(Dosen pengampu: Muhammad Ashar, Pengasuh Lembaga Kajian Filsafat Lentera Makassar)
***
FILSAFAT di tangan Martin Heidegger, bukan sekadar produk pikiran yang licin dalam
benak, dan tangkas ketika berargumentasi. Filsafat, sejauh yang ditunjukkan
Heidegger, harus dinyatakan ulang dan dimulai dari pertanyaan, apa arti
berfilsafat sesungguhnya?
Pertanyaan
reflektif dengan tujuan membangun kembali pengertian filsafat itu, dibenahi
Heidegger dengan pertamatama menunjukkan bahwa berpikir filosofis, tidak
seperti yang selama ini diketahui sebagai upaya argumentatif atas dan dari
kesadaran manusia. Yakni yang terpahami sebagai suatu proses yang berpusat dari
dalam kesadaran. Berpikir fundamental menurutnya bukan berarti menganalisis,
melainkan mengingat Ada agar Ada itu terwahyukan.
Melalui
buku yang ditulisnya sekira tahun 1952, Was Heibt Denken? (Apakah
Berpikir Itu?) Heidegger berusaha menunjukkan pengertian yang berbeda dari
defenisi berpikir yang selama ini diliputi kesepakatan. Berpikir,
dibilangkannya lebih daripada “roh” (geist) atau “otak” (gehirn). Berpikir itu
“hati” (herz), sebab hati merupakan pusat ingatan dari seluruh tindakan
manusia. Hati, menurut Heidegger, bekerja dengan cara aufnehmen, semacam
proses merekam yang mengilhami pemikiran sejati. (1)
Perubahan
mendasar dari konsep berpikir ini, sekaligus jalan pulang yang diupayakan
Heidegger untuk menemukenali apa yang dianggapkannya sebagai gejala mendasar
dan problematik di dalam tubuh filsafat. Dengan jalan memutar yang ditempuhnya,
Heidegger kembali menggeledah konsep keberadaan yang terlanjur diabaikan
semenjak temuan cogito Rene Descartes.
Filsafat
Cartesian (modern) yang dibentangkan dari cogito sebagai pusatnya,
malah membangun distingsi antara cogito (aku) dengan sum (ada)
yang ditunjukkan manusia ketika berpikir. Pembelahan ini, di dalam tradisi
filsafat Barat, lebih berorientasi kepada “sang aku” yang berpikir, tinimbang Ada
yang selama ini disisihkan dan terabaikan.
Perubahan
radikal yang ditunjukkannya, akhirnya memutar orientasi filsafat agar lebih
mengutamakan Ada (dunia yang dipikirkan) dibanding Aku (subjek
yang berpikir). Pasca Rene Descartes hingga Immanuel Kant, “sang aku” menjadi
tumpuan fondasional yang diterangkan dan didedah dalam mempersepsi Ada.
Melalui cara berfilsafat demikian, Ada senantiasa hanya menjadi objek
deskriptif yang direfleksikan melalui ruang sadar “sang aku”.
Akibatnya, Ada,
hanyalah bentangan dunia yang mengikuti konstruksi ruang sadar “sang aku” untuk
diketahui. Ada, akhirnya hanya mampu terpahami sejauh ia diberlakukan
berdasarkan pikiran dan kesadaran “sang aku”. Ada, dengan demikian,
hanya mampu ada sejauh dipahami dan dibenakkan di dalam dunia sadar “sang aku”.
Sebaliknya,
di dalam imajinasi filosofis Heidegger, Ada ditempatkan sebagi
episentrum. Ada, di benak Heidegger adalah segalanya. Bahkan, Ada adalah
keseluruhan totalitas yang meliputi manusia. Dengan kata lain, manusia hanyalah
mahluk yang sedang mengalami Ada. Dari cara demikian, sesungguhnya yang
harus diperhatikan di dalam seluruh refleksi filosofis bukanlah “sang aku” yang
diliputi Ada, melainkan Ada itu sendiri sebagai totalitas.
Ada,
di dalam sejarah pemikiran manusia, dinyatakan Heidegger telah tersisihkan dari
ruang sadar manusia. Itu sebabnya, Heidegger diingat dalam setiap benak pelajar
filsafat, sebagai filsuf yang memawaskan manusia agar kembali mengingat Ada.
Bahkan, Heidegger memantik kesadaran dengan mengajukan: apa artinya
berada?
