waktu dan pram

Sudah semenjak terakhir kali membaca Cantik Itu Luka, saya agak ragu mau membaca novel yang bejibun pagina. Agaknya, kekhawatiran ini ditenggarai ketidaksanggupan melumat habis bacaan. Ini makin krusial, karena di situ soalnya ada yang genting: waktu akhirnya jadi medan yang tak lagi bulat. Waktu jadi semacam garis putusputus, tak lengkap.

Saya selalu meyakini, membaca bukan saja peristiwa kesadaran yang mau masuk terlibat dalam dunia teks dengan segala kemungkinannya, melainkan di situ ada medan waktu yang jadi ukuran panjang pendeknya kesadaran yang ikut di dalamnya. Membaca dengan arti ini sederhana, suatu keadaan yang mau membangun pemahaman dengan teks sekaligus juga ingin bersetia di dalam bulatan waktu.

Karena itulah kalau melihat buku yang tebaltebal, suatu kesadaran bakal menjadi ciut. Kiwari, di dalam kesadaran saya, waktu bukan lagi pengalaman semacam garis lengkung lingkaran, suatu horison yang tanpa pangkal dan ujung. Waktu yang bulat adalah waktu yang tidak ditandai titik permulaan dan akhiran. Yang ada hanya suatu peristiwa totalitas. Suatu keutuhan.

Sementara jika mau membaca suatu novel,  itu berarti mau sabar mengakrabi lintasan waktu kehidupan tokohtokohnya.. Mau ikut di dalam keseluruhan kehidupan yang dikisahkan cerita di dalamnya. Novel dalam pengertian saya ini adalah rangkaian cerita yang terjalin atas ikatan totalitas. Hanya dalam novel-lah kita menemukan tokohtokohnya tampil lengkap seperti manusia nyata: ia lahir dengan tangisan, hidup dengan beragam pengalaman, dan akhirnya mati meninggalkan banyak orang. Membaca novel akhirnya sama dengan membaca kehidupan itu sendiri.

Itulah sebabnya, membaca novel perlu waktu yang bulat. Waktu yang tak putus. Namun, apa boleh buat, kehidupan sekarang adalah suatu aktifitas yang ditentukan waktu yang terbelahbelah, putusputus tanpa meninggalkan ikatan dengan totalitas. Sekarang, karena seluruh pengalaman manusia adalah pengalaman yang tak lagi disertai kesadaran yang padu, aktivitas yang berbeda di tiap waktunya, akhirnya membikin manusia tidak akrab dengan kesetiaan. Sehingga bagi pegiat bacaan, waktu harus kembali dinetralisir. Jadi kalau mau membaca buku, maka waktu harus betulbetul bebas dari perbudakan. Setiap pembaca harus setia dengan dan di dalam waktu.

Omongomong setia dalam waktu, saya mau sebut Pram. Orang yang pernah dikirimi mesin tik oleh Jean Paul Sartre kala menjalanai masa tahanan di Pulau Buru. Di masa tahanannya, waktu bagi Pram adalah media tukar untuk bertahan lama. Masa tahanan sepuluh tahun dipertukarkannya dengan wujud yang bakal sulit di hapus: berjilidjilid kisah Minke dan Indonesia.

Sulit rasanya mau bilang bahwa tanpa kesetiaan terhadap waktu, karyakarya Pram bakal lahir. Pram sebagai seorang pengarang cerita tentu bakal menggunakan waktunya bukan dalam pengertian yang terputus, sebab jika membangun suatu cerita mirip Tetralogi Buru misalnya, mustahil tanpa ingatan yang mencakup keseluruhan bulatan peristiwa yang sudah ditulisnya.

Kesadaran Pram adalah kesadaran yang bulat, sekaligus bukan dibangun di atas waktu yang putusputus. Dalam seluruh kehidupan Pram, waktu akhirnya suatu bulatan yang diniatkan hanya untuk menulis. Sebab itulah dia bilang, menulis adalah keabadian. Tak ada ujung tak ada permulaan.

Kemarin adalah satu dekade kepergian Pram. Dia, di waktu sekarang bukan sekedar nama, tapi simpul penandaan di dalam lintasan waktu yang pecah terfragmen akibat waktu yang dibuat putus oleh rejim kekuasaan.

Syahdan, selamat hari buruh.