Hari
ini saya bakal ikut malam ramah tamah. Acara makanmakan buat calon wisudawan
tempat saya sekolah pascasarjana. Sedari sore saya sudah harus di Hotel
Clarion, tempat acara dihelat.
Tentu
ini bukan sekadar acara makanmakan belaka. Sudah pasti ada acara
pidatopidatoan. Dari rektor, dekan sekolah pascasarjana, atau juga dari ketua
prodi sekalian. Kalau perlu ada sesi testimoni dari perwakilan calon wisudawan.
Dan seabrek agenda acara yang saya tak tahu juntrungannya.
Sepanjang
kuliah, ini pertama kalinya saya harus ikut kegiatan macam beginian. Dulu kala,
tujuh tahun di strata satu, saya ogah ikutikutan. Pasalnya, saat itu yang
penting saya dapat ijazah. Tak pikir buat acaraacaran ramah tamah. Waktu itu
dapat menyelesaikan kuliah saja syukur bukan main. Buat saya, sudah cukup tujuh
tahun ramah tamah dengan kampus. Jadi, tak ada urusan dengan Belanda!
Akibatnya,
kala itu saya hanya ikut acara wisudaan. Pakai toga, ikut barisan, dan masuk
gedung. Selesai perkara. Setelah sesi fotofoto sebentar, kemudian tak pikir
panjang langsung hengkang dari gedung acara.
Malang,
pasca itu tak ada foto terpampang di dinding rumah. Seperti lazimnya mantan
mahasiswa, foto dengan seragam toga hanyalah imajinasi belaka. Mamak hanya
menghela nafas. Bapak diam saja.
Padahal
di acara itu mamak bapak turut serta berdesakdesakan. Ikut iringiringan
keluarga wisudawan lain. Berpanaspanasan sambil berteduh di bawah pohon. Namun
sudah saya katakan, tak ada foto bersama keluarga. Lagilagi mamak menahan
napas. Bapak seperti biasa, diam saja.
Namun
yang bikin hati mamak berbungabunga, terpampang besar baliho saya di sudut
gerbang pintu masuk kegiatan. Baliho itu berukuran sekira lapangan tenis meja.
Mirip baliho caleg. Muka saya jelas di situ, dengan ucapan selamat dari salah
satu lembaga yang pernah saya ketuai.
“Ita
sai anaknu, engka balihona di gettung!”
“Wahaa,
iga kebbu’i? Loppo paha?” Bapak terkagetkaget.
“Hebatto
bella.”
“Magai
mak, dek sambarang tu niga engka balihona. Teppe’ ni’?!" Saya membusung
dada.
Baliho
itu jelas bikin kaget mamak, apalagi bapak. Mereka tak menyangka akan menemukan
kejutan kayak begitu. Baliho itu memang dibuat oleh beberapa adikadik mahasiswa
yang tak saya sangkasangka. Saya kira mereka hanya bercanda bakal bikin baliho
sebagai ucapan selamat dan terima kasih. Tapi nyatanya mereka serius. Saat itu
saya satusatunya mahasiswa yang punya baliho mirip caleg itu.
Baliho
itu bertahan beberapa hari di kampus. Jadi omongan adikadik mahasiswa di
fakultas. Di terpa sinar matahari bikin satpamsatpam kampus bingung. Memangnya
siapa muka di baliho berwarna dasar biru itu. Mahasiswa terbaik saja bukan. Tak
jelas!
Saya
curiga baliho itu akhirnya dicabut satpam setelah berharihari dipampang. Atau
diambil mahasiswa diamdiam jadi karpet di sekretariat. Pun bisa jadi diambil
tukang becak buat penghalang panas penumpangnya. Tak soal, yang penting
berfaedah muka saya jadi hiasan kemanamana.
Kembali
ke acara malam ramah tamah. Yang bikin kikuk, kali ini saya harus memakai
sepatu pantofel buat acara nanti. Sepatu yang ogah saya pakai selama ini.
Bahkan saat acara wisuda di strata satu, saya acuh saja pakai sepatu kets merk Converse.
Tak peduli apa kata orang, apalagi kala itu dipadankan dengan celana levis
hitam.
“Masa
pakai sepatu Converse ko masuk hotel?” Faja, adik saya celetuk.
“Ndak
apaapaji kapang, dulu begituja’”
“Iya,
tapi pakai batik ko itu nanti, baru celana kain. Tidak cocok!"
“Iyokah?"
“Nassami!”
“Pinjamka
pale’ sepatumu?"
Begitulah,
setelah mencoba sepatunya dengan bergaya pakai celana kain (dress pants),
untuk pertama kalinya seumurumur saya akan menggunakan pantofel plus celana
kain.
Apa?!
Apalagi ini, celana kain! Puki mak. Mirip sudah seperti bapakbapak pejabat. Tak
ada aktivisme di situ. Celana kain adalah jenis celana yang jengkel saya
gunakan. Makanya selama ini, tak pernah saya menggunakan celana kain. Celana
kain atau celana formal macam pria kantoran itu, tak pernah membuat saya nyaman
berpenampilan.
Namun
apa boleh buat, saya harus ikut trend. Acara formal ya acara formal. Mau tak
mau saya harus rela menggunakannya juga. Di hotel Bung. Alamak!
Tentu
pilihan ini saya pikir masakmasak. Tidak lucu pakai batik dengan bawahan sepatu
kest plus celana levis. Masuk hotel dengan model macam begitu bakal mengundang
sorot mata. Apalagi ini acara formal. Hotel berbintang lagi.
Agaknya
malam ini akibat di khotbah Fajar, saya mulai menimbangnimbang bakal membeli
sepatu pantofel. Tidak mungkin saya pinjam terus pantofel yang agak kebesaran
itu.
Tentu
saya beli –itupun kalau cukup duit, bukan untuk dipakai seharihari. Hanya
jagajaga buat acara formal saja. Ogah.
Tapi
kalau dipikirpikir, kayaknya omongan Fajar ada betulnya. Tidak mecing atasan
batik dengan sepatu kets. Setidaknya dengan kecenderungan anakanak muda
sekarang. Yang kemanamana sudah mirip pejabat negara. Apalagi saya bukan Dahlan
Iskan.
Tapi
coba kalau acara nanti turut duduk “Bapak Sepatu Kets Indonesia” itu di samping
saya. Saya bakalan bersalaman dan langsung bilang: “Bapak betulbetul paham
kebiasaan saya. Kita satu aliran Pak!"
Hanya
saja itu tak bakal terjadi. Tetap saja saya harus pakai pantofel di acara
nanti. Hitunghitung di sesi foto wisuda nanti, mamak bapak tidak bakal merah
udang mukanya. Minimal tidak omong, “E dende, iga anak iye? mappake sapatu
ma’bangsa pemain basket!? Levis to napake. De’gaga siri’na.!?”
Tapi
tenang saja, itu sudah diantisipasi. Saya punya sepatu pinjaman. Juga celana
kain yang akhirnya harus saya persiapkan.
Setelah
malam ramah tamah, kali ini sesi foto bersama mamak bapak tak bakal kecolongan.
Besok saya harus gagah sempurna saat pakai toga. Pasca wisudaan nanti, di rumah
sudah bakal terpampang foto Bahrul anak kesayangan bersama panglima besar mamak
bapak. Lengkap dengan pantofel juga bukan lagi celana levis. Masak cuma Fajar
saja yang bisa. Plis deh ya!!