***
Martin
Heidegger merupakan murid cemerlang Edmund Husserl. Kecemerlangan Heidegger,
dikatakan Muhammad Ashar, ditandai dari penguasaannya terhadap fenomenologi
yang dijarkan Husserl. Bahkan, di dalam penguasaan Heidegger, fenomenologi
lebih fenomenologi dari apa yang selama Husserl ajarkan. Walaupun demikian,
Heidegger harus mengambil jalan berbeda dari mentornya.
Seperti
yang disampaikan Ashar, ada dua sebab mengapa Heidegger mengambil jalan berbeda
dengan Edmund Husserl. Pertama, didasari akibat pemahaman teoritik yang berbeda
berkenaan dengan fenomenologi itu sendiri, dan yang kedua adalah praktik
Heidegger di dalam kancah politik Jerman. Dari perbedaaan yang pertama
melahirkan konsepsi fenomenologi yang dikenal berasal dari Heidegger sebagai
fenomenologi ontologis, sementara yang kedua, Heidegger dipersangkakan turut
menyepakati konsepsi politik Nazi dengan keterlibatannya di dalamnya.
Keterlibatan
Heidegger dengan Nazi, menurut F. Budi Hardiman dalam suatu rekaman kuliahnya,
ditandai dengan uraian pidato pertama Heidegger di saat menjabat sebagai rektor
di Universitas Freiburg Jerman. Menurut Hardiman, di dalam pidatonya, terungkap
pandangan Heidegger secara implisit berkenaan dengan “ego” kebesaran Bangsa
Jerman sebagai pribadi yang besar di dalam kancah dunia. Walaupun demikian,
keikutesertaan Heidegger di dalam politik Nazi Jerman, sampai saat ini masih
bersifat debatable, apakah keikutsertaannya di dalam Nazi dengan
sendirinya menandai kesepakatannya terhadap konsepsi tindakan politik Nazi saat
itu.
Telah
disinggung sebelumnya, fenomenologi Heidegger dinyatakan sebagai fenomenologi
ontologis. Pergeseran secara radikal yang ditunjukkannya, mengalihkan pemahaman
fenomenologi Husserl yang ditasbihnya masih termuati unsurunsur
idealisme, tinimbang dunia sebagai pusat yang sebenarnya harus diperhatikan.
Penolakkan ini, akibat Husserl begitu kuat membangun filsafat fenomenologinya
yang tetap bertumpu kepada kesadaran “sang aku” sebagai elemen penting dalam
membangun pemahaman terhadap dunia. Pengabaian terhadap dunia inilah yang di
tangan Heidegger, dikembalikan kepada posisi sentral sebagai titik tolak
filsafat fenomenologi ontologisnya.
Fenomenologi
ontologis Heidegger salah satunya dapat dipahami melalui radikalisasinya
terhadap konsep intensionalitas yang pernah diperkenalkan Edmund
Husserl. Menurut Heidegger, intensionalitas bukan sekadar kesadaran yang terarah akan sesuatu,
melainkan kesadaran dalam/sebagai sesuatu. Radikalisasi ini bermakna
kesadaran tidak saja berisi “pahaman atau tema sesuatu”, tapi jauh lebih dalam
dari itu, yakni manusia tidak saja serta merta menyadari sesuatu,
melainkan “sesuatu” dalam kesadaran itu turut membentuk dunia manusia.
Ada empat kritikan mendasar Heidegger terhadap Edmund Husserl. Menurut Ashar, pertama, Edmund Husserl dinyatakan Heidegger masih terjebak di dalam pemahaman idealisme. Pemahaman idealisme Husserl walaupun diungkapkan dengan cara fenomenologi, dinilai karena membangun pembedaan antara subjek pengetahu dengan objek diketahui. Relasi yang diandaikan dengan cara demikian, tidak disadari Husserl akibat membelah pemahamannya berdasarkan logika Cartesian.
Ada empat kritikan mendasar Heidegger terhadap Edmund Husserl. Menurut Ashar, pertama, Edmund Husserl dinyatakan Heidegger masih terjebak di dalam pemahaman idealisme. Pemahaman idealisme Husserl walaupun diungkapkan dengan cara fenomenologi, dinilai karena membangun pembedaan antara subjek pengetahu dengan objek diketahui. Relasi yang diandaikan dengan cara demikian, tidak disadari Husserl akibat membelah pemahamannya berdasarkan logika Cartesian.
