Barangkali
memang ingatan manusia itu terbatas. Sebab itulah teknologi datang.
Bagi
yang menjadikan media sosial sebagai kehidupan keduanya pasti mengalami; suatu
pagi di suatu tempat tiba-tiba sebait penggalan "status" datang kembali,
atau sebuah gambar yang benar-benar sudah kita lupakan, tiba-tiba menyeruak
mengintrogasi ingatan.
Atas
itu seketika suatu peristiwa dikenang kembali. Mungkin juga dirayakan kembali.
Atau bahkan sudah tidak berarti apa-apa.
Tapi,
manusia memang mahluk yang selalu merindukan masa silam. Bahkan, dalam
perspektif tertentu "sejarah" yang memiliki tiga bilah waktu,
senantiasa memproyeksikan masa depan tanpa bisa menghapus sepenuhnya masa lalu.
Itulah
sebabnya, kenangan sangat penting. Di waktu sekarang, ketika masa depan begitu
dipuja, kenangan adalah satu-satunya jalan agar manusia tidak lupa: siapa
dirinya.
Bagi
penyair, kenangan bukan sebatas gejala memori yang menghubungkan ingatan dengan
masa lalu, melainkan suatu cara untuk menghadirkan bahasa yang puitik. Di situ
kenangan alih-alih bukan ikhwal yang statik, tapi menjadi api dinamis yang
menghidupi kehidupan kesastraan sang penyair.
Dalam
novel The Sea, John Banville mendenotasikan: masa lalu berdetak di dalam diri
saya, berirama bagai jantung kedua (Alwy Rachman dalam Anging Mammiri).
Masa
lalu sebagai jantung kedualah yang seyognanya juga harus dialami orang-orang
yang setiap detik dikepung gadget. Imbas memori yang dicabut dari diri dan
direkam melalui memori buatan, membuat jantung berdetak tanpa
"sejarah".
Ibarat
penyair, orang-orang yang dikepung gadget harus dihidupi masa lalu sebagai
jantung yang benar-benar berdetak dalam diri. Membuatnya menjadi mahluk yang
benar-benar hidup "di dalam" kenangannya.
Karena
itulah kenangan harus diperjuangkan. Tanpa itu kita akan tenggelam dalam pusara
waktu. Era kiwari perjuangan atas kenangan ialah dengan cara melawan musuh
tercanggih manusia: teknologi.
Teknologi
(facebook dlsb) mungkin saja punya daya menyulut ingatan, tapi itu hanya
sebatas citra bahasa, gambar, atau "status". Dengan kata lain itu
bukan kenangan.
Kenangan
bukan apa yang ditampakkan bahasa dan gambar teknologi. Kenangan tiada lain
adalah peristiwa di balik bahasa yang tampak. Segala ikhwal yang
"hidup" di balik ingatan.
Karena
itulah selain diperjuangkan, kenangan mesti dirayakan, dibesarkan, dan
dimerdekakan.
Kala
kenangan banyak ditimbun segala macam ingatan, ketika yang
"permukaan" lebih banyak mendapat sorotan tinimbang
"kedalaman", maka hanya ada satu usaha untuk memerdekakan kenangan: literasi.
Literasi
kenangan, sama seperti bahasa Pierre Nora yang mengungkapkan bahwa ingatan
adalah saudara kembar sejarah. Ingatan sebagai sejarah juga menemukan
legitimasinya dari literasi (Alwy Rachman dalam Anging Mammiri). Itu artinya,
literasi adalah jalan kenangan agar terus dapat berjuang melawan lupa
(permukaan).
Itulah sebabnya, tiada siapa pun paling menghormati kenangan selain periwayat ingatan. Periwayat ingatan, bukan sekadar menorehkan kembali ingatan, tapi lebih dalam dari itu, meliterasikan kenangan.
Itulah sebabnya, tiada siapa pun paling menghormati kenangan selain periwayat ingatan. Periwayat ingatan, bukan sekadar menorehkan kembali ingatan, tapi lebih dalam dari itu, meliterasikan kenangan.
Hatta,
kala kiwari, kita perlu banyak orang-orang yang mau meriwayatkan kenangannya.
Membentuk "monumen kenangannya" di hadapan artefak teknologi yang
memangkas kenangan dengan memori buatannya.
Sehingga
kita tidak pernah akan benar-benar lupa; dari mana kita berasal, yang semuanya
direkam bulat dalam kenangan.
Tapi,
mungkin saja banyak orang yang memusuhi pekerjaan meriwayatkan kenangan. Dengan
kata lain mereka menolak dengan sendirinya literasi kenangan. Memusuhi segala
upaya ketika kenangan diabadikan dalam karya literasi.
Mungkin,
di sana banyak cacat, atau luka yang belum sembuh total. Dan, mungkin juga di
dalam kenangan orang banyak mengalami kesakitan yang sangat, sebab di situ
banyak peristiwa yang kelam dan dendam.
Orang-orang
macam inilah yang biasanya di suatu pagi sontak kaget ketika ingatan di masa
lalu dimunculkan kembali di hadapannya. Akibat memori buatan teknologi, akibat
mereka tidak mampu memerdekakan kenangannya dengan cara literasi kenangan.
Syahdan,
orang-orang memang mudah lupa, bahkan dengan dirinya sendiri. Kenangan,
akibatnya bagi orang-orang demikian hanya sebatas citra penampakan, bukan
peristiwa yang mengundang air mata dan kemerdekaan.