Marxisme dan Sekilas Islam Transformatif

Pertama, untuk melihat hubungan Islam dan Marxisme, perlu kehatihatian dalam konteks bagaimana melihat dua variabel ini melalui bentuknya yang transparan. Islam biar bagaimanapun dalam medan teoritik sudah mengalami pembauran dengan berbagai macam perspektif tertentu sehingga sulit menyebut pemikiranpemikiran yang mengidentikan sebagai islam  adalah Islam itu sendiri. Dengan kata lain, perlu dibedakan islam sebagai pemikiran dan Islam sebagai wahyu. Dalam esai ini, yang dimaksud Islam adalah islam yang pertama, yakni islam yang sudah mengalami intrepetasi berdasarkan pemikiran tertentu.

Begitu pula Marxisme, sebagai suatu paham pemikiran yang ditilik dari Karl Marx juga mengalami berbagai macam pergesekan dan bongkar pasang penafsiran. Ibarat agama, Marxisme juga tidak terlepas dari berbagai macam sudut padang. Oleh karena itu, jika tulisan ini mau menyebut Marxisme, maka itu adalah usaha yang mendekatkan pemahaman kepada apa yang sering dikatakan sebagai “Marxisme murni”. Tentu usaha ini juga dilakukan kepada islam itu sendiri sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.

***

Umumnya orangorang membangun prasangka bahwa Marxisme menolak seluruh bentuk pemahaman religius. Prasangka ini maklum terjadi akibat banyak teksteks di seputar Marxisme yang secara terbuka menyebut konsepsi yang idealistik-religius tak memiliki sumbangsih apaapa. Di tingkatan filosofis penolakan Marx terhadap pemahaman idealistik ditemukan dari dua cabang. Yang pertama adalah penolakan Marx terhadap agama yang merupakan pelampauan dari filsafat Ludwig Feurbach soal konsep keterasingan manusia. Antitesa ini sekaligus merupakan jalan masuk Marx ketika menolak pemikiran Wilhelm F. Hegel yang menyebut dunia terbentuk dari saripati ruh yang bergerak menuju titik absolutnya. Sementara yang kedua adalah perkataan Marx itu sendiri mengenai sifat candu agama yang membawa kesadaran manusia kepada sikapsikap fatalistik.

Implikasi cabang yang pertama merupakan konsekuensi dari pemikiran Marx yang menaruh minat terhadap paham materialisme yang disempurnakannya dari pemahaman sebelumnya melalui Feurbach yang lebih dikenal sebagai materialisme dialektis. Sementara di sisi lain pemikiran ini juga adalah jalan memutar yang dilakukan Marx terhadap pemikiran Hegel  yang mengandaikan ruh sebagai inti hakikat segala yang ada. Kepada dua pemikiran sebelumnya inilah Marx mengembangkan cakrawala filsafatnya yang khas dari apa yang dinisbahkan dunia sebagai meterialisme dialektika historis.

Perlu dipahami penolakan bentuk ideide religius-idealistik Marx dari perspektif cabang pertama adalah suatu mode pemikiran yang disandarkan melalui kritiknya terhadap gagasan Feurbach dan juga sekaligus Hegel, sehingga kosakata pemikiran yang dipakainya merupakan pantulan perspektif yang menolak agama di luar dari tradisi pemikiran agama itu sendiri. Dengan kata lain, perspektif negatif terhadap agama oleh Marx adalah tradisi pemikiran yang lahir dari suatu alur pemikiran filosif sebelumnya yang bersifat spekulatif. Artinya penolakan Marx terhadap agama bukanlah suatu jawaban defenitif seperti yang dipersangkakan orangorang di luar dari tradisi pemikiran Marxisme.