Ditilik
dari keagenan subjek, Husserl justru mengabaikan objek diketahui sebagai
bagian integral dalam kesadaran subjek pengetahu. Ashar membilangkan bahwa
Husserl dengan sendirinya mengabaikan objek luar sebagai satuan yang terlepas
dari kesadaran. Pengabaian yang demikian membuat kesadaran dari subjek
pengetahu menjadi terlepas dari objek diketahui. Artinya, dengan
sendirinya Edmund Husserl mengulang tradisi idealisme yang menempatkan ide
sebagai satusatunya realitas yang diakui.
Pendakuan
Husserl yang menempatkan ide sebagai satusatunya fenomena yang bisa teramati,
ditampik Heidegger dengan menyatakan Husserl dengan sendirinya menolak objek
faktual. Asumsi ide sebagai satusatunya realitas, akan sangat problematik
ketika ide sesuatu di dalam pemahaman ingin dibuktikan nilai
kebenarannya. Penolakkan objek faktual Husserl, akhirnya terjebak kepada solipisme dengan
pendakuan terhadap ide itu sendiri sebagai satusatunya ukuran kebenaran.
Kritik
mendasar kedua ditujukan Heidegger kepada konsep epoche yang
menjadi konsep kunci Husserl dalam membayangkan fenomena murni tanpa prasangka. Epoche di
dalam imajinasi Husserl adalah mekanisme penundaan praanggapan, prasangka, dan
praasumsi, terhadap objek teramati di dalam kesadaran. Sementara kritikan
Heidegger berusaha mengembalikan sifat khas manusia yang tak mungkin terlepas
dari praanggapanpraanggapan terhadap sesuatu ketika memulai aktifitasnya.
Di
mata Heidegger, manusia bukanlah mahluk di balik sejarah yang tanpa tersentuh
denyut kehidupan. Itu artinya, tiada manusia yang mampu membersihkan
dugaandugaannya terhadap sesuatu ketika menangkap objekobjek di kehidupannya.
Ashar
menjelaskan bagaimana pada hakikatnya manusia adalah mahluk yang mengalami
persitegangan antara dirinya sebagai subjek, dan manusia itu sendiri sebagai
objek dunianya. Dengan kata lain, manusia merupakan mahluk yang dibentuk
dunianya dan sekaligus membentuk dunianya. Melalui proses dialektis ini,
manusia tidak bisa dinyatakan bersih dari pengaruh lingkungan dan juga
sebaliknya, manusia dapat memungkinkan dirinya menjadi subjek aktif pembentuk
dunia kehidupannya.
Melalui
proses dialektis, epoche sebagai mekanisme penundaan
pengetahuan berupa prasangka, praanggapan, dan praasumsi, dengan sendirinya
tidak dapat dimungkinkan karena sifatnya yang terlampau mengabaikan watak khas
manusia sebagai mahluk yang bersejarah.
Pengandaian
di atas, juga seperti yang dibilangkan F.Budi Hardiman, bahwa tidak ada
kesadaran yang perawan, sebab kesadaran senantiasa di situasikan oleh apa
kesadaran itu dibentuk. Dengan demikian, bukan kesadaran yang penting, tetapi
situasi yang meliputi kesadaran itu sendiri yang utama. Dari kaidah ini, maka
kesadaran, seperti yang menjadi poin penting fenomenologi ontologi Heidegger,
adalah episentrum tempat Ada menampakkan dirinya.(2)
Kritik
ketiga, yakni Husserl dianggapkan mengabaikan dunia kehidupan manusia sebagai
faktor mendasar yang mempengaruhi kesadaran manusia. Penolakkannya terhadap
realitas faktual dan penekanan berlebihan terhadap kesadaran manusia,
sebagaimana idealisme, adalah pernyataan yang tak mendasar sama sekali, karena
seperti yang disampaikan sebelumnya, manusia adalah mahluk yang terlibat dan
dilibat dunia kehidupannya.
