Pada
akhirnya rumah menjadi hal yang penting. Jelang tutup ramadan orangorang mulai
menautkan segalanya pada tempat asal usul bermula. Dari tempat di mana pelbagai
cerita dimulai.
Di
titik ini rumah menjadi ikatan yang primordial. Rumah dengan sendirinya adalah
kampung halaman, rumah adalah tradisi, dan rumah adalah tempat segala identitas
azali dibentuk.
Urbanisasasi
yang begitu mencolok membuat rumah kian terasing. Dengan sendirinya asal usul
jadi kenangan. Orangorang pergi mencari mukim baru. Membangun kehidupan.
Membentuk diri baru. Kemudian pelanpelan akhirnya kota jadi sarang segalanya.
Di
kota segalanya jadi mungkin. Orangorang bekerja. Orangorang bersekolah.
Orangorang jadi lebih lebih manusiawi.
Tapi
tidak semua yang manusiawi menjadi betulbetul manusia. Di kota, orangorang
disulap berbagai hal. Imajinasi manusia santun seketika menjelma manusia kota
yang soliteris; sendiri dalam keramaian masingmasing. Menjadi mahluk yang
menyukai diri sendiri.
Saat
itulah gugusan kota mengambil alih. Memproyeksikan suatu tujuan yang
progressif. Kota, dengan segala jejaring kepentingannya tak menyisakan sedikit
pun apa yang pernah hidup menjadi memori kolektif orangorang berkampung
halaman; solidaritas.
Solidaritas
memang berparas ganda. Durkheim memilahnya jadi dua. Sosiolog Prancis ini
menamsil, di kota tempat di mana terma modern begitu menggugah, orang perorang
jadi terbelah. Yang ada hanyalah ikatan atas dasar spesialisasi. Orang
berinteraksi bukan karena dasar atas usul yang sama, tapi sejauh apa suatu
identitas profesional dibangun.
Kala itulah
kebersamaan jadi suatu ikatan yang formal. Masyarakat hanya bisa menjalin suatu
ikatan kolektif atas suatu tema pekerjaan; suatu modalitas yang selama ini
dibentuk atas dasar unsurunsur kapital.
Akibatnya
interaksi hanya berumur jika itu bertahan atas dasar profesionalisme. Durkheim
menyebut ikatan ini sebagai solidaritas organik. Hubungan yang hanya mungkin
berlangsung karena didorong atas suatu imbalan.
Itu
sebab, kota hanya jadi tempat yang rentan. Orangorang hanya terkoneksi dari
ikatan yang guyah. Pekerjaan, pendidikan, profesi, hubungan komunitas, dan
jejaring interaksi yang lain mudah bergeser, gampang berubah. Di kota, berlaku
rumusan tak ada yang abadi, segalanya berubah.
Barangkali,
karena itu tak ada kenangan bisa bertahan di kota. Di kota orangorang hanya
mengejar satu hal; masa depan.
Yang
malang, masa depan berarti memilah suatu bulatan yang gampang pecah. Yakni
suatu identitas yang dibentuk dari rumah. Di rumah, suatu medan orangorang
dibentuk tradisi, berubah modern yang memotong nilainilai kolektif.
Dari
rumah, suatu tempat keluarga menjalin kekerabatan dipangkas menjadi manusia
yang lupa dari mana manusia-rumah akan berpulang. Di kota, rumah yang bagi
orangorang berkampung halaman menjadi tempat segala simpul berawal, dicacah
habis dengan silet masa depan.
Karena
itu kota selalu dilihat sebagai tempat anti masa silam. Membelahnya jadi
bagianbagian yang sulit disembuhkan. Semakin orangorang beraktivitas di
dalamnya, semakin manusia-berkampung halaman lupa siapa dia sejatinya.
Rumah
bagi manusia kota adalah tempat yang sekaligus medan kritis. Di rumah segalanya
disoal kembali. Di timang ulang. Untuk apa pergi jauh demi suatu kerja.
Meninggalkan kekerabatan yang dibangun dalam keluarga. Demi apa rumah pada
akhirnya jadi masa silam.
Itu
sebab manusia kota selalu ingin pulang ke rumah tempat asalnya. Menjenguk suatu
sejarah yang selama ini hanya penuh dengan tetek bengek masa depan.
Rumah
memang bukan sekadar bangunan tua yang gampang ditinggalkan. Rumah dengan arti
begitu tak lebih sama dengan ornamenornamen kota yang sesak.
Barangkali
yang tepat di sini adalah rumah dengan makna yang sama dengan home.
Suatu tempat yang dirindukan. Tempat yang ingin didatangi kembali setelah
bepergian jauh.
Rumah
dengan makna home dengan begitu adalah suatu simpul kekerabatan yang mekanik.
Ikatan yang terjalin dengan kebersamaan tang kental. Wadah segala kebiasaan
terpilin jadi tradisi. Suatu ikatan yang serempak. Tak ada yang terpecah maupun
terbelah. Medan di mana kesadaran kolektif yang Durkheim bilang begitu kuat
mendominasi.
Ikatan
kedua inilah yang tibatiba menyeruak di kala ramadan datang. Home begitu
dirindukan. Home menjadi satu tempat yang ingin dituju.
Karena
itulah orang rela berdesakdesakkan. Di terminal, pelabuhan, bandara, dan segala
tempat yang menjadi titik keberangkatan pulang.
Tapi
segala sudah berubah. Kota telah menyulap manusia berkampung halaman. Dengan
identitas baru; pekerjaan baru; kendaraan baru; keluarga baru; baju baru; dan
tentu kesadaran baru. Menjadi orangorang berparas terbelah. Orangorang yang
pulang bukan untuk tinggal. Orang yang pulang hanya untuk pergi kembali.
Akibatnya,
rumah-home hanya menjadi sebidang suasana tanpa kekerabatan. Toh jika ada itu
hanya diisi dengan wacana orangorang kota yang berubah. Orangorang yang datang
dengan pikiran intrumentalistik tinimbang rasa santun khas orangorang
berkampung halaman.
Akhirnya,
rumah hanya jadi tempat persinggahan sementara. Tiada lagi home yang telah
penuh sesak dengan wicara kesadaran manusia kota.
Rumah-home
akan selalu menjadi tempat yang sering ditinggalkan, oleh manusia berkampung
halaman, oleh orangorang yang dikoyak sepi. Pulang seperti ikan Salmon, pulang
untuk mencari asalusul.