Sementara dari cabang yang kedua, penolakan Marx kepada gagasan idealistik-religius bertolak dari pembacaan yang bersifat empirik. Dari sudut pandang ini mesti pertamatama mendudukkan perkataan Marx yang menyebut agama adalah candu masyarakat  di dalam suatu latar sosiologis tertentu. Dengan maksud bahwa perkataan Marx lahir dari pengamatan yang bersifat kontekstual. Artinya, berbeda dari penolakan pertama yang bersifat filosofis, dari cabang yang kedua ini Marx lebih digolongkan sebagai seorang sosiolog yang menghadapi suatu fase kehidupan tertentu.  Dengan kata lain perkataan Marx bukanlah fatwa yang sudah benar dari sananya, melainkan suatu perkataan yang bisa benar sekaligus diwaktu yang hampir bersamaan mampu untuk disangkal.


Pemahaman yang dibangun di atas perlu diajukan dari awal untuk memberikan suatu cara pandang lain bahwa hubungan Marx dan gagasan idealistik-religius, terutama agama, merupakan hubungan yang terbuka untuk dinilai daripada menerima pernyataanpernyataan aksiomatik yang melihat Marxisme dan agama merupakan dua pemahaman yang ambivalen. Artinya, dari kacamata ini, ada kemungkinan memberikan telaah diseputar relasi agama dan Marxisme dengan suatu cara pandang yang lebih elastis dan dialektis. Ini penting mengingat dari tingkatan tertentu agama dan Marxisme memiliki muatan yang hampir sama terutama pandanganpandangannya soal perbaikan harkat dan martabat masyarakat tertindas.

***

Marxisme bisa dibilang sebagai filsafat orangorang tertindas. Dari kesadaran Marxisme yang diandaikan sebagai orang tertindas adalah kumpulan kelas pekerja yang bekerja di bawah tatanan yang kapitalistik. Di dalam tatanan kapitalistik kaum pekerja bukanlah apaapa. Kaum pekerja disebut kaum pekerja karena mereka rela menjual tenaganya kepada kelas borjuis untuk mendapatkan upah rendah demi memberlangsungkan kehidupannya. Dari relasi antara kaum pekerja dan kaum borjuis, dinyatakan Marx mengandung nilai lebih dari logika yang bersifat eksploitatif. 

Akibatnya, upah yang diterima kaum pekerja tidak berbanding lurus dengan tenaga produksi yang dikeluarkan. Maka dari itu Marx menyeru bahwa hubungan macam demikian adalah penghisapan yang tidak adil. Berangkat dari situasi itulah Marx mengabarkan suatu jalan perubahan yang dia sebut revolusi proletariat. Perubahan ini tak mungkin tejadi sebelum terbangun apa yang disebut dalam tradisi Marxisme sebagai kesadaran kelas. Dengan kesadaran kelas, Marxisme meyakini kaum pekerja dapat keluar dari hubungan idelogis yang didasarkan kepada kepentingan kaum borjuis semata.

Bila dijabarkan menjadi pokok pikiran, pernyataan di atas akan menerangkan beberapa saripati teoritik yang bisa ditemui di dalam gagasangasan Marxisme. Tentu inti pemikiran ini hanyalah merupakan sebagian dari luasnya perhatian Marxisme terhadap beragam tema keilmuan yang dibahasnya.

Pertama, teori tentang kelas sosial.   Berdasarkan uraian Franz Magnis Suseno dalam literasi “Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme”, di dalam pemikiran Marx konsep kelas tidak dinyatakan secara eksplisit. Ini mengimplikasikan kekaburan soal batas defenitif kelas sebagai konsep walaupun Marx banyak menggunakannya dalam studi literatifnya.  Asumsi ini akibat hilangnya kategori atau berdasarakan kritea apa yang  tidak  diajukan Frans Magnis Suseno mengenai bagaimana kelas itu dinyatakan. Nampaknya Frans Magnis Suseno kurang memberikan perhatian kepada logika Marx yang menempatkan kelas di antara posisinya dalam hubunganhubungan produksi diseputar penguasaan alatalat produksi. 