Yang
keempat, seperti yang disampaikan Ashar, kesadaran sebagai konsep yang dipahami
Husserl, masih mengiandung pengertian klasik dengan menyatakan manusia mampu
membangun kesadarannya tanpa keterlibatan maupun keterarahan kepada objekobjek
pemahaman. Konsep itensionalitas yang diperkenalkan Husserl justru
memberikan pengertian lanjutan bahwa manusia dengan kesadaran yang idealistik,
akhirnya akan menolak keterlibatannya secara langsung di dalam sejarah. Dengan
kata lain, kesadaran dalam imajinasi Husserl, adalah kesadaran yang ahistorik.
***
Ada adalah
seluruh totalitas yang meliputi suatu segala. Filsafat fenomenologi Heidegger,
dengan begitu adalah refleksi radikal dan menyeluruh terhadap Ada. Namun,
bagaimanakah Ada itu dapat terpahami sementara manusia merupakan adaan yang
mengalami Ada. Berdasarkan penjelasan F. Budi Hardiman, Ada hanya
mampu dipersoalkan oleh adaan yang mengalami Ada. Tapi, tidak
semua adaan mampu memproblematisir dan menghayati Ada selain
daripada manusia itu sendiri. Dengan jalan pikir demikian, Ada hanya
mampu terjelaskan hanya dengan jalan manusia yang mempertanyakan Ada. (3)
Sebab
itulah, menurut penjelasan Ashar, Heidegger mengambil jalan berbeda ketika
memulai memproblematisir Ada sebagai proyek filosofisnya. Ada yang
sekaligus manusia yang mempertanyakan Ada, di dalam perkataan Ashar,
dinyatakan sebagai proses radikal dalam mengantropologikan Ada. Maksudnya, Ada yang
selama ini terpahami di dalam metafisika, terutama metafisika Islam, melalui
permenungan Heidegger, ditarik lebih operasional dengan mengubah arah teropong
sudut pandang dalam menyoal Ada dari pertanyaan “apa itu Ada?” menjadi
“apa artinya berada?”
Peralihan
titik tolak ini, akhirnya menandai poin penting dalam mengungkap manusia
sebagai satusatunya mahluk yang mengalami Ada. Poin penting ini berarti
jika hanya manusia satusatunya adaan yang paling mungkin memproblematisir Ada,
maka Heidegger mengawali refleksi filosofisnya dari manusia sebagai jalan masuk
mengungkap Ada.
Pertamatama,
manusia sebagai subjek berpikir, diubah dan diradikalkan Heidegger dengan terma Dasein.
Manusia dalam pengertian Dasein, bukanlah kategori yang bernaung di bawah
pengertian filsafat Barat pada umumnya, yang mengandaikan manusia sebagai
subjek berpikir. Manusia sebagai subjek berpikir, di alam pikiran filsafat
Barat, adalah subjek yang telah tertetapkan dari awal secara primary sebelum
dia mencandrai dunianya.
Artinya,
dalam relasi keberadaan manusia dengan dunianya, manusia lebih dahulu
diandaikan ada dibanding dunia tempat dia berpikir. Sementara, Dasein,
menurut Heidegger, adalah mahluk yang telah menerima keberadaan dunia sebelum
keberadaan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, dunia telah dinyatakan lebih
dahulu tertetapkan keberadaannya tinimbang manusia itu sendiri.
Berdasarkan
pemahaman di atas, Dasein akhirnya dimaknai sebagai mahluk yang dalam
pengertian Heideggerian “Ada di sana”.
Mengapa
manusia disebut Dasein (Da: Ada, Sein: di sana)? Maksudnya,
manusia telah “di sana”, di dalam dunia yang ia tempati. Dalam makna inilah
Heidegger mengonseptualisasi manusia sebagai mahluk yang terlempar di dalam
Ada. Dengan kata lain, manusia dengan segala apa yang dimilikinya hanyalah
mahluk yang tanpa disadari sudah terliputi Ada sebelum ia
memahaminya.
Berdasarkan
yang disampaikan Ashar, Dasein dikarenakan telah ada pasca dunia
keberadaanya, mau tidak mau merupakan adaan yang tidak bisa terlepas
dari dunia yang membentuknya. Ini berarti dunia sebagai representasi totalitas Ada,
turut melekat di dalam proses keberadan manusia. Dengan demikian, Ada sesungguhnya
bukan keberadaan yang berada “di luar” manusia, melainkan turut hadir di dalam
keberadaan manusia. Pemahaman ini sebangun dengan apa yang sebelumnya
dikatakan, yakni untuk mengungkap Ada, maka manusialah yang menjadi dasar
pengungkapan Ada itu sendiri.
