacana strategis dalam meningkatkan kapasitas pengetahuan warganya. Sebagai misal, belum berkembangnya pusat-pusat informasi dan pengetahuan berupa jaringan kuat komunitas literasi, jaringan perpustakaan dengan perpustakaan komunitas, jaringan toko buku, dan kampung-kampung buku yang sedikit banyak akan membangun atmosfer Makassar sebagai kota ramah literasi.

Hatta, mengikutkan satu wacana strategis kota Makassar kota ramah literasi, berarti ikut mewarisi sejarah panjang peradaban literasi Bugis-Makassar yang menjadi modal utama menuju Makassar sebagai kota dunia.

*Telah dimuat di harian Radar Makassar, 8 Februari 2017