Berdasarkan pemahaman Marxisme yang dinyatakan Lenin, kelas sosial merupakan golongan masyarakat dalam suatu tatanan yang ditentukan oleh posisinya dalam proses produksi. Artinya di dalam tatanan yang ditentukan oleh suatu proses produksi, posisi kelompok sosial mengandaikan hubungan yang relatif ditentukan oleh seberapa dekat dengan alatalat produksi. Semakin dekat suatu golongan dengan penguasaan proses produksi maka semakin kuat dia membangun suatu hirarki kekuasaan, sebaliknya semakin jauh suatu kelompok dari suatu proses produksi maka akan semakin tak bernilai ia di dalam suatu tatanan. Dalam matriks kelas Marxisme, golongan yang memiliki akses terhadap suatu proses produksi disebut kelas borjuasi, sementara kelompok yang tidak memiliki akses kepemilikan terhadap sarana produksi disebut sebagai kelas proletar.




Berdasarkan gambar 1, peluang akses kelas borjuasi terhadap sarana produksi mengakibatkan semakin besarnya penguasaan yang dipunyai kelas borjuasi terhadap penggunaan sarana poduksi guna menyatakan posisinya dalam relasi hubungan produksi. Akses ini dengan sendirinya akan menyebabkan kekuasaan yang besar dalam memperagakan kepentingan kelas berjuasi atas kepemilikan sarana produksi. Hal yang berkebalikan terjadi terhadap kelas  proletar yang jauh dari penguasaan terhadap sarana produksi sehingga dalam hubungannya mengakibatkan kelas proletar tidak mempunyai kekuasaan sama sekali atas sarana produksi yang tidak dimilikinya. 


 

Dalam pemahaman struktural seperti yang dinyatakan berdasarkan dari gambar 2, relasi hubungan produksi antara kelas borjuasi dan kelas proletar dibangun atas dasar penguasaan. Ini dinyatakan dari hubungan yang dipunyai atas akses terhadap sarana produksi. Hubungan ini tidak saja berbicara soal dekatnya akses yang dimiliki kelas borjuasi, melainkan juga seberapa besarnya hubungan hirarki golongan ini terhadap sarana produksi itu sendiri. Artinya dalam hubungan hirarki seperti ini, penguasaan terhadap sarana produksi dengan sendirinya paralel dengan status kelas yang disandang berdasarkan kepemilikan alatalat produksi.

Berdasarkan dua pemahaman ini, kelas sosial dinyatakan atas kepemilikan sarana produksi. Hubungannya dengan keadaan objektif masyarakat, kelas sosial adalah kategori yang bisa disematkan kepada hubunganhubungan masyarakat atas ikatan ras, agama, suku, gender ataupun budaya. Maksudnya, kelas sebagai kategori sosial bukan penggolongan atas ikatanikatan masyarakat  yang selama ini dipahami sebagai sesuatu yang inheren dalam masyarakat, melainkan relasi yang tercipta atas dasar hubungan produksi. Dengan kata lain, berdasarkan kategori kelas sosial entah ikatan kultural, keagamaan maupun kebangsaan yang acapkali dipisahkan secara berbeda dari hubungan sosialnya, tetapi di bawah relasi atas sarana produksi maka golongan yang dinyatakan berbeda sebelumnya akan bersatu dalam dua kategori tunggal yakni kelas borjuis atau kelas proletar.

Kedua teori nilai lebih. Teori nilai lebih didasarkan Marx atas perhatiannya terhadap lamanya waktu yang dikeluarkan kaum pekerja untuk menghasilkan barangbarang. Bagi Marx upah yang diterima kaum buruh harus sebanding dengan waktu ratarata yang dimiliki kelas pekerja selama menghasilkan barang. Berdasarkan logika ini nilai barang akan ditentukan berdasarkan lamanya barang itu dikerjakan. Semakin banyak waktu yang digunakan dalam menghasilkan barang maka akan semakin tinggi nilai barang itu sendiri. Yang menjadi masalah bagi Marx adalah ketika adanya pencurian nilai lebih dari waktu ratarata yang tersisa dari kaum buruh. Semisal untuk menghasilkan sepatu yang senilai 5000 rupiah hanya dibutuhkan waktu sebanyak empat jam, tetapi akibat ketika kaum pekerja menjual tenaganya maka kepemilikan atas dirinya dipekerjakan kaum pemodal selama delapan jam, maka akan ada tersisa waktu empat jam seharga 5000 rupiah yang diambil tanpa terbayarkan kepada seorang pekerja. 5000 dari waktu empat jam yang tersisa inilah dalam pemahaman Marx disebut sebagai nilai lebih.