Namun
kebersamaan manusia di dalam Ada, bukan berarti tanpa masalah. Ashar
mengungkapkan, Dasein memiliki problem utama dalam menyadari Ada akibat
dunia pengalaman manusia itu sendiri. Disebabkan Dasein yang
terlampau “dekat” di dalam Ada, juga rutinitas kehidupan di dalam Ada,
membuat manusia termekanisasi sehingga lupa makna berada sesungguhnya.
Kehidupan yang begitu kompleks dengan seluruh rutinitasnya, membuat Ada yang
sesungguhnya dekat, akhirnya tak mampu dicandrai di dalam ruang penghayatan
manusia.
Berkat
kelupaan terhadap Ada, berdasarkan yang disampaikan Ashar, Dasein membawa
karakteristik bawaan yang turut meliputinya sebagai bagian tak terpisahkan di
dalam keberadaannya.
Pertama, Kejatuhan
akan Ada. Karakteristik ini bisa dikatakan semacam takdir bawaan yang dikandung Dasein itu
sendiri. Kejatuhan akan Ada, diartikan sebagai hilangnya penghayatan
terhadap pengalaman seharihari yang dialami manusia. Pengalaman yang terjadi
dengan pola yang identik di kehidupan seharihari, lambat laun turut membuat
suatu model pengalaman kehidupan yang serba linear. Linearitas kehidupan ini
diartikan sebagai lingkaran kehidupan yang tak memiliki ujung sebagai titik
akhirnya. Dengan bahasa yang lain, pengalaman yang demikian membuat
manusia mengalami jalan buntu untuk mengakhiri lingkaran rutinitas yang
menjebak kehidupannya.
Akibat
pengalaman manusia yang terjebak itulah, manusia tidak mampu membangun jarak
dari rutinitasnya agar bisa masuk di dalam ruang permenungan. Model kehidupan
yang serba cepat, dan tangkas, tidak sedikit pun memberikan cela bagi manusia
agar bisa memasuki ruang subtil di dalam jantung pengalamannya. Hilangnya ruang
subtil permenungan itulah, yang dikatakan Heidegger sebagai kejatuhan akan
Ada.
Kedua
adalah faktisitas. Makna faktisitas mengartikan Dasein, mau tidak
mau, tidak bisa mengelak dari situasi yang dihadapinya. Dengan kata lain, faktisitas adalah
keterbatasan manusia terhadap seluruh situasi yang dihadapinya di dalam
menjalani keberadaannya.
Ashar
menjelaskan, faktisitas adalah dunia yang sudah sebelumnya ada ketika
keberadaan manusia itu sendiri. Dikatakan demikian, karena dunia yang sudah
ada, jauh sebelumnya memiliki identitas yang melekat di dalamnya. Seluruh
objekobjek yang dihadapi manusia, telah tertetapkan identitasnya dengan
mengikuti karakteristik dan ciriciri benda itu sendiri.
Faktisitas,
karena mengandaikan keberadaan manusia yang sudah sebelumnya mengalami
kejatuhan akan Ada, dan mau tidak mau harus menghadapi situasi yang tak mampu
dielakkan, maka dengan sendirinya memungkinkan Dasein untuk
mengerahkan seluruh kemampuan kebebasannya dalam menanggung resiko dan tanggung
jawab yang dimilikinya.
Faktisitas yang
paling mendasar dan yang tak dapat Dasein elakkan adalah kematian.
Kematian dalam benak Heidegger bukan sekadar terputusnya hubungan biologis
badaniah dengan kehidupannya, bukan pula hanya berarti tercerabutnya jiwa dari
tubuh dan kemudian hilang begitu saja, melainkan suatu limit ketika Dasein menemukan
keseluruhan totalitas Ada-nya. Dengan begitu kematian adalah suatu titik
pasti yang harus segera dituntaskan dalam rangka menemukan keseluruhan
totalitas Dasein atas Ada.
Dalam
rangka mencapai totalitas Ada-nya, maka karakter yang ketiga yang sudah
menubuh di dalam keberadaan Dasein, membutuhkan modalitas yang inheren di
dalam dirinya. Karakteristik yang ketiga ini, di sebut Ashar sebagai pemahaman (fore
strukture). Pemahaman sebagai karakteristik bawaan secara relasional
berhubungan langsung dengan kemewaktuan yang dialami Dasein itu
sendiri.
