Ketika
hujan masih lebat, kami tidak menyangka, bermain air dapat membuat lupa
segalanya. Berlari di jalan lenggang, bergumul di genangan air, sambil bermain
lumpur.
Saat
rumah-rumah menutup pintunya, kami memilih keluar mandi hujan. Hujan bagi kami
anak-anak lanang, memang harus dirayakan.
Bahkan,
hujan waktu itu membuat tubuh kecil kami bebas kencing tanpa harus bersembunyi
di sela-sela pohon pisang. Sering kami melakukannya saat berlari. Atau ketika
menggigil di bawah pohon kapuk.
Yang
paling aneh kami rasakan ketika air hujan bercampur air seni yang mengucur di
belahan paha. Rasanya tidak bisa dibilang hangat. Tapi, kami tahu itu juga
tidak bisa disebut dingin.
Dari
semua itu, bermain sepak bola adalah permainan yang paling menyenangkan. Di
depan rumah, lapangan sepak bola menjadi licin kalau hujan. Akibatnya, sleding
yang tidak mungkin kami lakukan ketika lapangan kering, malah begitu
mengasyikkan dilakukan.
Tapi
hampir mustahil menggiring bola di genangan air. Satu-satunya cara membuat bola
bisa bergerak ketika itu hanya harus menggunakan teknik cungkil.
Waktu
itu berarti kami harus menendang bola seperti cara cangkul digunakan. Kaki kami
harus menendang sedalam seperti cangkul menghujam tanah. Semakin dalam semakin
bagus.
Lapangan
sepak bola merupakan tanda bagaimana kami sering bergotong royong melakukan
sesuatu. Jika musim penghujan tiba, rumput ilalang yang panjang harus segera
dicabut dan dibakar.
Karena
itu kami memotong rumput bersama-sama. Mengumpulnya bersama-sama, dan
menunggunya kering bersama-sama pula. Jika suatu sore tanpa hujan, rumput yang
kering segera kami bakar.
Sesekali
dua kali kami sering bertanding melawan anak-anak dari kompleks perumnas.
Kadang pula pertandingan kami dimaksudkan untuk berjudi. Kala itu satu gol lima
ratus rupiah. Uang hasil kemenangan dipakai membeli es lilin.
Saya
masih ingat pemimpin anak-anak perumnas ketika itu bernama Roy. Saya mengenal
Roy karena kami satu sekolah tingkat menengah pertama. Saya kala itu kelas satu
empat, Roy kelas satu tiga. Kelas kami bersebelahan.
Sering
kali kesepakatan bertanding antara kami sudah disusun kala di sekolah. Roy
biasanya menyatakan niatnya itu ketika kelas sedang istirahat. Jam empat sore
waktu yang kami sepakati. Lapangan tempat pertandingan tentu sepetak tanah di
depan rumah saya.
Ketika
Roy sering membesar-besarkan Inter Milan, saya sering menyebut-nyebut Zvonimir
Boban sebagai pemain ideal kala itu. Boban pemain tengah AC Milan asal Kroasia.
Pemenang ketiga piala dunia 1998.
Kebiasan
saat harus bermain bola, kami sering menggunakan nama pemain-pemain kesukaan
sebagai nama samaran. Tentu Boban menjadi nama samaran saya. Semenjak saat itu
saya sering dipanggil Boban.
Barangkali
di mata kami agama bukan soal penting. Kami lebih senang memikirkan di mana
harus mencari kalong di malam hari. Atau bagaimana cara membuat layang-layang.
Atau di mana harus berkeliling berjualan es lilin. Atau dahan pohon apa yang
baik digunakan menjadi gagang ketapel. Atau, di hutan bagian mana kami harus
membangun markas jika ingin bersembunyi merokok.
Semua
obrolan itu kadang kami lakukan ketika memanjati pohon kapuk, atau di saat sore
hari dijatuhi mega dengan warna merah saga di belakangnya. Atau di saat kami
mengotori baju dengan gambar-gambar sablon klub liga Italia dari cat berwarna
merah atau biru.
Orang
tua kami juga tidak pernah dipusingkan hanya karena kami berbeda agama. Sering
kali malah orang tua saya hanya marah-marah jika buah mangga yang hampir matang
hilang dicuri teman-teman saya. Atau bola kaki yang sering kali menyosor masuk
rumah membuat suara mirip ledakan ketika mengenai penutup jendela yang terbuat
dari seng.
Pernah
suatu kali, saya diberitahu jika bermain di rumah teman yang beragama Nasrani
agar memerhatikan makanan yang diberikan. Kadang karena rasa khawatir orang tua
saya hanya menyarankan makanlah kue-kue yang memang tidak dimasak langsung.
Makanlah makanan yang terbungkus plastik, itu lebih baik.
Tapi
kadang saya tidak memerhatikan anjuran ibu saya. Itu saat saya sering kali
bermain di rumah Putut yang beragama Hindu. Di rumahnya itu kadang saya bebas
menghabiskan makanan rumah masakan ibu Putut. Pikir saya orang Hindu tidak suka
mengkonsumsi daging babi.
Saya
pernah diceritakan ketika tetangga di sebelah rumah ingin membagikan makanan
yang berlebih, mereka lebih memilih memberikan seekor ayam hidup. Mereka tahu,
kalau kami memakan daging ayam , maka itu harus dipotong berdasarkan cara
Islam. Mereka tidak ingin membuat kami khawatir jika yang diberikan tidak
terjamin kehalalannya. Itu sebab ayam hidup yang mereka berikan.
Jika
bulan Desember tiba, itu berarti sering kali ada dua perayaan di bulan yang
sama. Kami seringkali bergantian saling mengunjungi jika Lebaran dan hari Natal
datang menjelang. Jika sepulang berkunjung perut kami kekenyangan akibat
kue-kue yang dimakan dan disembunyikan di dalam saku baju dan celana kami.
Saya
masih ingat minuman kaleng bernama Fanta menjadi incaran kami jika saling berkunjung.
Memperlihatkan bibir yang merah kala itu adalah suatu kebanggaan. Maklum,
minuman bersoda itu hanya dapat kami lihat jika di perayaan hari lebaran
ataupun natal.
Apabila menjelang puncak hari Natal, saya sering mendengar nyanyi-nyanyian yang dikidungkan gereja yang tak jauh dari rumah. Semakin mendekati hari Natal, semakin intens teman-teman saya ke gereja. Saya sering berpikir, pasti mereka ikut bernyanyi jika lagu-lagu pujian didendangkan.
Saya
senang mendengar lagu-lagu mereka. Hal seperti itu tidak pernah saya temukan
jika di dalam masjid. Suara mereka ketika bernyanyi nampak membuat saya
berpikir betapa khusyuknya mereka menjalani ibadah.
Sampai
hari ini saya menyadari jika banyak penyanyi-penyanyi terkenal yang bersuara
emas karena mereka sebelumnya adalah penyanyi-penyanyi di gereja. Saya takjub
cara mereka memuja Tuhan.
Sampai
akhirnya tiba di hari yang tidak pernah saya lupakan. Ketika Kota Kupang
mengalami kerusuhan berdarah sebagaimana yang di alami dari Timor Timur. Saya
mendengar di hari-hari penuh ketegangan itu, banyak orang saling serang
menyerang. Beberapa hari kemudian saya tahu kerusuhan itu membawa-bawa isu
agama.
Ketika
di tempat umum banyak penduduk muslim diserang, banyak pula rumah-rumah mereka
yang jadi sasaran amukan massa. Banyak saya mendengar kala itu siapa pun
penduduk beragama Islam harus berhati-hati. Apapun yang hendak dilakukan sebisa
mungkin agar bersembunyi di dalam rumah.
Dan
tiba di suatu malam kerusuhan hampir memasuki perkampungan kami, banyak
kasak-kusuk kalau rumah-rumah penduduk muslim di perumnas banyak yang dirusak
massa. Banyak tiang listrik dipukul-pukul memberi peringatan. Dan semua itu terjadi
di malam buta akibat listrik yang diputus tiba-tiba.
Saat
itu yang bisa dilakukan hanya bersembunyi di rumah tetangga kami yang beragama
Nasrani. Kami berkumpul di ruang tamu dihinggapi rasa was-was. Mendengar tiang
listrik yang bertalu-talu mengeluarkan bunyi yang mengerikan sambil berdoa di
malam tanpa lampu penerangan.
Jika
saat itu tetangga kami melihat kami dari simbol-simbol agama, bukan mustahil
mereka rela membantu kami. Tapi, di hari yang menegangkan itu, tiada rumah yang
bersedia memberikan bantuannya selain rumah tetangga kami yang berbeda keyakinan.
Itulah
sebabnya jika akhir-akhir ini banyak simbol-simbol umat kristiani yang dianggap
mengganggu akidah umat muslim, saya langsung mengingat kebaikan keluarga
tetangga kami yang berbeda keyakinan. Dulu mereka tidak pernah menyoal
perbedaan yang terang di antara kami.
Sekarang
atribut-atribut malah menjadi kekhawatiran yang berlebihan. Apalagi jika harus
melakukan razia untuk memastikan tidak ada penggunaan atribut-atribut Natal
bagi penduduk muslim yang bekerja di tempat umat kristiani. Itu sungguh
keterlaluan.
Saya
juga merasa sedih jika di hari umat kristiani menjalankan hari-hari peribadatan
Natalnya, di hati mereka berkecamuk rasa tidak aman. Merasa tidak nyaman dengan
perlakuan sekelompok orang yang mati-matian mempersoalkan simbol-simbol.
Sungguh
simbol bukanlah suatu soal, yang sesungguhnya soal adalah bagaimana sikap kita
saling memahami dan bertindak toleran di antara beragam keyakinan. Memberikan
semua orang rasa nyaman ketika menjalankan ibadahnya.
Selamat
menjelang hari Natal saudara-saudaraku.