Ketiga konsep keterasingan.  Pemikiran ini dinyatakan Marx dari kerja sebagai ikhtiar manusia yang bebas dan universal. Berbeda dari binatang, manusia merupakan mahluk yang harus mengubah alam agar dapat sesuai dengan kebutuhannya. Agar sesuai dengan kebutuhan maka manusia dituntut untuk bekerja. Bekerja juga disebut Marx sebagai cara manusia mengobjektivasi dirinya. Maksudnya seperti seorang pembuat patung, kayu yang semula nyaris tanpa bentuk akhirnya  berubah menjadi ornamen yang indah lewat kerja. Kayu yang berubah bentuk menjadi patung indah inilah yang dimaksud Marx sebagai objektivasi manusia. Di patung itulah seluruh endapan ide, tenaga, dan rencana si tukang yang awalnya masih berupa potensial akhirnya menjadi objek kongkrit lewat usaha kerja.

Pekerjaan di mata Marx juga bersifat sosial. Artinya tiada pekerjaan yang tanpa melibatkan kehadiran orang lain. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa pekerjaan bukanlah aktifitas tertutup yang mengandaikan subjektifitas belaka, melainkan dengan sendirinya adalah usaha kolektif selain karena manusia merupakan mahluk sosial tetapi jug kehadirannya dikatakan bernilai jika melibatkan kehadiran orang lain.

Pengandaian pekerjaan sebagai usaha kolektif juga bermakna historis. Maksudnya kita hidup di atas dunia yang merupakan hasil kerja orangorang sebelumnya. Dunia yang diwarisi manusia sejatinya dalam pemahaman ini merupakan hasil jejak pekerjaan ribuan generasi sebelumnya. Persepektif ini diajukan Marx kepada Feurbach yang tidak melihat dunia sebagai semesta yang disalurkan antara satu generasi ke generasi lainnya. Berbeda dengan Feurbach, Marx meyakini bahwa dunia tidak lahir sebagaimana adanya tanpa perlibatan organis tangan manusia, melainkan selain ada usaha kolektif kerja juga berdimensi historis.

Lantas di manakah sisi keterasingan manusia dari aktivitas pekerjaannya? Untuk menemukan persinggungan keterasingan manusia dalam pemahaman Marxisme, maka pertamatama konteks kerja manusia mesti dipahami dalam skema kerja kapitalisme yang menjadi asalusul keterasingan manusia.

Pekerjaan dalam skema kapitalisme adalah pekerjaan yang tidak didasarkan kepada jiwa merdeka dan universal.  Dua ciri ini dalam tatanan kapitalistik menjadi hilang akibat kerja merupakan dorongan eksternal dan hanya didasarkan kepada tujuantujuan akumulasi modal. Kaum pekerja di bawah situasi ini akhirnya dinyatakan Marx mengalami setidaknya dua lapis keterasingan.  Pertama kaum pekerja terasing dari dirinya sendiri. Melalui aktivitas kerja yang didasarkan tuntutan kepentingan industrialisasi, realisasi pekerjaan manusia bukanlah ikhtiar yang dikembangkan atas dasar objektivasi kehendaknya, melainkan sematamata untuk menutupi tujuantujuan yang sebelumnya ditetapkan pasar kerja. Hasil kerja yang diproduksi dari tenaga yang dikeluarkan dalam logika ini bukanlah ekspresi yang dinikmati oleh kaum pekerja itu sendiri, melainkan dinikmati oleh sistem yang mendapatkan hasil dari tenaga yang dikeluarkan oleh kaum pekerja. Di sini keterasingan lapis pertama itu muncul: hasil produksi bukanlah kenyataan yang mencerminkan hakikat diri manusia itu sendiri. “Semakin si pekerja menghasilkan pekerjaan, semakin ia, dunia batinnya menjadi miskin”, ucap Marx.