Pertamatama
yang mesti dipamahi, waktu dan kemewaktuan dibelah Heidegger dari bagaimana
cara Dasein menghayati dirinya di dalam waktu. Di dalam karyanya Sein
und Zeit (Ada dan Waktu), Heidegger menyatakan waktu bukanlah realitas
yang ditunjukkan dengan alataalat penunjuk waktu berupa jam dsb., melainkan
keadaan yang terjadi di luar dan di dalam Dasein itu sendiri. Waktu
yang di alami Dasein di luar struktur keberadaannya adalah waktu
objektif, sementara yang di alami di dalam Dasein itu sendiri disebut
durasi, yang dikatakannya, bisa menciut maupun berkembang. (4)
Cara
memahami waktu sebagai durasi, dimulai dengan cara mengikuti pembedaan waktu
oleh Heidegger itu sendiri. Pembedaan yang pertama adalah innerzeitigkeit, kata
yang tak ada dalam kamus bahasa Jerman ini adalah pembendaan dari in der
zeit (di dalam waktu). Jadi innerzeitigkeit dapat diterjemahkan
sebagai “ke-ada-di-dalam-waktu-an”. Innerzeitigkeit sebenarnya
merujuk kepada waktu objektif yang dibayangkan sebagai titiktitik sekuel yang
muncul akibat yang lain. Misalnya, waktu malam hanya dapat diandaikan karena
relasinya dengan waktu siang sebagai titik sekuel yang mendahuluinya, atau
sebaliknya, dapat dipahami sebelum waktu pagi yang menjadi titik hubungnya yang
akan datang.
Menurut
Heidegger, konsep waktu sebagai innerzeitigkeit tidak cocok dengan Dasein diakibatkan
struktur keberadaannya yang berbeda dari adaan yang lain. Asumsi ini
didasarkan karena waktu objektif hanyalah realitas faktual yang tidak
sertamerta menyentuh Dasein yang memiliki struktur keberadaan yang
berbeda, sehingga tidak sekadar terletak di begitu saja “di dalam” ruang,
melainkan turut aktif di dalam waktu kemewaktuannya.
Proses
kemewaktuan Dasein di dalam waktu melibatkan keagenan yang aktif.
Artinya, Dasein, seperti diungkapkan, bukanlah keberadaan yang
“tergeletak” begitu saja di dalam dunia, melainkan Dasein ikut
menghayati setiap sekuel waktu di dalam kemewaktuannya.
Penjelasan
di atas tampak terang ketika seseorang pemuda yang sedang menunggu
kinasihnya di saat merasakan waktu yang lebih lama dari ukuran jam yang
dipakainya. Di saat pengalaman sang pemuda yang merasakan waktu yang lama
inilah disebut kemewaktuan, sementara lamanya waktu yang dirujuk dari
perhitungan pengukur waktu, yang misalnya hanya baru menunjukkan lima menit,
disebut waktu objektif.
Bahkan,
menurut Heidegger, waktu objektif yang disepakati berdasarkan ukuran detik,
menit, jam, hari dst., diambil dari kemewaktuan yang dinyatakan lebih
otentik dan primordial. Waktu otentik dan bersifat primordial inilah yang dalam
terma Heidegger disebut sebagai zeitlichkeit.
Dalam
hubungannya dengan kemewaktuan ini, Dasein “menduniakan” waktu
dengan membayangkan dirinya yang tidak terlepas dari karakteristik pemahaman (fore
strukture) sebagai karakteristik ketiga di dalam keberadaannya.
Pemahaman, dijelaskan
Ashar, mengandaikan tiga pembelahan yang di antaranya, pertama adalah for
having. Pemahaman for having dituturkan berkaitan dengan
pengetahuanpengetahuan yang sudah tersusun dan terbentuk sebelum Dasein itu
ada. Pemahaman for having berkaitan langsung dengan waktu
kesekarangan yang dialami Dasein, sehingga dalam pengalaman keberadaannya, Dasein tidak
dapat mengelak dari pengetahuanpengetahuan yang sudah disepakati. Keberadaan
pengetahuan for having ini, di dalam tindakan praktisnya, tinggal
dikelola Dasein dalam rangka memberlangsungkan kehidupannya.
