catatan kelas menulis PI, pekan 14

Orangorang berkumpul hanya ingin banyak berbicara, orangorang menepi hanya untuk menulis. (Bahrul Amsal)

Suatu tindakan harus dimulai dengan satu kemauan, sekaligus karena itu di baliknya perlu ada seribu kesabaran.

Kelas literasi PI, awalnya bukan mau menyoal jumlah. Pertama kali dirintis, kalau tidak salah ingat, kelas dibangun berdasarkan visi gerakan. Sementara logika gerakan bukan mengutamakan jumlah. Itulah sebabnya KLPI menaruh utama pada niat. Kemauan. Karena itu semua kawankawan mesti tahu, kunci gerakan satusatunya adalah niat mau memikul visi. Makanya, sampai hari ini KLPI belum mau membikin barisan massa. Yang jadi tujuan orangorang yang mau belajar. Yang mau menerima visi literasi. Cukup itu saja.

Jumlah kadang membuat soal. Karena perkara jumlah kadang suatu niat jadi matematis. Dan apabila suatu maksud jadi matematis, kadang di situ suatu harap berubah untung rugi. Bicara gerakan kami sudah mewanti dari awal, yang mendasar merupakan kesabaran. Yang bikin gerakan nampak istikomah karena mau bersetia. Ini prinsip kedua; setia pada visi.

***

Akhir pekan ini hari yang sibuk. Hampir sebagian kawankawan punya tugas masingmasing. Juga ada yang mengalami gangguan kesehatan. Apa boleh dikata biar minim kelas mau tak mau harus terus berjalan.

Di kelas seperti biasa selalu ada tema yang jadi bahan omongan. Kali ini menyoal kebiasaan buruk saat mahasiswa hendak ujian meja; parsel. Agaknya ini memang sudah jadi tradisi. Akibatnya, tak banyak yang mau menggubris. Padahal, jika mau menelisik masuk ke dalam soal, kebiasaan ini nyatanya bikin banyak mahasiswa resah. Sumber keresahan pertama, pasal biaya. Informasi yang beredar kalau mau setor parsel harus macammacam isinya. Ari bilang bahkan sampai gula pasir jadi isinya. Karena itulah banyak fulus harus dikeluarkan jika menyediakan satu parsel. Masalah makin berat kalau parsel disediakan buat empat sampai lima orang dosen. Jadi masingmasing punya satu parsel buat dibawa pulang.

Kedua, parsel yang dibeli mahal itu katanya sudah dijatah. Ini yang bikin sesak. Cerita yang berkembang karena banyaknya mahasiswa ujian tiap periode waktu tertentu, biar tidak bosan, parsel dijatah model dan isinya. Contoh, jika ada ujian hari pertama bawa parcel berisi ratarata makanan manismanis, besok kalau bisa bawa jenis paganan yang harus berbeda. Bahkan urusan nasi kotak, kalau bisa jangan ituitu saja. Misalnya sering pakai jatah Wong Solo, besokbesok seleranya kepingin nasi padang misalnya.

Dengardengar, pasa ketiga yang bikin miris, kebiasaan ini akhirnya menciptakan lapangan kerja baru. Hanya karena kebiasaan ini jadi ramai akibat masingmasing jurusan jadikan ajang saing parsel, di situ timbul hasrat ekonomi. Makanya pasar tercipta dengan terbentuknya semacam penyedia parcel mirip kathering makanan. Katanya, kalau informasi ini valid, usaha ini dilakukan ibuibu pegawai fakultas. Nampaknya, kali ini hukum ekonomi tercipta: pasar selalu tercipta seiring kebutuhan manusia.

Yang terakhir, parsel akhirnya jadi prasyarat ujian. Padahal tak ada aturan manapun yang mengharuskan bawa parsel. Malangnya akibat sudah kebiasaan, walaupun tak ada aturan, cara ini bekerja berdasarkan konsensus antara mahasiswa dan dosen bersangkutan. Ini terjadi akibat proses sosialisasi yang kemudian terinternalisasi menjadi nilai asupan. Peter L Berger bilang, kemudian proses lanjutan dari model semacam itu akhirnya terinsititusikan dengan caracara tertentu. Sosiolog ini menegaskan, apabila sudah terinstitusikan maka pasti ada proses legitimasi yang menopang keadaan baru yang terterima begitu saja. Ini dibilangnya sebagai bagaimana kenyataan sosial itu terbentuk.

Artinya kebiasaan ini bukan tanpa sebab. Hasil omongan kemarin, asalusul tradisi ini dimulai kisaran tahun 2009 atau 2010. Hitunganhitungannya, jika kuliah dianggap normal dihabiskan selama 4 sampai 5 tahun, maka kebiasaan ini dilakukan mahasiswa angkatan 2004 atau 2005. Ini baru analisis sederhana. Namun, coba tebak, tradisi apa yang melatarbelakangi jika di tahuntahun itu kebiasaan ini bermula? Situasi akademik macam apa yang memungkinkan perilaku macam demikian terjadi?

Sebenarnya, banyak juga dosen yang tidak sepakat soal itu. Cuman secara politik dosendosen yang menolak kalah dominan jika bicara pengaruh. Akibatnya, walaupun katanya sudah ada pelarangan secara lisan dari pimpinan kampus, tetap saja kalau perilaku itu tetap dijalankan. Kalau bicara benar salah, dosen yang menolak sudah benar. Itu niat yang memang diharapkan. Tapi bicara sikap belum tentu, soalnya apa daya jika pernyataan lisan berkata tolak tapi tidak ada tindakan nyata meminimalisir kebiasaan buruk parsel.