Kedua, akibat sistem kerja yang tidak alami, manusia yang dipaksa bekerja karena logika akumulasi modal dengan sendirinya mengalami perpecahan dengan kelompok sosial lainnya. Selain kaum pekerja tidak memiliki ikatan apaapa selain hubungan pekerjaan dengan kaum pemodal, juga kaum pekerja tidak memiliki ruang yang cukup membangun relasi yang alamiah kepada sesamanya karena tuntutan pekerjaan yang eksploitatif. Di dalam waktu yang sematamata dihabiskan hanya untuk bekerja, kaum pekerja tidak memiliki waktu luang untuk mengekspresikan kecenderungan sosialnya antara sesamanya. Di titik inilah, Marx menyebut eksistensi manusia tercerabut selain sebagai mahluk yang mampu merealisasikan kebutuhan individualnya, tetapi juga sebagai mahluk yang berdimensi sosial.

Keempat kesadaran kelas. Perubahan yang diandaikan Marxisme adalah jenis perubahan yang revolusioner. Perubahan ini bersifat universal dan radikal dalam makna berlaku di setiap sendisendi kehidupan. Dalam tinjauanya terhadap pertentangan kelas, Marx mengatakan kepentingan kelas proletariat bukanlah sematamata akibat rasa iri ataupun dengki yang digerakkan oleh semacam sentimentalisme dan tuntunan moral tertentu, melainkan merupakan keharusan objektif yang digerakkan sejarah selama ini. Marx mengatakan: “Masalahnya bukan apa yang dibayangkan sebagai tujuan oleh seorang proletar atau pun seluruh proletariat. Masalahnya ialah proletriat itu apa dan apa yang akan, secara historis, terpaksa dilakukannya berdasarkan hakikatnya itu. Tujuan dan aksi historisnya telah digariskan secara jelas, tak terbantahkan, dalam situasi hidupnya sendiri maupun dalam seluruh organisasi masyarakat borjuis sekarang.” Menurut Marx, setiap kelas sosial bertindak sesuai dengan kepentingannya dan kepentinggannya ditentukan oleh situasinya yang objektif.

Walaupun perjuangan kelas merupakan situasi yang disebut keharusan sejarah, dalam pemahaman Marxisme, kapitalisme hanya dapat ditumbangkan di dalam dua keadaan yang secara simultan terjadi secara bersamaan. Pertama adalah seperti yang dinyatakan Marx bahwa kapitalisme adalah sistem perekonomian yang mengandung kontradiksi secara imanen sehingga akan mendasari kejatuhannya. Dalam kasus ini kapitalisme adalah pertarungan yang melibatkan tuan pemodal dengan tuan pemodal lain untuk saling mempertahankan dirinya. Bagi Marx, pertentangan di antara tuan pemodal ini akan dengan sendirinya menghancurkan sistem yang menopang masyarakat borjuis itu sendiri. Kedua, di dalam sistem kerja upahan, kaum pekerja akan menyadari situasi objektifnya yang dieksploitasi oleh kaum pemodal dengan membangun kesadaran atas situasi kelasnya demi merebut sarana produksi. Di situasi yang kedua ini maka kaum pekerja akan membangun konsolidasi atas dasar persamaan dengan maksud penggulingan kelas pemodal dari sarana produksinya.

***

Marx menyatakan sejarah perubahan masyarakat ditentukan oleh sejauh mana hubungan produksi berlangsung di dalamnya. Hubungan produksi ini sangat signifikan pengaruhnya sehingga mempengaruhi corak nilai yang menjadi bangunan suprastrukturnya. Bagi Marx produksi ekonomilah yang mendasari seluruh tatanan nilai berupa politik, hukum, budaya, agama, moral maupun seni. Asumsi ini dinyatakannya lebih jauh bersifat historis dalam makna menjadi hukum perkembangan masyarakat. 




