Orangorang
berkumpul hanya ingin banyak berbicara, orangorang menepi hanya untuk menulis.
(Bahrul Amsal)
Suatu
tindakan harus dimulai dengan satu kemauan, sekaligus karena itu di baliknya
perlu ada seribu kesabaran.
Kelas
literasi PI, awalnya bukan mau menyoal jumlah. Pertama kali dirintis, kalau
tidak salah ingat, kelas dibangun berdasarkan visi gerakan. Sementara logika
gerakan bukan mengutamakan jumlah. Itulah sebabnya KLPI menaruh utama pada
niat. Kemauan. Karena itu semua kawankawan mesti tahu, kunci gerakan
satusatunya adalah niat mau memikul visi. Makanya, sampai hari ini KLPI belum
mau membikin barisan massa. Yang jadi tujuan orangorang yang mau belajar. Yang
mau menerima visi literasi. Cukup itu saja.
Jumlah
kadang membuat soal. Karena perkara jumlah kadang suatu niat jadi matematis.
Dan apabila suatu maksud jadi matematis, kadang di situ suatu harap berubah
untung rugi. Bicara gerakan kami sudah mewanti dari awal, yang mendasar
merupakan kesabaran. Yang bikin gerakan nampak istikomah karena mau bersetia.
Ini prinsip kedua; setia pada visi.
***
Akhir
pekan ini hari yang sibuk. Hampir sebagian kawankawan punya tugas masingmasing.
Juga ada yang mengalami gangguan kesehatan. Apa boleh dikata biar minim kelas
mau tak mau harus terus berjalan.
Di
kelas seperti biasa selalu ada tema yang jadi bahan omongan. Kali ini menyoal
kebiasaan buruk saat mahasiswa hendak ujian meja; parsel. Agaknya ini memang
sudah jadi tradisi. Akibatnya, tak banyak yang mau menggubris. Padahal, jika
mau menelisik masuk ke dalam soal, kebiasaan ini nyatanya bikin banyak mahasiswa
resah. Sumber keresahan pertama, pasal biaya. Informasi yang beredar kalau mau
setor parsel harus macammacam isinya. Ari bilang bahkan sampai gula pasir jadi
isinya. Karena itulah banyak fulus harus dikeluarkan jika menyediakan satu
parsel. Masalah makin berat kalau parsel disediakan buat empat sampai lima
orang dosen. Jadi masingmasing punya satu parsel buat dibawa pulang.
Kedua,
parsel yang dibeli mahal itu katanya sudah dijatah. Ini yang bikin sesak.
Cerita yang berkembang karena banyaknya mahasiswa ujian tiap periode waktu
tertentu, biar tidak bosan, parsel dijatah model dan isinya. Contoh, jika ada
ujian hari pertama bawa parcel berisi ratarata makanan manismanis, besok kalau
bisa bawa jenis paganan yang harus berbeda. Bahkan urusan nasi kotak, kalau
bisa jangan ituitu saja. Misalnya sering pakai jatah Wong Solo, besokbesok
seleranya kepingin nasi padang misalnya.
Dengardengar,
pasa ketiga yang bikin miris, kebiasaan ini akhirnya menciptakan lapangan kerja
baru. Hanya karena kebiasaan ini jadi ramai akibat masingmasing jurusan jadikan
ajang saing parsel, di situ timbul hasrat ekonomi. Makanya pasar tercipta
dengan terbentuknya semacam penyedia parcel mirip kathering makanan. Katanya,
kalau informasi ini valid, usaha ini dilakukan ibuibu pegawai fakultas.
Nampaknya, kali ini hukum ekonomi tercipta: pasar selalu tercipta seiring
kebutuhan manusia.
Yang
terakhir, parsel akhirnya jadi prasyarat ujian. Padahal tak ada aturan manapun
yang mengharuskan bawa parsel. Malangnya akibat sudah kebiasaan, walaupun tak
ada aturan, cara ini bekerja berdasarkan konsensus antara mahasiswa dan dosen
bersangkutan. Ini terjadi akibat proses sosialisasi yang kemudian
terinternalisasi menjadi nilai asupan. Peter L Berger bilang, kemudian proses
lanjutan dari model semacam itu akhirnya terinsititusikan dengan caracara
tertentu. Sosiolog ini menegaskan, apabila sudah terinstitusikan maka pasti ada
proses legitimasi yang menopang keadaan baru yang terterima begitu saja. Ini
dibilangnya sebagai bagaimana kenyataan sosial itu terbentuk.
Artinya
kebiasaan ini bukan tanpa sebab. Hasil omongan kemarin, asalusul tradisi ini
dimulai kisaran tahun 2009 atau 2010. Hitunganhitungannya, jika kuliah dianggap
normal dihabiskan selama 4 sampai 5 tahun, maka kebiasaan ini dilakukan
mahasiswa angkatan 2004 atau 2005. Ini baru analisis sederhana. Namun, coba
tebak, tradisi apa yang melatarbelakangi jika di tahuntahun itu kebiasaan ini
bermula? Situasi akademik macam apa yang memungkinkan perilaku macam demikian
terjadi?
Sebenarnya,
banyak juga dosen yang tidak sepakat soal itu. Cuman secara politik dosendosen
yang menolak kalah dominan jika bicara pengaruh. Akibatnya, walaupun katanya
sudah ada pelarangan secara lisan dari pimpinan kampus, tetap saja kalau
perilaku itu tetap dijalankan. Kalau bicara benar salah, dosen yang menolak
sudah benar. Itu niat yang memang diharapkan. Tapi bicara sikap belum tentu,
soalnya apa daya jika pernyataan lisan berkata tolak tapi tidak ada tindakan
nyata meminimalisir kebiasaan buruk parsel.
Ini
perlu sikap nyata soalnya parsel bisa jadi saluran kepentingan busuk. Kadang
parsel diungkapkan sebagai bentuk terimakasih kepada dosen karena sudah
meluangkan waktu buat bimbingan. Itu barangkali bisa diterima. Tapi, bagaimana
jika niatnya bukan soal itu, melainkan usaha membikin urusan beres. Kalau
begini, parsel terhitung gratifikasi. Akibatnya, parsel merusak hubungan
objektif dari segi penilaian, sehingga siapa paling “ramai” parselnya maka
kemungkinan besar dia bisa dapat nilai tinggi. Bayangkan praktek suap seperti
ini ternyata dimulai dari institusi pendidikan. Gawat.
Kadang
pula parcel dihitung sebagai honorarium penguji saat ujian. Pertanyaannya,
kemana pembagian pembiayaan buat dosen pembimbing yang sudah diatur sebelumnya.
Bukankah semua itu sudah disusun jadi bagian pendapatan dosen. Apalagi,
bimbingan dan pengujian penyelesaian sudah merupakan tugas dosen di kampus.
Artinya tidak perlu lagi biayabiayaan kalau mau membimbing atau menguji. Itu
sudah punya anggaran khususnya dari pihak fakultas atau universitas.
Masalah
di atas kalau mau diteruskan maka juga melibatkan urusan manajemen keuangan
kampus. Apakah selama ini soal anggaran bimbingan tidak punya anggaran? Kalau
ada, apa soal sampai tidak diberikan kepada dosen yang punya hak. Lantas kemana
uang selama ini yang dipakai atas sumbangan pembiayaan pendidikan yang berjuta
itu? Janganjangan ada penggelapan anggaran dari mekanisme yang tidak
transparan?
Obrolan
ini akhirnya jadi panjang. Mulai dari kasus parsel tak disangkasangka sampai menyinggung
soal mekanisme penyelenggaraan pendidikan, menyitir soal kebijakan institusi
kampus, bahkan sikap intelektual dosendosen. Nampaknya jika diteruskan soal
perbincangan kemarin bisa banyak membuka soalsoal laten yang tersembunyi saat
ini. Tapi, ada tulisan yang harus pula dibahas.
***
Kalau
tidak ada aral melintang, di waktu ke depan ada perencanaan mengundang seorang
penulis novel ke KLPI. Ini belum jadi informasi umum, tapi kemarin sempat
disinggung bahwa agaknya perlu memberikan semacam asupan materi yang berkaitan
dengan penulisan fiksi. Pertimbangan ini didasarkan karena tiga pekan
belakangan kecenderungan tulisan banyak menyentuh jenis tulisan bergenre
sastra. Selain itu, ini bisa menjadi faktor pendorong agar kelas menemukan
energi baru untuk merefresh suasana kelas yang agak menurun.
Tantangan
kedua soal perhatian. Tak bisa dipungkiri setiap orang punya kesibukan sehingga
akibatnya menuntut beragam perhatian. Menulis sebagai suatu pilihan juga mesti
diberikan perhatian khusus jika sudah menjadi agenda rutin. Orangorang yang
serius mau belajar menulis setidaknya pasti punya perhatian lebih jika ingin
menelurkan satu karya tulis. Dengan kata lain, tanpa mengenyampingkan
tugastugas lainnya, penulis memang harus punya karya tulis. Itulah sebabnya
setiap minggu KLPI dibuka buat melihat seberapa jauhkah karya tulis kawankawan
diproduksi.
Sampai
di sini KLPI harus kembali membangun target baru. Atau kembali mengevaluasi
targettarget yang selama ini dipakai. Ini mesti dilakukan untuk memperbaharui
penilaian di kondisi yang terbaru. Apaapa yang telah tercapai di dua bulan
terakhir, apaapa yang belum sempat terealisasi, bagaimanakah tulisantulisan
yang masuk, apakah ada kemajuan kualitas tullisan atau justru stagnan. Atau
bagaimanakah pendekatan penilaian yang seharusnya dipakai. Juga termasuk, siapasiapa
yang masih komitmen dengan KLPI. Yang terakhir ini agak ideologis, jadi anggap
saja KLPI masuk kategori siaga tiga.
***
Kala
kemarin menurunkan dua tulisan yang bisa dibilang tidak fresh. Penyebabnya meja
redaksi kadang kosong dari tulisan kawankawan. Selain tulisan Sulhan Yusuf yang
tiap minggu masuk, Kala dua terbitan terakhir mengambil tulisan dari dua blog
anggota KLPI. Ini tidak sehat apabila mau menjunjung etika jurnalisme terutama
soal tulisan yang harus up to date. Namun, keuntungannya Kala bukan
jenis media macam begitu, sehingga bebasbebas saja mencaplok tulisan yang
beredar di seputaran dunia maya kawankawan.
Waima,
setidaknya ada perhatian soal keberlangsungan Kala dengan menyisihkan satu dua
tulisan. Akan jauh lebih baik jika itu dikhususkan buat Kala. Hitunghitung Kala
bisa menerbitkan tulisan yang terbaru. Juga, setidaknya bisa memberikan
pengetahuan baru buat pembaca Kala di tiap pekannya. Terakhir, alangkah baiknya
kawankawan bisa jadi corong Kala beredar di kampuskampus.