Yang
kedua adalah pengetahuan Dasein berkenaan dengan kemungkinan masa
depan yang dibayangkannya. Pengertian ini dijelaskan Ashar sebagai pemahaman for
sight. Ketika Dasein menyatakan keberadaannya, di dalam benaknya
terlibat pemahaman for sight atas sesuatu terhadap
kemungkinankemungkinan yang bisa menjadi pilihanpilihan ke depannya.
Misalnya,
seorang penulis yang menyiapkan karya tulisnya di antara kemungkinankemungkinan
yang akan terjadi di masa akan datang. Dari situasi yang dihadapinya, sang
penulis memiliki pertimbangan dari pemahamannya berkenaan karya tulis atau
profesinya akan dijadikan apa dan mau bagaimana dengan
seluruh keberadaan karya tulis dan profesinya. Pertimbangan atas masa depan
inilah, di saat menghadapi seluruh kemungkinannya, Dasein digerakkan
oleh pemahaman for sightnya.
Yang
ketiga, seperti yang dikatakan Ashar, adalah pemahaman Dasein atas
sesuatu di dalam benaknya. Pemahaman ini berkaitan langsung dengan objekobjek
pengetahuan yang tergambar di dalam kesadaran Dasein. Di dalam terma
Heideggerian, pemahaman ini disebut sebagai pemahaman fore
conseption.
Fore
conceptoin, sejauh yang diutarakan Ashar bisa berbeda antara satu subjek dengan
subjek lainnya atas sesuatu. Artinya, di dalam keseharian Dasein, pemahaman
yang berbeda dari satu dengan lainnya sangat ditentukan oleh pemahaman fore
conception yang ada di dalam kesadarannya.
***
Seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya, kematian adalah conditio humana Dasein yang khas bagi dirinya. Begitu pula kemewaktuan merupakan bagian dari struktur Dasein itu sendiri. Namun, Dasein tidak begitu saja menerima kematian sebagai akhir dari segalanya. Justru, menurut Heidegger, di jantung keberadaannya, Dasein memiliki strukutur purba yang begitu fundamen mendasari seluruh tindakannya. Bahkan Heidegger mengatakannya sebagai “struktur total Ada Dasein”: Sorge. Dengan sorge inilah, Dasein di dalam dunia, harus menghayati keseluruhan totalitasnya berdasarkan pemahamnnya terhadap kematian (tod).
Seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya, kematian adalah conditio humana Dasein yang khas bagi dirinya. Begitu pula kemewaktuan merupakan bagian dari struktur Dasein itu sendiri. Namun, Dasein tidak begitu saja menerima kematian sebagai akhir dari segalanya. Justru, menurut Heidegger, di jantung keberadaannya, Dasein memiliki strukutur purba yang begitu fundamen mendasari seluruh tindakannya. Bahkan Heidegger mengatakannya sebagai “struktur total Ada Dasein”: Sorge. Dengan sorge inilah, Dasein di dalam dunia, harus menghayati keseluruhan totalitasnya berdasarkan pemahamnnya terhadap kematian (tod).
Sorge dalam
bahasa Jerman berarti kekhawatiran, perhatian, kepedulian, maupun pemeliharaan.
Manusia tanpa sorge, dinyatakan berdasarkan pendirian Heidegger, adalah
keberadaan yang terasingkan di dalam kolam keberadaannya. Manusia yang asing di
dalam dirinya sendiri, manusia yang tidak otentik, yang bukan asli.
Heidegger
merumuskan sorge dengan sich-vorweg-chon-sein-in-(der-Welt-) als
Sein-bei (innerweltlich begegnendem Seienden). Dalam pemahaman
Heideggerian, istilah ini diucapkan sebagai satu kata. Berdasarkan pemahaman
fenomenologi ontologisnya, kata ini dapat ditilik dengan cara (1) sich
vorweg yang bermakna “mendahului,” dan ini eksistensialitas Dasein,
(2) schon sein in der Welt berarti “sudah ada di dalam dunia,” yang
menandai faktisitas Dasein, dan (3) Sein-bei innerweltlich
begegnendem Seienden, berarti “bermukim pada entitas yang dijumpai di
dunia ini”, dan ini merujuk kepada makna kejatuhan Dasein. Artinya, sorge adalah
struktur dasar yang merangkum keseluruhan Dasein dengan tiga
karakteristiknya yakni, mengantisipasi masa depan (fore strukture), terlempar
di dunia (faktisitas), dan larut dalam rutunitas keseharian (kejatuhan Ada).