Berdasarkan gambar 3, sejarah perkembangan masyarakat dikatakan Marx akan membentuk konfigurasi bentuk masyarakat yang ditentukan oleh perkembangan hubungan produksi sebagai kekuatan determinannya. Dimulai dari masyarakat komunal primitif, sejarah masyarakat berturutturut akan berkembang menjadi masyarakat feodal, industri, dan kemudian akan bergerak menjadi tatatanan tanpa kelas yang disebutnya sebagai masyarakat sosialisme komunisme. 






Apa yang mau dijelaskan dari gambar 4 adalah penggambaran yang dinyatakan Marx sebagai hukum masyarakat atas dasar prinsip filsafat materialisme historis dialektis. Hukum ini bekerja atas dasar prinsip dialektis di antara hubungan produksi yang bersifat material yakni tenaga produksi, alat produksi, dan bahanbahan produksi. Ketiga elemen inilah yang berproses membentuk konfigurasi paras masyarakat dalam perjalanan sejarahnya. Hukum ini disebut objektif lantaran merupakan kenyataan yang tampak berlaku di dalam masyarakat sebagai peristiwa yang aktual.

***

Sekilas Islam Transformatif

Islam dalam beberapa intrepetasi yang dilakukan oleh semisal Hassan Hanafi, Hassan Al Banna, Asghar Ali Engineer, dan Ali Syariati –untuk menyebut beberapa nama, merupakan suatu cara pandang baru yang memberikan penekanan “aksi” terhadap pemahaman Islam yang cenderung normatif-konservatif. Dari beragamnya intrepetasi ini maka memunculkan beragam istilah teknis yang mau menyebut Islam yang menaruh minat terhadap isuisu perubahan. “Kiri Islam”, “Islam Progresif”, “Teologi Pembebasan”, dan “Sosialisme Islam”, adalah beberapa model pembaharuan yang memiliki konsep perubahan atas ajaran Islam agar memiliki manfaat konkrit terhadap kehidupan umat manusia yang terbelakang. Pembacaan ini umumnya didasarkan atas situasi umat Islam itu sendiri yang bergerak lamban dalam menyesuaikan pemahamannya terhadap perkembangan zaman. Hal yang lain juga dinyatakan sebagai akibat situasi umat Islam yang mengalami penindasan dari berbagai sektor kehidupan. Selain daripada itu, dari dimensi internal umat Islam itu sendiri, ada pemahaman yang disebut “konservatif” terhadap halhal teknis sehingga melupakan hal paling subtansial berupa nasib umat Islam yang mengalami degradasi dan dekadensi.

Untuk mengambil contoh sebagaimana yang dicetuskan Asghar Ali Engineer berupa pemahamannya tentang Teologi Pembebasan,  bahwa sejatinya Islam datang dengan semangat pembebasan. Dalam sejarah awalnya Teologi Islam dekat dengan isuisu keadilan dan persamaan derajat. Misi kenabian dijabarkan dalam usaha melepaskan belenggu masyarakat dari perbudakan, perampasan hak, diskriminasi gender, dan perbedaan hubungan antara penganut keyakinan. Namun hal ini justru mengalami pergeseran ketika umat Islam memasuki suatu masa yang dipimpin oleh khalifahkhalifah pasca wafatnya rasul. Teologi akhirnya menjadi soalsoal yang hanya sibuk membahas kalam dan takdir manusia. Terutama paham Jabariah, menurut Asghar Ali Engineer, membuat umat Islam diposisikan menjadi umat yang statis akibat konsep teologi yang diintrodusir berdasarkan kepentingan khalifah saat itu.

Asghar juga menilai, Islam yang fatalistik ini  kemudian kehilangan aspek pembebasan. Para khalifahsaat itu  lebih sering bersama para penguasa yang tiran, sekaligus menindas siapa yang menentang. Jumlah budak berlipat ganda. Harem menjadi budaya istana khalifah. Sedangkan orang non-Arab diperlakukan secara diskriminatif.