Ini perlu sikap nyata soalnya parsel bisa jadi saluran kepentingan busuk. Kadang parsel diungkapkan sebagai bentuk terimakasih kepada dosen karena sudah meluangkan waktu buat bimbingan. Itu barangkali bisa diterima. Tapi, bagaimana jika niatnya bukan soal itu, melainkan usaha membikin urusan beres. Kalau begini, parsel terhitung gratifikasi. Akibatnya, parsel merusak hubungan objektif dari segi penilaian, sehingga siapa paling “ramai” parselnya maka kemungkinan besar dia bisa dapat nilai tinggi. Bayangkan praktek suap seperti ini ternyata dimulai dari institusi pendidikan. Gawat.

Kadang pula parcel dihitung sebagai honorarium penguji saat ujian. Pertanyaannya, kemana pembagian pembiayaan buat dosen pembimbing yang sudah diatur sebelumnya. Bukankah semua itu sudah disusun jadi bagian pendapatan dosen. Apalagi, bimbingan dan pengujian penyelesaian sudah merupakan tugas dosen di kampus. Artinya tidak perlu lagi biayabiayaan kalau mau membimbing atau menguji. Itu sudah punya anggaran khususnya dari pihak fakultas atau universitas.

Masalah di atas kalau mau diteruskan maka juga melibatkan urusan manajemen keuangan kampus. Apakah selama ini soal anggaran bimbingan tidak punya anggaran? Kalau ada, apa soal sampai tidak diberikan kepada dosen yang punya hak. Lantas kemana uang selama ini yang dipakai atas sumbangan pembiayaan pendidikan yang berjuta itu? Janganjangan ada penggelapan anggaran dari mekanisme yang tidak transparan?

Obrolan ini akhirnya jadi panjang. Mulai dari kasus parsel tak disangkasangka sampai menyinggung soal mekanisme penyelenggaraan pendidikan, menyitir soal kebijakan institusi kampus, bahkan sikap intelektual dosendosen. Nampaknya jika diteruskan soal perbincangan kemarin bisa banyak membuka soalsoal laten yang tersembunyi saat ini. Tapi, ada tulisan yang harus pula dibahas.

***

Kalau tidak ada aral melintang, di waktu ke depan ada perencanaan mengundang seorang penulis novel ke KLPI. Ini belum jadi informasi umum, tapi kemarin sempat disinggung bahwa agaknya perlu memberikan semacam asupan materi yang berkaitan dengan penulisan fiksi. Pertimbangan ini didasarkan karena tiga pekan belakangan kecenderungan tulisan banyak menyentuh jenis tulisan bergenre sastra. Selain itu, ini bisa menjadi faktor pendorong agar kelas menemukan energi baru untuk merefresh suasana kelas yang agak menurun.

Kiwari, menulis akhirnya jadi pekerjaan yang menuntut perhatian lebih dari biasanya. Bagi kawankawan, ini merupakan satu level yang menjadi tantangan. Tantangan pertamanya, untuk menulis satu karya maka perlu menemukan waktu luang yang mampu dipakai semaksimal mungkin. Waktu, dengan beragam kesibukan kawankawan, akhirnya harus lebih diatur berdasarkan daftar kegiatan yang sudah disusun.

Tantangan kedua soal perhatian. Tak bisa dipungkiri setiap orang punya kesibukan sehingga akibatnya menuntut beragam perhatian. Menulis sebagai suatu pilihan juga mesti diberikan perhatian khusus jika sudah menjadi agenda rutin. Orangorang yang serius mau belajar menulis setidaknya pasti punya perhatian lebih jika ingin menelurkan satu karya tulis. Dengan kata lain, tanpa mengenyampingkan tugastugas lainnya, penulis memang harus punya karya tulis. Itulah sebabnya setiap minggu KLPI dibuka buat melihat seberapa jauhkah karya tulis kawankawan diproduksi.

Sampai di sini KLPI harus kembali membangun target baru. Atau kembali mengevaluasi targettarget yang selama ini dipakai. Ini mesti dilakukan untuk memperbaharui penilaian di kondisi yang terbaru. Apaapa yang telah tercapai di dua bulan terakhir, apaapa yang belum sempat terealisasi, bagaimanakah tulisantulisan yang masuk, apakah ada kemajuan kualitas tullisan atau justru stagnan. Atau bagaimanakah pendekatan penilaian yang seharusnya dipakai. Juga termasuk, siapasiapa yang masih komitmen dengan KLPI. Yang terakhir ini agak ideologis, jadi anggap saja KLPI masuk kategori siaga tiga.

***
Kala kemarin menurunkan dua tulisan yang bisa dibilang tidak fresh. Penyebabnya meja redaksi kadang kosong dari tulisan kawankawan. Selain tulisan Sulhan Yusuf yang tiap minggu masuk, Kala dua terbitan terakhir mengambil tulisan dari dua blog anggota KLPI. Ini tidak sehat apabila mau menjunjung etika jurnalisme terutama soal tulisan yang harus up to date. Namun, keuntungannya Kala bukan jenis media macam begitu, sehingga bebasbebas saja mencaplok tulisan yang beredar di seputaran dunia maya kawankawan.

Waima, setidaknya ada perhatian soal keberlangsungan Kala dengan menyisihkan satu dua tulisan. Akan jauh lebih baik jika itu dikhususkan buat Kala. Hitunghitung Kala bisa menerbitkan tulisan yang terbaru. Juga, setidaknya bisa memberikan pengetahuan baru buat pembaca Kala di tiap pekannya. Terakhir, alangkah baiknya kawankawan bisa jadi corong Kala beredar di kampuskampus.