(5)
Yang
menjadi keutamaan dari rumusan di atas, sebenarnya dapat dilihat dari
proses Dasein mengalami kemewaktuannya. Pertamatama, manusia
terlempar ke dunia ini, kemudian, yang kedua, manusia menjalani rutinitasnya
dan terbenam di dalamnya, dan yang ketiga pada akhirnya, manusia mengalami
kematiannya. Di dalam keadaan demikian, Dasein dikatakan mampu
bangkit dari kejatuhan Ada-nya dengan menyertakan sorge sebagai
alarm penhayatannya. Melalui itu pula, kematian yang niscaya di masa akan
datang, yang tanpa mampu diketahui, akan bermakna dengan keterlibatan sorge bagi Dasein itu
sendiri. Artinya, dengan sorge-lah, ketidakmungkinan yang dihadapi Dasein di
dalam keterlemparannya menjadi bermakna dan bernilai.
Maka,
dapat dikatakan, melalui sorge, Dasein sebenarnya adalah mahluk
mungil yang menjalani kemewaktuannya dalam mengahadapi kematiannya.
Dikatakan
Ashar, kematian yang dimaksudkan –seperti yang diungkap sebelumnya-- dari
fenomenologi ontologis Heidegger bukan kematian biologis semata, melainkan
kematian yang sudah sebelumnya diantisipasi dengan penghayatan di dalam Ada.
Kematian yang dihayati di dalam Ada, disebutkan Ashar sebagai perbincangan
eksistensial dengan dirinya sebagai bentuk luar Dasein yang mendalami
keberadaannya. Dengan kata lain, kematian yang paling ideal menurut Heidegger
adalah kematian yang disambut antsipatif oleh Dasein dengan
keterlibatan sorge di dalamnya.
Penghayatan
terhadap kematian bagi Dasein, sekaligus menjadi antitesa terhadap Das
man. Berdasarkan pemahaman Heidegger, Das man adalah orangorang
yang tenggelam di dalam rutinitasnya tanpa mampu memasuki bilik permenungan
atas sorge yang dipunyainya. Das man juga diartikan sebagai
orangorang yang termekanisasi melalui rutinitas keseharian, yang tanpa
perlibatan dirinya terhadap ada di dalam dunia.
Dengan
begitu, Das man sebenarnya adalah orangorang yang tidak otentik,
orangorang yang ikut di dalam pengetahuan umum tanpa bisa mengambil keutamaan
di balik kesepakatannya dengan semua pilihannya. Dengan kata lain, Das man,
adalalah manusia massal yang tercerabut dari medan permenungannya. Orangorang
yang tanpa tahu berbuat apa, orangorang yang kehilangan dirinya sendiri.
Dengan begitu sebenarnya, fenomenologi ontologis di tangan
Heidegger adalah suatu ajakan dari Dasein untuk membuka seluruh
kemungkinannya terhadap kematian yang tanpa diketahuinya. Walaupun kematian itu
pasti dan tanpa diketahi kedatangannya, dengan sorge, atau dengan istilah
lainnya angst (kecemasan), Dasein dimaksudkan sebagai keberadaan
yang cemas tanpa harus keluar dari lingkaran kehidupannya, melainkan harus
masuk menyelami jauh di jantung keberadaannya, dengan cemas, dengan sorge,
di antara seluruh kemungkinan yang menghadangnya, termasuk kematian itu
sendiri. Hanya dengan begitulah, Dasein menjadi pribadi yang otentik,
yakni pribadi yang ada di dalam dunia, pribadi yang mewaktu menuju
keseluruhan totatiltasnya.
Jika demikian, apa artinya berfilsafat ketika tanpa penghayatan
terhadap Ada? Apa artinya mengada di-dalam-dunia, ketika tanpa kecemasan?
Bukankah, seperti yang dibilangkan F. Budi Hardiman, fenomenologi Ontologis
Heidegger adalah jalan lain mistisisme di tengah perigi nihilisme? Suatu kaidah
membuat keseharian menjadi “transparan,” dengan sorge, Dasein yang
membuka diri terhadap Sang Ada.
---
(1),(2),(3),(4),(5) dirujuk di dalam buku F. Budi Hardiman, Heidegger
dan Mistik Keseharian, Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit. Cetakan KPG
2003.