Politik kalau mau dibilang adalah
urusan banyak orang. Politik adalah usaha kolektif. Soal suatu visi. Soal suatu
misi. Politik dimulai dari perkara kekuasaan menjadi manusiawi. Di situ, kekuasaan
yang nyaris liar harus ditundukan. Di bawah kehidupan banyak orang, politik
niscaya emansipatif. Politik dengan begitu berarti bekerja untuk pembebasan.
Kiwari, politik paralel dengan dua
hal; tirani dan totalitarianisme. Tirani ditunjukan dengan menyempitnya ruang
berekspresi, dan totalitarianisme merujuk pada kekuasaan yang menguasai seluruh
sendi kehidupan. Politik dengan wajahnya yang tiranis dan totaliter,
akibatnya banyak menggusur segala ihwal yang manusiawi. Politik malah ambivalen menjadi buldozer
kebudayaan.
Kiranya kalau diomongkan, politik
terlanjur lacur. Di tangan elit negara, politik berubah jorok. Di situ,
egoisme jadi sulut menyebar dengki dan maki. Individualisme menjadi etika umum
menggantikan kepentingan publik. Ruang publik, tempat politik berlangsung,
bukannya ditunjang tindakan komunikatif dan partisipatif, malah berubah menjadi arena
penyingkiran. Politik di masa sekarang bukan wadah kebebasan
diekspresikan. Dengan kekuasaan tiranis yang totaliter, orangorang
disingkirkan. Yang utama adalah kekuasaan yang monolit. Di luar dari itu
hanyalah ruang abuabu yang harus ditundukkan.
***
Hannah Arendt, perempuan filsuf
abad 20 layak diajukan di sini. Terutama soal bagaimana politik itu
diberlangsungkan. Seperti apa cara ruang publik dikelola. Dan, bagaimana
kekuasaan memposisikan perbedaan.
Saya kira tesistesis Arendt masih
relevan untuk diomongkan. Apalagi, situasi belakangan nampak terang memperlihatkan
praktekpraktek politik yang emoh emansipatif. Belakangan, politik jadi medan
yang tunggal, di mana di situ “yang lain” hanya entitas pinggiran yang tak layak
ikut andil dalam menggerakkan kebudayaan.
Saya kira semua tahu, politik Indonesia adalah sejarah penundukan. Babakan sejarah menunjukkan, pasca
kemerdekaan, Indonesia jadi terma yang dipolitisir atas logika kekuasaan orde
baru. Berbicara Indonesia berarti tersingkirnya golongan tertentu dengan
alasan keamanan negara. Negara dianggap aman jika dimaksudkan dengan hilanganya
perbedaan pandangan. Padahal, perbedaan sumber rahmat agar bangsa dapat
berkembang.
Cakrawala berpikir Arendt memandang
institusi politik sekarang adalah kekuasaan yang tidak legitimate.
Horizon ini berusaha membuka tabir kekuasaan yang berdiri atas pemaksaan dan
penundukan terhadap “yang lain”. Dua hal ini menyebabkan kekuasaan politik
krisis kewibawaan. Di situ tak ada dalil bisa diajukan untuk melegitimasi
kekuasaan. Kekuasaan macam ini, menurut Arendt adalah kekuasaan yang harus
dilawan.
Perlawanan terhadap krisis
kekuasaan diajukan Arendt dengan membagi tiga konsep kunci. Pembagian ini
mengacu kepada suasana macam apa yang memungkinkan negara mendukung orangorang
di dalamnya bisa berekspresi dengan bebas tanpa kekangan. Perspektif ini
dimulai Arendt dengan merujuk kepada Polis sebagai ideal
type dalam merumuskan bagaimana politik itu diselenggarakan.
Pertama, Arendt mengemukakan techne sebagai
cara politik dikemas. Techne dalam imajinasi Yunani antik
adalah suatu seni yang mirip pertunjukkan drama. Di atas panggung, setiap aktor
punya cara untuk menampilkan dirinya sebagaimana orang lain menampilkan
dirinya. Lewat panggung, orangorang berinteraksi demi suatu peristiwa yang
dilakukan secara kolektif. Dengan model seperti ini, Arendt menolak upaya
monologis yang jadi trend dalam politik. Politik bukan ucapan pribadi sang
aktor, melainkan tindakan bersama orangorang.
Karena itu Arendt menjelaskan ihwal
kerja (labour), karya (work) dan tindakan (action)
sebagai konsep yang bakal bekerja di ruang publik sebagai ruang antara. Ruang
publik disebut ruang antara karena di situ “yang privat” dan “yang publik”
harus dibelah agar tidak merusak ikatan kolektif di ruang bersama. Ruang
publik, dengan begitu adalah tempat tindakan partisipatif
diaplikasikan dengan komunikasi sebagai penggeraknya.
Tindakan (action) akibatnya
adalah usaha yang berhubungan dengan “yang lain”. Tindakan adalah upaya kerja
sama dengan pluralitas. Berbeda dengan kerja (labour) dan karya (work),
yang mengasumsikan ruang yang lebih pribadi. Kerja (labour) dan karya (work)
hanyalah perilaku manusia dengan melibatkan diri tanpa ikatan kerjasama. Hanya
tindakanlah (action), menurut Arendt sebagai aktivitas khas manusia
di ruang publik. Di sana, orangorang sudah menjadi manusia yang otentik.
Menurut Arendt, manusia yang otentik adalah manusia dengan tindakan yang
otonom, manusia yang tidak digerakkan sentimentalisme ras, agama, maupun
kelompok. Dan, Polis adalah medan publik ideal yang dikatakan
Arendt.
***
Di Jakarta marak isu rasialis
jelang Pilgub. Ukuranukuran normatif berpolitik malah diacu atas dasar ras dan
agama. Ini malang. Politik kalau begitu justru digerakkan logika “ruang privat”
yang menundukkan “yang publik”. Ahok misalnya, jadi bulanbulanan kelompok
rasialis. Ini bukti betapa politik masih digerakkan oleh kepentingan “ruang
privat”. Mengacu Arendt, politik macam ini bisa terjerumus ke dalam suasana
tiranis dan totalitarianisme.
Bercampurnya “yang privat” dengan
“yang publik” dalam politik, barangkali ditunjukkan juga di sini, di Makassar.
Rezim keluarga besar sering kali jadi patokan kesuksekan berpolitik di
ruang publik. Faktor nama keluarga sebagai “yang privat” justru mendominasi
“yang publik”. Makassar, begitu juga kotakota lain, akhirnya ditundukkan dengan
praktek politik yang mirip orba; Bapakisme.
Bapakisme saya kira adalah terma yang mengacu kepada makna privat. “Bapak” dalam konteks orba diandaikan sebagai pusat dari keluarga. Di situ kata “Bapak” menyituasikan masyarakat sebagai anakanak yang dipimpin dengan cara seorang pemimpin keluarga. Sementara itu, dari kaca mata kebudayaan Indonesia, tidak mengikut “Bapak” berarti tindakan pembangkangan. Dan, membangkan kepada “Bapak” berarti tindakan yang harus didisiplinkan.
Malangnya, mengacu kepada sejarah Indonesia, model politik kita selalu mengikuti model yang selama ini jadi imajinasi bersama. Misalnya, selama ini “Bapak” yang diambil dari “ruang yang privat” dipasangkan dengan terma “pembangunan” sebagai “yang
publik”. Perpaduan ini saya kira contoh soal politik selalu ditundukkan dengan
kepentingan privat. Ke depan bakal ada lagi istilah "Bapak ini", "Bapak itu", Lagilagi kalau "yang privat" dan "yang publik" sudah berbaur, kata Arendt adalah asal muasal dari tiranisme dan totalitarianisme.