Sebenarnya
banyak hal bisa dituliskan. Bisa saja salah satunya soal pilkada di
beberapa daerah di Tanah Air. Termasuk pilkada Jakarta yang banyak menyedot
perhatian. Yang menarik dari pilkada Jakarta, selain karena Jakarta
adalah ibu kota Indonesia sehingga apa pun yang terjadi di Jakarta bisa
menjadi “meriam” atas peristiwa yang bakal terjadi di Indonesia, juga karena
Jakarta menyuguhkan calon kontroversial yang sudah membuat gempar hampir semua
umat muslim di Tanah Air.
Selain itu, dua kandidat lainnya juga tidak kalah penting mengapa pilkada Jakarta selalu mengisi ruang wacana masyarakat Indonesia. Keduanya adalah tokoh nasional dan atau bakal menjadi tokoh nasional. Perlu dicatat, kata tokoh di sini mengandung arti yang relatif. Tergantung dari sudut pandang apa orang melihatnya.
Selain itu, dua kandidat lainnya juga tidak kalah penting mengapa pilkada Jakarta selalu mengisi ruang wacana masyarakat Indonesia. Keduanya adalah tokoh nasional dan atau bakal menjadi tokoh nasional. Perlu dicatat, kata tokoh di sini mengandung arti yang relatif. Tergantung dari sudut pandang apa orang melihatnya.
Pasca
hari pencoblosan semua tegang. Jakarta menunggu hasil siapa yang bakal
terpilih. Bahkan hampir semua orang tidak berani mengambil kesimpulan siapa bakal peroleh suara terbanyak. Beberapa lama setelahnya hasil
mulai terlihat. Lembaga-lembaga survei merilis hasil quick count. Ahok-Djarot memimpin, dan Anis-Sandi menyusul setelahnya. Sementara Agus-Sylvi, siapa yang menduga,
perolehan suaranya paling buncit. Bahkan perolehan suaranya tidak sampai 20
persen.
Tidak
lama setelah hari belum berganti, sudah dapat dipastikan. Ahok-Djarot dan Anis-Sandi bakal
melanjutkan pertarungannya di putaran kedua. Sekarang, warga Jakarta
betul-betul dibuat sabar menanti pemimpin baru mereka. Sampai April nanti.
Poin
penting dari pilkada Jakarta memberikan dua hal. Pertama, semakin menjelang
hari pencoblosan, mantan presiden ke-6 Indonesia semakin sering ngetwit lewat
akun Twitternya. Dan yang lucu adalah motif mendasar dari cuitan mantan
presiden bertubuh gempal itu: seakan-akan SBY menjadi korban pihak yang menghalang-halangi langkah anaknya menjadi Gubernur baru Jakarta!
Dalam
psikologi, gejala yang ditampakkan SBY menjelang hari pencoblosan dikenal
dengan istilah histrionic personality
disorder. Ini sejenis penyakit mental. Tentu saya tidak akan menyatakan SBY mengalami gangguan mental.
Ini akan menjadi pernyataan kontraproduktif mengingat beliau sudah dua
periode memimpin pemerintahan Indonesia.
Mustahil seorang pemimpin negara mengidap penyakit mental dan mampu memimpin
selama lima tahun berturut-turut. Apa kata dunia!
Tapi,
mungkin saja SBY mengidap penyakit mental yang akrab di kalangan psikolog
dengan sebutan post power syndrom.
Penyakit ini sering menghinggapi orang-orang yang pernah menjadi seorang
pemimpin. Atau tepatnya orang-orang yang tidak lagi menjadi penguasa. “Kehilangan”
kekuasaan menjadi variabel sindrom ini yang ditandai keponya seseorang terhadap
hampir segala hal seakan-akan masih memiliki kekuasaan seperti masa sebelumnya.
Saya mempunyai teman yang bisa diindikasikan mengidap post power syndrom. Gejala teman saya itu ditunjukkan dengan semakin seringnya dia
mengatur segala macam tetek bengek keorganisasian seperti kala dia masih menjadi ketua. Bahkan, dalam hal mengeluarkan pendapat di forum-forum resmi, seakan-akan
dia menjadi wakil organisasi yang pernah dipimpinnya. Omong sana-omong sini.
Selain teman saya itu, saya juga mantan ketua lembaga kemahasiswaan di kampus dulu. Tapi, waktu itu saya belum tahu ada yang disebut penyakit “pasca kekuasaan” ini. Entah saya mengidapnya saat selesai "melaporkan" LPJ atau tidak. What ever-lah.
Kembali
ke SBY. Post power syndrom
ditanggalkan dulu. Anda sendiri saja yang menilai apakah SBY mengidap penyakit
ini. Yang ingin saya ulas di sini soal histrionic
personality disorder. Gangguan
mental berupa seringnya seseorang mencari-cari perhatian seakan-akan menjadi korban
dari perilaku tertentu.
Histrionic personality disorder (HPD) dijelaskan America Psychiatric Association sebagai gangguan kepribadian yang ditandai oleh pola emosionalitas yang berlebihan dan suka mencari perhatian, termasuk keinginan yang berlebihan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Selain itu juga disertai dengan kebiasaan menggoda, suka mendramatisir keadaan/masalah, antusias yang berlebihan dan kelihatan agak genit.
Histrionic personality disorder (HPD) dijelaskan America Psychiatric Association sebagai gangguan kepribadian yang ditandai oleh pola emosionalitas yang berlebihan dan suka mencari perhatian, termasuk keinginan yang berlebihan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Selain itu juga disertai dengan kebiasaan menggoda, suka mendramatisir keadaan/masalah, antusias yang berlebihan dan kelihatan agak genit.
Sekarang
Anda sudah mulai paham apa yang dimaksud HPD, kemudian mengorelasikannya
dengan tindakan SBY yang keseringan ngetwit
di media sosial. Saya sendiri menilai hampir semua gejala yang disebutkan
America Psychiatric Associaton dialami mantan presiden kita itu. Termasuk pada
bagian “keinginan yang
berlebihan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain”, apalagi di kalimat
“suka mendramatisir keadaan/masalah,
antusias yang berlebihan dan kelihatan agak genit”. Baiklah, “kelihatan agak genit” kita hapus saja jika
Anda kurang setuju. Saya juga sulit membayangkan jika SBY berperilaku genit.
Seperti
yang sudah dikatakan sebelumnya, saya enggan menyebut SBY mengidap penyakit ini,
terutama dalam konteks kepemimpinannya saat menjadi presiden. Tapi, siapa bisa
menduga pasca menjadi presiden, SBY malah mengalami gangguan emosional. Atau dengan kata lain, siapa tahu memang semakin ke sini
SBY mengidap HPD. Bisa saja kan!?
Di
antara kesangsian itu, boleh saja disebutkan perilaku keseringan ngetwit SBY belakangan ini adalah
tindakan curahan hati semata. Melalui konteks ini SBY tidak jauh berbeda dari seorang lelaki yang ditinggal nikah kekasihnya secara mendadak.
Sehingga, tiada tempat senyaman media sosial untuk menyalurkan kesedihannya. Kalau
yang ini lain persoalannya. Ini bisa saja sama halnya yang dibahas Hizkia Yosie Polimpung dan Priska Sabrina Luvita dalam salah satu
rubrik di Indoprogress. Persoalan narsisme!
Jadi nampak akan jauh berbeda apa yang diandaikan sebagai tindakatan curhat dengan HPD itu sendiri. Perbedaan paling fundamental antara keduanya adalah melihar dari curahan hati pada situasi yang tepat dan keadaan yang tepat. Sementara HPD merupakan perilaku yang dibuat-buat dengan maksud memanipulasi lingkungan dan orang-orang di sekitarnya.
Jadi nampak akan jauh berbeda apa yang diandaikan sebagai tindakatan curhat dengan HPD itu sendiri. Perbedaan paling fundamental antara keduanya adalah melihar dari curahan hati pada situasi yang tepat dan keadaan yang tepat. Sementara HPD merupakan perilaku yang dibuat-buat dengan maksud memanipulasi lingkungan dan orang-orang di sekitarnya.
Agar semakin terang saya sematkan seasli-aslinya dari Psikologiabnormal.wikispaces.com : Perbedaan antara orang-orang dengan gangguan tersebut (HPD) dengan orang-orang yang menunjukkan perasaannya di saat yang tepat (tindakan curhat) adalah dari sifat keadaan emosional mereka yang sepintas lalu dan maksud mereka memperlihatkan emosi yang berlebihan adalah memanipulasi orang lain daripada mengungkapkan perasaan mereka yang sebenarnya...” Tanda kurung dari saya!
Diagnosa fenomena ini nampak terang
jika perilaku SBY ditelisik dalam
konteks politik. Sebagai bapak AHY, tentu segala macam tindakannya akan dikaitkan dengan konteks
pencalonan anaknya sebagai calon gubernur Jakarta. Apalagi sebagai ketua umum
partai pendukung AHY, perilaku SBY, apap pun itu akan dibaca sebagai tindakan
yang memiliki hubungan dengan anaknya yang sedang nyalon.
Konteks politik yang semakin memanas pasca hari
pemilihan juga bisa mendasari perilaku SBY dianggap sebagai tindakan yang
mengidap HPD. Selain itu, politik pencitraan yang sering kali menjadi jurus
pamungkas SBY, menjadi postulat utama mengapa kesimpulan itu dapat diambil.
Sekarang yang geli jika perilaku SBY itu
dikaitkan dengan kutipan terakhir yang saya potong di atas: “…Gangguan tersebut biasanya lebih banyak
ditemukan pada wanita meskipun begitu tidak jelas apakah karena gangguan ini
lebih biasa terjadi pada wanita atau karena orang-orang yang menyandang label
perilaku histrionic diberi stereotip wanita”. Sudah tentu SBY bukan
wanita. Namun mengkategorikan perilakunya sebagai wanita, itu yang geli-geli
sedap.
Jika membandingkan mantan presiden Amerika
Serikat –negara yang sering kali dirujuk “sang mantan”, Barack Obama, pasca
menjadi warga biasa yang memilih bermain air berselancar di Kepulauan Necker di
British Virgin Island, sementara SBY yang
ingin banyak mendulang “air mata” melalui aktivitas politik ngetwitnya, maka ini menjadi suatu
perbandingan yang dramatik. Mengapa demikian?
Perlu dipahami, Istilah histrionic berasal dari bahasa Latin yang
berarti “aktor”. Di mana pun itu, siapa pun itu, ketika menjadi aktor dia sedang memainkan peran tertentu. Sedang bermain drama. Artinya, apa
pun yang diperankan merupakan wajah palsu yang berbeda dari yang sebenarnya.
Aktor sebaik apa pun perannya, di mana pun itu, hanya bersikap “seolah-olah”.
Itulah
sebabnya, dalam kenyataannya HPD dianggap berbahaya. Penyakit ini sadar atau
tidak memiliki kemampuan memanipulasi perasaan dan perannya demi
mendulang perhatian. Yang berbahaya jika itu sudah melibatkan diri seolah-olah korban dari niat jahat tertentu.
Poin
penting kedua, kemenangan Ahok merupakan cermin pencapaian demokrasi warga
Jakarta. Banyak di antaranya memilih semata-samata bukan karena dorongan primordialisme. Mengingat figurnya yang paling banyak mendapat sorotan, dan aksi
bela agama yang beberapa kali ramai dilakukan di Jakarta, sosok Ahok masih
menjadi pilihan mayoritas warga Jakarta dalam menentukan figur politiknya.
Anis
Baswedan yang juga merupakan keturunan Arab, sebagaimana Ahok, yang diikat takdir
etnisitasnya, bisa melenggang ke putaran kedua, juga menjadi indikator demokrasi
bahwa isu-isu “warga pribumi” yang dikaitkan dengan pilihan politik sudah tidak
mempan untuk menentukan kesadaran politik warga Jakarta.
Demokrasi
yang diandaikan negara-negara modern, selalu mengacu kepada keterlibatan
pilihan bebas dan pilihan rasional. Tentu ini seiring dengan kedewasaan dan
kematangan masyarakat dalam menjalani perannya sebagai warga negara. Irisan menjadi
warga suatu provinsi dan atau menjadi warga negara di sisi lain, hanya bisa
didamaikan dengan ikatan yang sama yang mendasari hubungan antar manusia. Rasionalitas
yang menjadi “hukum universal” dan mengikat secara permanen dua peran
sekaligus, sangat dibutuhkan dalam konteks perpolitikan saat ini.
Konteks
politik yang mengikutkan variabel-variabel determinan semisal agama, ras, suku,
dan jenis kelamin, boleh saja menjadi situasi yang tak terbantahkan sebagai
konteks yang terberi. Takdir ini di situasi tertentu bisa saja mempengaruhi
pilihan politik seseorang, atau bahkan menjadi situasi yang tak bisa ditolak,
namun mengingat manusia sebagai homo
politicon, tentu selalu ada situasi x yang menjadi faktor lain dalam menentukan pilihannya.
Artinya
politik diandaikan sebagai medium bagi orang-orang rasional mengartikan dan
mewakilkan kesadarannya ke dalam suatu tatanan. Dengan kata lain, pemerintahan
sebagai suatu institusi merupakan lingkungan sosiologis bagi kerja sama antara
warga demi menjalankan praktik politiknya. Tentu di dalamnya akan ditemukan
hirarki kepemimpinan, dan pemimpin dari semua itu harus dinilai dari visi dan
misinya dengan pertimbangan yang masuk akal.
Itulah
mengapa, figur rakyat dalam
demokrasi begitu sentral. Selain rakyatlah yang menentukan siapa pemimpin yang bakal dipilih, rakyat pula
yang sejatinya adalah pengontrol kekuasaan dalam sistem yang setara.
Namun,
perlu diingat, di dalam pemerintahan yang demokratis, figur rakyat yang
diadopsi ke dalam figur seorang pemimpin, seringkali mengalami tegangan dengan
sosok-sosok dengan figur yang berbeda dari karakteristik rakyat itu sendiri.
Semisal kualitas rasional yang menjadi karakter utama figur rakyat, pasti akan
mendapat perlawanannya dari figur yang mencerminkan kekuatan berbeda berupa
irasionalitas dlsb.
Maka
akan terlihat jelas dalam kancah politik manapun, pertarungan yang sebenarnya
hanya akan kembali kepada dua ekstrim: rasional vs anti rasional, tatanan vs
chaos, rakyat vs gerombolan, birokratisme vs feodalisme, dlsb.
Syahdan,
dilihat dari dua tegangan; rasional dan irasional, dalam berpolitik kadang
membuat orang lelah dan membutuhkan kawan curhat. Bukan main variabel persoalan yang harus diperhitungkan. Bahkan, mungkin karena itu membuat orang akhirnya malah mengidap histrionic personality disorder. Apalagi dilakukan sambil curhat. Jangan sampai deh!