Dari konteks inilah, maka Teologi Islam, menurut Asghar semakin jauh dari perhatian kepada masyarakat lemah. Teologi Islam hanya berbicara tentang keesaan Tuhan, Sifat-sifat Tuhan, ketidakmungkinan adanya Tuhan selain Allah, tentang polemik kehendak bebas dan takdir, dan masalah-masalah eskatologis. Teologi Islam tidak lagi berbicara tentang bagaimana membantu fakir miskin, memelihara anak yatim, bersikap kritis terhadap kekuasaan, membebaskan budak dan orang tertindas, mempromosikan kesetaraan jender, dan tema-tema pembebasan lainnya. Selain itu, keberpihakannya juga cenderung kepada penguasa. Maka, dalam kondisi demikian, Asghar bisa memahami kritik Marx bahwa agama adalah candu masyarakat.

Dari latar situasi itulah maka Engineer merumuskan Teologi Pembebasan berdasarkan dua cara. Pertama melalui aspek kesejarahan dengan melihat aspekaspek misi kenabian yang melibatkan diri terhadap misi pembebasan umat. Dari cara ini Engineer menemukan suatu pengertian yang egaliter bahwa Rasulullah datang bersamaan dengan penghapusan terhadap seluruh bentuk penghisapan atas umat manusia. kedua Kedua, dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit mendorong proses pembebasan seperti ayat tentang pemerdekaan budak, kesetaraan umat manusia, kesetaraan jender, kecaman atas eksploitasi dan ketidakadilan ekonomi, dan lain sebagainya.

Dalam pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an ini Asghar menggunakan pendekatan sosio-historis untuk mencoba kembali ke masa lalu di mana ayat-ayat itu turun, mengambil esensi dasar dari maksud ayat itu, kemudian dikontekstualisasikan pada problem-problem kontemporer. Dari dua hal inilah Asghar ingin menggali Teologi Pembebasan dari nilai-nilai Islam.

Ali Syariati yang juga memiliki intrepretasi Islam berdasarkan semangat pembebasannya, menemukan suatu prinsip esensial yang menjadi misi kenabian berupa pembelaannya terhadap kaum mustadaifain. Dari perspektif Tauhid, Ali Syariati menyatakan bahwa Islam secara esensil menggambarkan seluruh manusia sama di hadapan Tuhan. Tidak ada perbedaan secara kelas ataupun perlakuan khusus yang diberikan Tuhan terhadap kaum tertentu, sehingga apa pun pembedaan yang terjadi di dalam masyarakat harus dinyatakan sebagai bentuk kejahiliaan yang bersumber dari kesyirikan. 

Lebih jauh Syarati menjelaskan bahwa; “Adalah perlu menjelaskan tentang apa yang kita maksud dengan Islam. dengannya kita maksud Islam Abu Dzar; bukan Islamnya khalifah. Islam keadilan dan kepemimpinan yang pantas; bukan Islam-nya penguasa, aristokrasi dan kelas atas. Islam kebebasan, kemajuan (progress) dan kesadaran; bukan Islam perbudakan, penawanan, dan passivitas. Islam kaum mujahid; bukan Islam-nya kaum “ulama”. Islam kebajikan dan tanggung jawab pribadi dalam protes; bukan Islam yang menekankan dissimulasi (taqiyeh) keagamaan, wasilah “ulama” dan campur tangan Tuhan. Islam perjuangan untuk keimanan dan pengetahuan ilmiah, bukan Islam yang menyerah, dogmatis, dan imitasi tidak kritis (taqlid) kepada “ulama”.

Pernyataan Islam menurut Ali Syariati di atas diinspirasikan dari semangat kejuangan Imam Husain yang secara revolusioner menentang rezim Yazid sebagai simbol dekadensi ajaran Islam. Melalui ketokohan Imam Husain-lah Ali Syariati membangun horison Sosialisme Islam-nya dengan memberikan cara intrepetasi yang lebih kontekstual.

