Relasi Panjang Ekor Kadal dengan Intoleransi Masyarakat Sekitar Garis Khatulistiwa (Studi Kasus Masyarakat Peternak Kambing)


Alan Sokal. 
Profesor fisika di New York University. 
Ia menulis paper di Jurnal Social Text berjudul Transgressing the Boundaries: Towards a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity, yang ternyata hanya menguji kadar keilmiahan para editor jurnal tersebut. 
Karena “ulahnya” ini muncul istilah Hoaks Sokal. Paper yang ia tulit ternyata hanya kebohongan belaka namun lolos di meja redaksi jurnal Social Text


Saya ingin di suatu waktu dapat meneliti setiap pengunjung warkop dalam hubungannya dengan aktivitas mereka di dunia maya. Atau, meneliti anak-anak muda era kiwari seberapa sering mereka berkunjung di pusat-pusat perbelanjaan. Atau, meneliti faktor-faktor apa saja yang menyebabkan mengapa masih banyak anak-anak muda jarang mengunjungi perpustakaan. Atau, jika memang memiliki kesempatan dan modal waktu yang cukup, saya juga ingin meneliti bagaimana pandangan rektor-rektor kampus di Makassar tentang minimnya penelitian di kalangan tenaga pengajar mereka.

Pada kasus yang pertama, yang membuat saya ingin melakukannya karena, pertama, saya memang sedikit rajin datang ke warkop. Kedua, warkop tempat saya sering mangkal tidak dapat untuk dikatakan sepi pengunjung. Ketiga, dari amatan sederhana saya, banyak di antara mereka sangat betah duduk berlama-lama ketika berselancar di dunia maya.

Dua alasan pertama di atas akan menjadi modal berharga dalam melakukan penelitian. Itu akan memudahkan saya ketika berada di lapangan. Dua alasan ini akan membuat saya mengetahui sedikit banyaknya suasana dan latar belakang tempat saya mencari informasi. Intinya, saya tidak akan menemukan kesulitan berarti ketika sudah berada di lapangan. Tapi, dari semua alasan itu, alasan ketigalah yang membuat saya tergerak untuk meneliti. Saya penasaran.

Jika dibuatkan pertanyaan sederhana tentang aktifitas berselancar mereka di dunia maya, pertama adalah, apa yang mendorong mereka datang ke warkop bersangkutan? (tentu warkop yang saya maksud adalah warkop yang sama dengan warkop yang sering saya kunjungi) Kedua, seberapa seringkah mereka mengunjungi warkop bersangkutan? Jika mereka rajin datang ke warkop yang sama (sebelumnya akan saya tentukan indikator rajin secara kuantitatif seperti yang diajarkan dalam metode penelitian kuantitatif), maka pertanyaan saya selanjutnya yakni, dalam waktu kapankah kunjungan itu dilakukan? Jika misalnya jawaban mereka terbagi dua, yaitu di waktu malam dan atau siang hari, maka pertanyaan lanjutannya tentu adalah “mengapa kunjungan Anda ke warkop di saat waktu malam dan atau siang hari? Tidak adakah waktu lain?” kemudian pertanyaan lainnya, “dalam rangka apakah Anda datang ke warkop di waktu yang sering Anda lakukan?” Seterusnya, seterusnya, dan seterusnya.

Pertanyaan saya tentu akan panjang tergantung apa persoalan yang akan saya ketahui. Tapi untuk kasus saya yang pertama ini adalah dalam rangka mengetahui aktivitas apa sajakah yang mereka lakukan di dunia maya? Apakah kegiatan itu bersifat rekreatif, edukatif, ataukah komunikatif? Tiga terma ini tentu akan saya urai sebelumnya tentang apa yang saya maksud sebagai aktifitas rekreatif, edukatif, dan komunikatif. Dan, dalam pikiran saya mengenai tiga aktifitas ini, pertanyaan saya juga akan berhubungan dengan situs-situs apa saja yang sering mereka kunjungi.

