Mengimajinasikan Makassar sebagai
kota dunia tidak akan cukup jika tanpa melibatkan warisan sejarah yang
dimilikinya: literasi.
Kota Dunia harus juga diekspresikan
sebagai kota yang ramah literasi. Dengan cara membudayakan baca tulis sebagai
etika kewargaan, pembangunan perpustakaan di pusat keramaian, atau kalau perlu
ada juga pete-pete smart literasi, merupakah sedikit langkah untuk
merealisasikan peristiwa itu.
Tapi, semua itu hanya menjadi
pepesan kosong jikalau pemerintah kota bukan menjadi agen terdepan dalam
mewujudkan targetan semacam itu.
Artinya, jika mengacu kepada geliat
literasi yang mengemuka dan kian masif di kalangan anak muda di lima tahun
belakangan ini, dan juga semakin banyaknya komunitas kreatif-literasi di
kalangan pemuda, menjadi tanda bagi pemerintah bahwa di tengah masyarakat kota
sedang terjadi transformasi sunyi menuju masyarakat yang bercorak literatif.
Kepekaan terhadap masyarakat yang
bercorak literatif, harus ditunjukkan pemerintah kota dengan menyandingkan
literasi sebagai bagian dari slogan yang selama ini menjadi kampanye Makassar
Kota Dunia. Sehingga selain soal “lihat sampah ambil (LISA)”, “smart people,
smart city”, dan industri lorong, wacana Kota Dunia Kota Literasi juga menjadi
satu wacana yang menggenapi kekosongan variabel sebagai impian kota yang maju.
Akan jauh lebih dahsyat, jika
selain menjadi wacana, Makassar kota dunia kota literasi menjadi program
kongkrit di dalam kebijakan kota pemerintah Kota Makassar. Semisal, jika ada
program penghijauan lorong-lorong, maka akan ada juga program lorong smart
berupa didirikannya perpustakaan mini. Jika ada smart pete-pete, maka akan ada
juga pete-pete smart literasi. Atau program-program strategis semacamnnya yang
mengintegrasikan literasi sebagai bagian dari programnya.
Kembali ke soal I Lagaligo sebagai
warisan literasi, bukan saja teks sejarah yang berbicara atas makna di dalam
teksnya itu sendiri, melainkan suatu teks terbuka agar masyarakat Kota Makassar
dapat menyerap semangat literasi yang dikandungnya bagi kehidupan ini.
I lagaligo juga bukan sekadar epos
sejarah yang berbicara masa lalu, tapi –mengacu kepada pernyataan sebelumnya,
merupakan teks yang mengacu pula kepada kehidupan saat ini. Dengan cara begitu,
makna yang dikandungnya dapat berlaku universal dan mampu menjangkau lapisan
generasi dari waktu ke waktu.
Itu sebabnya, I lagaligo sekaligus
juga teks sejarah yang menjangkau masa depan dengan kekuatan simboliknya.
Karena itu I lagaligo berisikan ajaran dan cerita rakyat yang dapat menjadi
modal kuat bagi generasi sekarang untuk memahami makna kehidupannya saat ini.
Era kiwari, tanpa literasi, makna
hidup bagi generasi sekarang hanya akan menjadi generasi pemamah informasi
tanpa bisa mereproduksi kembali segala informasi yang ditemukannya.
Tanpa literasi yang baik, generasi
sekarang akan lebih banyak mengecap informasi tanpa sedikit pun mampu menemukan
makna. Artinya, dari massifnya informasi, di era kiwari, generasi muda tidak
mampu membangun hubungan kebermaknaan dengan seluruh informasi yang ditemuinya.
Meminjam analisis Jean Baudrillard,
hilangnya hubungan kebermaknaan antara informasi dengan kesadaran manusia,
hanya menciptakan kebimbangan realitas akibat tidak kompatibelnya informasi
yang dikelola berdasarkan kebutuhan manusia itu sendiri. Lebih jauh, hilangnya
hubungan kebermaknaan akan berdampak jauh terhadap krisis eksistensi manusia.
Generasi tanpa literasi akan hilang
dalam sejarah dunia. Apalagi kota tanpa topangan literasi tidak akan dikenal
dunia sebagai pusat kemajuan yang memang menempatkan literasi sebagai salah
satu faktor utama kesejahteraan kota. Dalam hal ini, kesejahteraan bukan saja
sekadar variabel dalam konteks ekonomi dan sosial belaka, tapi juga bagian
inheren di dalam “pencerahan” masyarakat kota.
Sejarah sudah menjadi bukti, kebudayaan
tanpa topangan literasi yang kuat akan gampang diombang-ambing situasi zaman.
Apalagi Kota Makassar, akan sangat teledor jika mengabaikan warisan literasi
sejarahnya yang membuatnya menjadi raja di masa lalu ketika ingin
memproyeksikan diri sebagai Kota Dunia.
Seperti dikatakan sebelumnya,
sosok-sosok anak muda yang belakangan bermunculan dengan kiprahnya di dalam
dunia literasi menjadi modal berharga bagi perealisasian Kota Makassar sebagai
kota literasi. Sebagai bagian dari warga kota, sosok dengan kiprah di dunia
literasi, menjadi variabel yang juga sangat menentukan dalam membuka peluang
literasi sebagai wacana perkotaan selain dari pemerintah itu sendiri.