Salah satu contoh kontekstualisasi yang dilakukan Ali Syariati dengan membangun kategorikategori karakter semisal Habil dan Qabil, Musa dan Fir’aun, Muhammad dan Abu Jahal,serta Husain dan Yazid, sebagai medium pemaknaan umat untuk melihat ciriciri kebenaran dan kezaliman yang menurutnya merupakan dua antinomi yang berlaku di tiap keadaan masyarakat manapun. Melalui figurisasi inilah Ali Syariati membuat skema pemahaman untuk mengintrepetasikan keadaan umat yang terbelakang akibat perbuatanperbuatan ketidakadilan penguasa.

Islam transformatif sebagai kategori Islam yang menghendaki perubahan, sebenarnya adalah eksperimen yang dilakukan guna menemukan Islam yang ideal bukan saja menyentuh soalsoal kalam semata, melainkan turut andil dalam menyuarakan semangat kemanusiaan yang adil dan makmur. Makna transformatif berarti bermaksud melakukan pembaharuan dan perubahan dari aspekaspek pranata hingga struktural yang meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia. Tentu niatan ini tidak keluar dari misi awal yang disuarakan nabinabi pembawa risalah perubahan.

Islam transformatif juga harus dipahami sebagai upaya dialogis ajaran Islam yang berhadapan langsung dengan masalahmasalah kontemprer umat. Apapun semangat yang ditekankan di dalamnya, baik berupa intrepetasi yang telah ada sebelumnya maupun perkawinan dengan pahampaham yang berasal dari luar tradisi Islam, harus ditempatkan kepada makna transformatif itu sendiri, yakni sebagai upaya untuk membawa masyarakat kepada suatu model masyaraakat yang lebih maju.

Pembicaraan tentang teologi transformatif ini di kalangan teolog Indonesia, banyak diadvokasi oleh tokoh-tokoh seperti M. Sastraprateja, A. Suryawisata, dan Dr. Banawiratma (dari kalangan Katolik). Sedangkan dari kalangan Islam biasanya orang merujuk pada tokoh-tokoh seperti M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Moeslim Abdurrahman, M. Habib Chirzin, Mansour Fakih, dan juga Masdar F. Mas’udi. Pada umumnya, mereka ini adalah para ahli-ahli ilmu sosial yang meminati teologi, dan atau sebaliknya, para teolog yang hendak memakai analisis ilmu sosial radikal.(1)

Adapun kritik teologi transformatif adalah bahwa keterbelakangan bukan disebabkan faktor-faktor teologis, budaya, atau mentalitas, tetapi lebih disebabkan oleh akibat “ketidakadilan hubungan antara dunia maju dan Dunia Ketiga, yang berwatak imperialisme pada tingkat global, dan bentuk-bentuk eksploitasi serta hubungan-hubungan yang tidak adil pada tingkat lokal, yang dijalankan melalui hubungan dan cara produksi yang menghisap. (2)

Singkatnya, Teologi Transformatif tidaklah memisahkan antara teologi dan analisis sosial, bahkan menyatukannya dalam daur dialektis: dari kritik dialogis, ke kritik tafsir, kemudian mencari tafsir alternatif dan mewujudkannya dalam tindakan praksis sosial sebagai praksis teologis. Dengan demikian, kalangan teologi transformatif berusaha memanfaatkan, sekaligus mensintesakan berbagai analisis sosial dan tafsir Kitab Suci atas realitas sosial-keagamaan dewasa ini.


------
  1. http://www.anekamakalah.com/2012/03/islam-transformatifdinamisteologi.html
  2. http://makalahlaporanterbaru1.blogspot.co.id/2012/03/islam-transformatif-dinamis-dan-     teologi.html
Bacaan penunjang: 
(1) Manifesto Komunis, Karl Marx dan F. Engels. (2) Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Franz Magnis Suseno. (2) Teologi Pembebasan, Asghar Ali Engineer. (3) Agama dan Marxisme, O. Hashem. (4) Mencari Marxisme, Martin Suryajaya. (5) Kiri Islam, Antara Modernisme dan Posmodernisme. Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi. (6) Ali Syariati, Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya (7) Setelah Marxisme, Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer, Donny Gahral Adiaan (8) Menuju Masyarakat Egalitarian:Transformasi. Moeslim Abdurrahman (9) Kuntowijoyo Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi.