Menulis hakikatnya tindakan
revolusioner. Maksudnya, peralihan dari ide menjadi karya tulis merupakan
peristiwa dahsyat. Itu sebabnya, tak banyak yang berani menulis. Banyak yang
tidak mampu menanggung peristiwa dahsyat tersebut. Makanya tidak sedikit
memilih hanya berkata-kata. Atau bahkan diam.
Karena menulis tindakan
revolusioner, hanya orang-orang berani yang melakukannya. Kenapa demikian?
Karena memilih menjadi penulis, berarti memilih menjadi pribadi yang soliter.
Pribadi yang kerap sendiri.
Bagaimana itu dijelaskan? Pertama,
era kiwari, bangsa kita sedikit melahirkan penulis-penulis. Jika disebutkan
minat baca bangsa ini rendah, itu juga bermakna sedikitnya penulis-penulis
bermunculan tiap generasi. Kedua, bangsa ini bukan bangsa yang ramah kepada
penulis. Ketiga, coba cari orang-orang di sekitarmu, adakah dia seorang
penulis? Atau rajin dan senang menulis?
Lantas bagaimanakah menjadi seorang
pemberani? Menjadi seorang penulis?
***
Anda seorang mahasiswa. Mahasiswa
memiliki beban historis. Sejarah mahasiwa, sejauh dipahami dalam konteks
kemerdekaan, berkaitan langsung dengan tulis-menulis. Dengan cara itu, sejarah
Indonesia dibentuk. Gagasan-gagasan disemai. Bahkan melalui tulisan, bangsa ini
memproklamasikan kemerdekaannya.
Sekarang, Anda sudah merdeka. Yang
tinggal hanya sebilah tongkat estafet perjuangan pahlawan-pahlawan. Senjata
Anda bukan bambu runcing, juga senjata api berpopor kayu. Anda punya pena dan
kertas, bahkan alat canggih berupa laptop. Itulah senjata Anda. Melawan siapa?
Melawan diri Anda. Beranikah Anda menulis?
Pertama-tama, Anda seorang pemberani karena memilih menjadi
mahasiswa. Otomatis keberanian sudah Anda punyai. Itu modal utama Anda.
Sekarang apa yang mesti dilakukan?
Banyak penulis memulai dirinya
menjadi seorang pembaca. Ini hukum pasti. Bahkan di antaranya menjadikan ini
kebutuhan. Sulit rasanya mau menulis jika tidak disokong tradisi membaca.
Penulis handal pasti seorang pembaca tulen.
Kedua, perluas aktivitas Anda.
Seorang penulis kadang seorang yang menyukai pertukaran pemikiran. Ini
seringkali ditemukan di dalam komunitas-komunitas. Kalau melihat sejarah
pemuda-pemudi, banyak di antaranya ditopang organisasi-organisasi
kemahasiswaan. Dari sana, ide-ide yang semula mengendap dalam kesadaran dapat
ditransformasikan, didiskusikan, bahkan didebatkan.
Ketiga perbanyak latihan menulis.
Hal ini berseiringan dengan daya jelajah bacaan Anda. Semakin banyak bacaan
Anda, semakin banyak latihan dijadikan contoh. Menulis itu bukan bakat yang
menentukan, justru latihanlah kuncinya.
***
Esai, opini, dan artikel, menurut
saya bukan suatu hal yang penting dibedakan. Esensi tiga nama ini sama. Entah
esai, opini, atau artikel, karya tulis yang memiliki bentuk yang sama. Jika
hendak dibedakan, ketiganya berbeda akibat kadar keilmiahan di dalamnya.
Yang paling utama adalah bagaimana
menulis tanpa kehilangan cara yang paling nyaman. Entah esai yang mengutamakan
refleksi, opini yang mengutamakan pendapat pribadi, atau artikel yang
mengedepankan analisis data-data, cara ketika dituliskan tergantung bagaimana
Anda menyatakannya.
Ini berarti, cara menulis yang
paling baik adalah cara Anda sendiri. Walaupun banyak di antaranya menulis
adalah cara meniru gaya seseorang, tapi itu hanya berarti sementara.
Setiap penulis memang di awal membina karir memiliki patron tempat dia
mengidentifikasi diri. Tapi, seiring perkembangan, dirinyalah yang menjadi
patron itu sendiri.
Setiap penulis memiliki sidik
jarinya masing-masing, kata Alwy Rachman, seorang scholar ilmu budaya. Artinya,
tak ada yang menyerupainya. Melalui sidik jari itulah setiap penulis membangun
kepribadiannya. Menemukan dirinya, dan akhirnya menetapkan cara dan gaya
menulisnya. Itu juga berarti setiap penulis memiliki karakternya masing-masing.
Jadi jika ada pertanyaan bagaimana
metode paling baik ketika menulis esai, atau opini, misalnya? Itu berarti
bagaimana cara Anda mengenal diri pribadi. Melalui ilmu budaya mutakhir, yang
disebut diri, aku, bukanlah entitas yang ajeg.
Aku-diri adalah identitas yang mempertautkan beragam pengalaman. Aku-diri, identitas yang dibentuk pertukaran gagasan, nilai, kebiasaan, dan tradisi. Aku-diri hakikatnya, identitas yang senantiasa berkembang. Identitas yang personal dan khas.
Aku-diri adalah identitas yang mempertautkan beragam pengalaman. Aku-diri, identitas yang dibentuk pertukaran gagasan, nilai, kebiasaan, dan tradisi. Aku-diri hakikatnya, identitas yang senantiasa berkembang. Identitas yang personal dan khas.
Sehingga metode apa yang paling
baik ketika membangun karya tulis? Katakan, semua cara baik. Setiap orang
memiliki caranya masing-masing. Sebagaimana identitas diri, gaya seorang
menulis mengikuti keunikan seseorang. Jadi jika ada cara menulis paling baik,
maka katakan, “cara saya yang terbaik.”
Satu-satunya cara menulis hanya
dengan melakukannya. Teori berlebihan kadang tidak berfaedah banyak. Akhirnya,
pilihlah judulmu, mulailah dari sana.
*Disampaiakan saat pelatihan
menulis Pendidikan Sejarah UNM