Seperti dikatakan sejarawan Hilmar
Farid, keberadaan sosok yang bergelut di dunia literasi akan sangat berpengaruh
di dalam membangun suatu kebudayaan.
Di masa lalu, salah satu topangan
literasi digalakkan orang semacam Karaeng Pattingaloang yang melakukan kontak
kebudayaan dengan media tulis menulis.
Karaeng Pattingaloang dalam
melakukan kerja literasinya, memiliki
kamar khusus sebagaimana intelektual Eropa yang dilengkapi perpustakaan buku,
atlas, dan peta dunia. Melalui tiga “benda” yang masih langka digunakan di
zamannya ini, Karaeng Pattingaloang membangun hubungan diplomasi serta surat
menyurat dengan perwakilan raja-raja semisal raja Spanyol di Manila, Raja
Portugis di Goa, dan Raja Inggris serta penguasa-penguasa di Mekkah.
Tidak sekadar membangun interaksi
dengan negeri-negeri luar, Karaeng Pattingaloang juga membangun hubungan diplomatik
untuk bekerja sama dalam bidang-bidang strategis tertentu. Sebagai kota dunia
saat itu, Makassar sudah menjadi kota dagang dengan memiliki kantor perwakilan
Portugis, Belanda, Inggris, Spanyol, Denmark dan Tiongkok.
Komunikasi antara beragam negeri
ini juga berarti terjadi relasi kultural dengan model kebudayaan lain. Hal ini terbukti dengan sosok Karaeng
Pattingaloang yang seorang polyglot dengan menguasai bahasa Latin, Spanyol,
Portugis, Belanda, Inggris, Perancis, Arab, Melayu, dan juga bahasa lokal
Makassar yang dijadikan bahasa komunikasi saat itu.
Dengan kemampuan bahasa demikian,
Karaeng Pattingaloang menjadi sosok yang memiliki keanekaraman dan kekayaan
pengetahuan yang tersebar berdasarkan purna bahasa yang menjadi modal utamanya
dalam mengafirmasi ilmu pengetahuan.
Sampai di sini Karaeng
Pattingaloang merupakan prototype bagaimana literasi dan kerja-kerja
intelektualnya adalah faktor fundamental yang mengkofigurasikan kebudayaan jadi
lebih maju. Tanpa literasi, kebudayaan hanyalah paras manusia yang akan banyak
mengalami krisis kemanusiaan.
Melalui ketokohan Karaeng
Pattingaloang, setidaknya ada tiga hal yang menjadi indikator penting untuk
memproyeksikan sosok yang berkiprah dalam dunia literasi. Pertama, adalah
kemampuan dan kesadarannya terhadap bahasa. Selain digunakan dalam tulis
menulis, beragam bahasa yang dikuasai Karaeng Pattingaloang merupakan pintu
pertukaran menuju beragam kebudayaan selain dari kebudayaannya sendiri.
Kedua, perpustakaan. Telah
disebutkan sebelumnya, Karaeng Pattingaloang memiliki kamar kerja yang
dilengkapi buku-buku serta atlas dan peta dunia. Tiga benda ini menandai aspek
kemodernan yang sudah dikenal Karaeng Pattingaloang. Bahkan, menurut catatan
sejarah, ketika pertama kali pasca teleskop ditemukan Galieo Galilei, Karaeng
Pattingaloang juga memesan dan memiliki benda yang menginspirasi perubahan di
Eropa ini langsung dari asalnya.
Ketiga adalah etos kerja selayaknya
seorang intelektual modern saat ini. Akibat pandangan dunianya yang kosmopolit,
etos keilmuan yang dimilikinya menjadi sikap paling mendasar yang mempelopori
seluruh kegiatan intelektualnya. Tanpa sikap ini Karaeng Pattingaloang tidak
akan mampu menyandingkan dirinya sebagai orang yang berhadapan dengan raja-raja
dunia saat itu.
Sekarang, Makassar adalah kota yang berada di antara
tegangan sejarah tradisi literasinya dengan kemodernan sebagai alam kemajuan
dunia saat ini. Yang paling memungkinkan saat ini, Makassar harus mendamaikan
dua tegangan yang dimilikinya sebagai modal kebudayaan agar mampu
diidentifikasi sebagai kota dunia. Tentu dengan mengambil tradisi literasi
sebagai modal sejarah yang menjadi warisan tradisinya.
Namun akan sangat miris jika slogan
Makassar Kota Dunia tidak melihat literasi sebagai wacana strategis dalam
meningkatkan kapasitas pengetahuan warganya. Sebagai misal, belum berkembangnya
pusat-pusat informasi dan pengetahuan berupa jaringan kuat komunitas literasi,
jaringan informasi berbasis website dan jaringan perpustakaan dengan
perpustakaan komunitas, jaringan toko buku, dan kampung-kampung buku yang
sedikit banyak akan membangun atmosfer Makassar sebagai kota ramah literasi.
Hatta, Makassar kota dunia kota
literasi, berarti ikut mewarisi sejarah panjang peradaban literasi
Bugis-Makassar yang menjadi modal utama menuju Makassar sebagai kota dunia.
---
Telah terbit di kalaliterasi.com