Ada
perkataan Pramoedya Ananta Toer yang masyhur jadi kutipan: “seorang terpelajar
harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”.
Perkataan ini kalau tidak salah muncul di Bumi Manusia,
sekuel pertama dari empat novel yang akbar disebut Tetralogi Buru. Sulit
menduga apa motif Pram mengucapkan demikian, tapi memang tanpa pikiran yang
adil, suatu kehidupan justru bisa berubah semenamena.
Hampir
seluruh hidup Pram sesungguhnya "tumbal" dari tatanan yang tidak adil. Indonesia
yang disebutnya suatu bangsa yang telah ia sumbangkan segalanya, tak seperti
yang dia harapkan dari kaum yang ia sebut “seorang terpelajar”. Pengalamannya
selama hidup di bawah kolong Indonesia, yang bertindak semenaena terhadap
dirinya –juga orangorang sepertinya, menganggap bahwa negara bisa menjadi
medium jahat kalau keadilan tidak bekerja sebaikbaiknya. Dan memang negara
seperti yang ia alami adalah suatu simpul yang memangkas habis keadilan.
Lantas siapakah yang harus memulai keadilan , jika negara hanya jadi alat yang
semenamena? Pram sudah bilang: “seorang terpelajar.”
Seorang
terpelajar memiliki dua hal: pikiran dan perbuatan. Pikiran dan perbuatan bagi
seorang terpelajar adalah modal utama. Berbeda dari pengusaha, seorang
terpelajar tak memiliki modal. Berbeda dari seorang raja, seorang terpelajar
tak memiliki trah kekuasaan, berbeda dari tentara, seorang pelajar hanya
memiliki pikiran dan perbuatannya sebagai senjatanya. Itulah sebabnya, keadilan
harus ada di dalam pikiran dan perbuatan terpelajar. Hanya di dalam pikiran dan
perbuatan adil seorang terpelajarlah senjatanya satusatunya.
Lantas
apakah itu keadilan? Keadilan dalam kenyataan sosial-historis adalah keseimbangan
tatanan pemerintahan. Pemerintah harus menyeimbangkan kekuasaannya tanpa
memilihmilah kelompok. Dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik , dan agama,
pemerintah harus menyeimbangkan distribusi kekuasaannya. Keseimbangan
sosial-historis mensyaratkan perlunya perhatian terhadap neraca
kebutuhan. Pemerintah, di hadapan masyarakat yang menjalani kehidupan
sosial, ekonomi, politik, dan agama, harus menyeimbangkan sumber dayanya
secara proporsional. Keadilan dalam tatanan sosial-historis hanya berbicara
satu hal: kemaslahatan. Dengan kata lain, keadilan dalam makna ini harus terus
mendorong kemaslahatan berdasarkan tujuantujuan umum yang harus dicapai.
Namun,
keadilan yang esensil merupakan suatu pikiran yang menempatkan hak kepada pihak
yang berhak. Keadilan macam inilah yang barangkali Pram kehendaki. Yang
artinya tempatkanlah sesuatu pada tempatnya yang layak. Prinsip keadilan macam
ini mengandaikan prioritas sebagai ukurannya. Misalnya, apabila ada warga
negara yang berlaku melenceng, maka tempatkanlah ia sebagai orang yang harus
mendapatkan kepastian hukum. Di sini, seorang yang salah punya prioritas
sebagai orang yang harus mendapatkan pembelaan, dan pengawalan perlindungan
hukum. Dalam kacamata prioritas, tidak soal dia seorang pencuri ataupun bupati,
keduaduanya berhak mendapatkan pembelaan dan perlakuan yang seharusnya sama di
mata hukum.
Keadilan
dengan sendirinya mengandaikan kebenaran. Ini lapisan kedua dari perkataan Pram
soal keadilan. Dengan kata lain, jika pikiran adil maka keadilan di situ secara
esensil mengandung kebenaran. Sulit rasanya jika mengucapkan keadilan tanpa
mengikutkan kebenaran sekaligus, karena jika menempatkan sesuatu pada pasaknya
maka itulah yang disebut kebenaran. Dengan kata lain, keadilan adalah
wajah pertama kebenaran. Atau sebaliknya, paras kebenaran yang pertama adalah
keadilan. Artinya mengandaikan keadilan tanpa kebenaran sebenarnya adalah ihwal
yang musykil.
Itulah
akibatnya, hanya seorang terpelajarlah yang ditamsilkan Pram. Sebab di
sepanjang kenyataan sejarah, atau bahkan memang merupakan tugasnya, kaum
terpelajar adalah kaum yang identik dengan keadilan dan kebenaran. Hanya
dipikiran kaum terpelajarlah keadilan itu mampu diimajinasikan, dan hanya di tangan
seorang terpelajarlah kebenaran itu diperbuatkan.
Makanya,
di pikiran pejabat kekuasaan, perbuatan kaum hartawan, keadilan dan kebenaran
adalah tamsil yang sulit ditemukan. Di dua profesi ini, keadilan dan
kebenaran bukan “raison d’etre”, yang ditemukan di dalamnya. Akibatnya
keadilan hanya jadi terma yang asing di seputar kekuasaan. Itulah kenapa
keadilan dan kebenaran adalah dua prinsip yang terus harus dipaksakan di dalam
tatatanan kekuasaan melalui segala kekuatan yang bisa diberikan. Dan kaum yang
sering menyodorkan itu tiada lain tiada bukan hanyalah kaum terpelajar.
Artinya sudah wajar perkataan Pram bukan menyebut kaum lain selain kaum terpelajar, sebab di sepanjang hidupnya, kekuasaan yang mewujud dalam negara hanya selalu menjadi momok yang membelah keadilan. Dan, seperti yang sering disebutkan, negara kadang memang jadi alat kekuasaan untuk menilap hakhak warganya yang seharusnya mendapatkan haknya sebagai warga negara. Negara memang suatu sumber yang jarang dan bahkan susah berbicara soal keadilan. Negara di konteks ini memang hanya menjadi alat yang seperti Marx nyatakan: alat penguasa. Lantas siapakah yang harus berbicara keadilan. Pram sudah bilang, dan kita tahu siapa itu.