Saya ambil contoh yang dimaksud dengan aktifitas rekreatif, misalnya, adalah tindakan berselancar di dunia maya yang digunakan mengunjungi situs-situs, semisal youtube, situs film, ataupun hiburan lainnya. Indikator ini juga bisa diperluas dengan menetapkan terlebih dahulu yang dimaksud dengan aktivitas rekreatif adalah aktivitas yang bertujuan hanya untuk hiburan semata. Atau aktivitas berselancar ketika hanya ingin bersenang-senang di waktu senggang.

Jika Anda peneliti yang baik, pasti Anda akan jeli menetapkan apa yang dimaksud dengan tiga terma kunci di atas. Tanpa kejelasan tiga istilah kunci di atas, penelitian Anda akan susah menemukan hasilnya.

Tapi, sebelum Anda membuat sejumlah pertanyaan semisal “seberapa seringkah Anda mengunjungi situs-situs orang dewasa?” pastikan sebelumnya Anda sudah menetapkan siapa yang akan Anda ambil keterangannya sebagai sumber informasi atau subjek penelitian. Misalnya ketika Anda ingin meneliti kasus dengan judul penelitian “Hubungan Panjang Ekor Kadal dengan Intoleransi di Masyarakat Sekitar Garis Khatulistiwa” maka Anda sudah harus tahu kepada siapa daftar pertanyaan Anda akan diajukan. Untuk penelitian kualitatif misalnya, cara menyaring siapa yang bakal menjadi calon informan Anda, ditentukan sebelumnya dengan kriteria informan yang sudah Anda siapkan. Biasanya ini dikenal dengan istilah inklusi dan eksklusi.

Kembali di kasus saya yang pertama, pengunjung warkop yang saya maksudkan adalah orang-orang yang dalam waktu tiga kali sebulan mengunjungi warkop yang sama. Kemudian, mereka bejenis kelamin pria dan wanita (tentu ini sudah menjadi aturan main yang sering sekali ditulis sebagai kriteria informan), berumur 19 tahun ke atas, mengetahui dan memahami penggunaan laptop atau gadget, memiliki akun dunia maya (semisal facebook atau sejenisnya), berselancar selama minimal dua jam setiap kunjungannya, mau memberikan informasi tanpa ada paksaan, dan bersedia menandatangani surat persetujuan penelitian.

Kriteria informan di atas dengan sendirinya akan menetapkan kriteria sebaliknya mengenai orang-orang yang tidak layak saya jadikan informan dan saya ambil keterangannya. Jika ini tidak terdefenisikan dengan jelas, secara metodelogi penelitian saya ini dinyatakan gagal.

Saya menduga jawaban yang paling umum saya temukan adalah, untuk pertanyaan semisal “pada waktu kapan Anda berkunjung ke Warkop bersangkutan?” adalah malam hari.  Ketika diajukan pertanyaan “apa yang membuat Anda berkunjung di waktu malam hari, apa menariknya untuk Anda?” barangkali informan saya akan menjawab begini: “sebenarnya saya juga ingin datang selain malam hari, misalnya jika hari libur akan saya gunakan waktu sore. Tapi, kan saya seorang mahasiswa, hampir semua waktu saya gunakan di dalam kampus. Saya kuliah. Hampir setiap hari hingg sore” atau “Saya hanya punya waktu luang di malam hari, apalagi jika di pagi hari saya bekerja. Sebelum saya pulang ke rumah, akibat di dekat rumah ada warkop, maka saya sering singgah untuk sekalian beristirahat. Di rumah anak saya sering kali rewel. Bikin pusing.” Atau beragam kemungkinan jawaban lainnya.

Jawaban akan semakin menarik jika, misalnya, aktivitas berselancar informan saya ternyata lebih banyak digunakan untuk aktifitas komunikasi dan rekreasi, misalnya. Tentu kemungkinan besar pertanyaan-pertanyaan saya akan berputar sekitar media sosial apa yang digunakan saat Anda berkomunikasi? Apa yang membuat Anda menyenangi media sosial (Fb, misalnya) sebagai media berkomunikasi? Dengan siapa saja Anda bersedia berkomunikasi? Apa yang Anda sering omongkan? Pentingkah yang Anda omongkan itu? Tertarikkah Anda chattingan dengan orang yang baru Anda kenal? Mengapa Anda lebih tertarik chattingan dengan lawan jenis? Dan sebagainya, dan seterusnya.

Jika lebih ingin cair, pertanyaan saya akan saya sesuaikan dengan jawaban-jawaban yang diberikan informan saya. Artinya pertanyaan saya sudah pasti tidak akan sama modelnya dengan jenis pertanyaan di atas. Itu artinya, pertanyaan saya tergantung dari seperti apa jawaban informan saya. 

Di saat wawancara berlangsung, akan jauh lebih mengasyikkan jika itu dilakukan saat kami bersendagurau dan sambil menikmati secangkir kopi. Itu akan membuat informan saya dalam situasi yang paling dia senangi. Jawaban  akan jauh lebih jujur dan apa adanya jika keadaan nampak demikian. Tentu lebih mudah lagi jika selain jujur, informan saya memiliki sikap yang terbuka.

Sampai di sini, wawancara mungkin akan menjadi sedikit serius jika ada pertanyaan saya tentang berita-berita hoax. Barangkali akan saya ajukan semisal: “hari ini di dunia maya seringkali banyak beredar berita hoax, pendapat Anda tentang itu seperti apa?” “bagaimana cara Anda menyikapi berita-berita hoax?” atau “Anda sendiri, jika membaca berita hoax, percayakah Anda dengan itu?” “Jika Anda menemukan akun yang sering menyebar berita hoax, bagaimana sikap Anda?” Tentu daftar pertanyaan saya ini seperti pertanyaan lainnya, akan panjang dan seterusnya, seterusnya,dan seterusnya.

Pasti saya akan menemukan jawaban yang variatif (seperti pertanyaan sebelum-sebelumnya). Dan bisa jadi pertanyaan saya di atas juga akan menjadi lebih beragam lagi tergantung jawaban apa yang diberikan informan saya.

Akhirnya penelitian saya ini akan menjadi kegiatan yang membuat saya sibuk menongkrongi warkop. Waktu saya akan banyak dimanfaatkan hanya untuk mengetahui salah satu rumusan masalah: Seperti bagaimanakah aktifitas edukasi pengguna internet di dunia maya dalam konteks melawan sikap intoleransi? Juga bisa seperti: Seberti bagaimanakah pengguna internet mengelolah informasi yang berkaitan dengan berita-berita bernada rasis dan intoleran? Mungkin saja saya membutuhkan serangkaian jenis pertanyaan lainnya untuk menjawab dua rumusan persoalan ini seperti juga beberapa tema penelitian yang saya ajukan di atas.

Sampai di sini saya teringat tentang hasil diskusi di salah satu stasiun televisi terkait merebaknya paham radikal keagamaan. Di sebutkan kala itu, maraknya aksi-aksi radikalisme saat ini ternyata memiliki hubungan dengan menyebar massifnya berita-berita yang berusaha menanamkan pemahaman keagamaan garis keras melalui media sosial. Era kekinian, model dakwah pemahaman agama garis keras bukan lagi via mimbar ke mimbar, melainkan sudah memanfaatkan kemajuan teknologi informasi berupa jaringan media sosial. Disebutkan salah satu narasumber acara itu, penting kiranya setiap ormas-ormas keagamaan (juga orang-orang, atau komunitas) yang ikut mengkhawatirkan fenomena ini, juga memanfaatkan media sosial untuk membangun pemahaman yang baik tentang agama yang disalahgunakan.

Syahdan, tiga tema di atas sebelumnya tidak akan saya bahas. Biarlah itu menjadi penelitian bagi mahasiswa-mahasiswa yang kurang kerjaan. Bisa saja di antara Anda ada yang kebingungan menentukan tema penyelesaian akhir. Atau seorang doktor yang kekurangan ide menentukan tema penelitian demi gelar profesornya kelak.

Baiklah, sejumlah masalah di atas saya kira bisa menjadi lebih serius jika Anda menanggapinya dengan serius pula.